Mengapa Aku Menjadi Seorang Dokter Anestesi


MENGAPA AKU MENJADI SEORANG DOKTER ANESTESI
(Sebuah Titik Balik Kehidupan)

Sekarang walaupun belum dapat kuraih semuanya, tetapi aku mulai bisa tersenyum mengenang akan masa laluku. Kini aku telah menjadi seorang dokter dan telah mendapatkan spesialisasi dalam jenjang pendidikan di bidang anestesiologi alias pendalaman dalam ilmu pembiusan dan penanganan pasien kegawatdaruratan di ruang intensif (ICU). Memang sih, masih banyak yang belum bisa aku raih tetapi setidaknya kini aku dapat tersenyum dengan kehidupanku sekarang.

Aku terlahir disebuah desa kecil dengan kultur budaya pendidikan yang  tidak  menunjang, jangankan bermimpi untuk menjadi seorang dokter, untuk sekolah sampai jenjang menengah pertama dan atas saja masih menjadi barang yang langka. Untung aku terlahir mempunyai seorang bapak yang memang berorientasi pada pendidikan, walaupun susah dari sisi ekonomi untuk menjalaninya. Bapakku merupakan seorang pendidik yang berhenti entah mengapa, karena jaman atau politikah yang aku tidak mengerti.

Kehidupan kecilku aku jalani dengan kebahagiaan dan keriangan dari sisi anak-anak, bermain, mandi di sungai, ke gunung, main sepakbola dan bola voley aku jalani hampir setiap hari. Tetapi keluargaku terutama Bapakku adalah memang seorang jiwa pendidik yang disiplin, nasionalis dan religius sehingga penanaman kedisiplinan, dan rasa tanggung jawab akan masa depan telah dipupuk sejak kecil.

Kebebasan masa kecilku dibiarkan dalam bidang studi berjalan bagai roda pedati yang berputar pelan-pelan dan kadang terantuk bebatuan, hanya dipantau dan dibebaskan berjalan sendiri. Sampai pada suatu saat menjelang ujian akhir kelas enam, masih teringat  kala aku disuruh belajar. Aku masuk ke kamarku dan terdiam lama di dalam, terbengong bingung akan kata-kata ayah dan kakakku, "Belajar ! kamu mau ujian kelas enam". Kebingunganku semakin dalam dan benak otakku mengalir sebuah pertanyaan, seperti apakah belajar itu ? aku harus ngapain ? dan apakah membaca buku itu yang namanya belajar ? Itu terjadi saat aku kelas enam SD sampai masa ujian akhir sekolah selesai. Keterlaluan memang aku ini, menerjemahkan belajar saja aku tidak mengerti. Memang sih sebenarnya ini salah siapa ? diriku ? keluargaku ? guruku ? ataukah sistem pendidikan sekolah dasar saat itu ? Aku tidak mengerti sampai sekarang ini. Ujian akhir sekolah telah selesai dan aku mendapatkan nilai standar tidak mengecewakan dan tidak memuaskan kala itu, hanya rata-rata nilai NEM (nilai ebtanas murni) sistem saat itu setinggi enam.

Aku mengalami kesulitan untuk masuk sekolah yang favorite, dibawalah oleh kakakku ke pendaftaran di SMP favorite di sekitar tempatku, menurut pengamatan kakakku nilaiku tidak menyebabkan aku diterima disitu, tetapi kalau aku ingat sekarang sebenarnya aku masih bisa masuk, cuman kakakku sengaja menunjukkan secara tidak langsung bahwa di luar sana masih banyak anak yang pintar. Cerdas dan brilian kakakku, akhirnya aku dimasukkan ke sekolah tetangga dan aku berada jauh diperingkat bawah dari nilai NEM-ku.

Sepulang sampai di rumah, aku terdiam menatap atap rumahku yang sering berjatuhan dempul-dempul atap gedek rumah mengotori tempat tidurku, wuah berat kalau seperti ini, mau jadi apa aku nanti, aku tersadar dan mencari apa yang salah dalam perjalanan selama aku di sekolah dasar, aku menemukan ! dan tersenyumlah aku, lihatlah kedepan kalian akan tahu siapa Igun itu !

Hari-hari pertama aku lalui di sekolah SMP, aku menjadi siswa yang tidak dipandang. Kembali aku terpicu oleh kondisi yang demikian. Okai....., kalian akan lihat siapa aku ini ! sampailah pada masa ujian tengah semester pertama dan menjadi kebiasaan di sekolahku, nilai murni untuk mata pelajaran yang masuk untuk NEM SMP dipajang di dinding masing-masing depan kelas sesuai urutan nilai tertinggi sampai terendah, banyak mata terbelalak melihat urutan yang ada pada papan nilai siswa, aku berada pada peringkat kedua dari 245 siswa dan aku kalah hanya pada nila bahasa inggris. Mulaialah saat itu aku menjadi perhatian siswa-siswa yang merasa dirinya pintar. Saat sendirian dikamar kecilku aku tertawa bahagia, oh inilah selama ini yang dimaksud belajar yah. Inilah titik balik pertama dalam kehidupanku yang membuat aku menjadi orang yang diperhitungkan disekelilingku. Mungkin inilah kondisi terdesak alias kepepet yang memacu adrenalin kehidupan untuk menanjak secara cepat dan bila memungkinkan untuk berbalik arah menuju sesuatu yang membahagiakan.

Perjalanan kehidupanku dalam sekolah telah normal sebagai orang yang diperhitungkan dalam sisi keenceran otak, ini aku lalui sampai aku lulus dari seorang siswa sekolah menengah pertama.

Aku tahu bahwa aku berasal dari keluarga yang kurang beruntung dari sisi perekonomian alias kurang mampu untuk menopang pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga mulai tertanam dalam diriku, aku harus sekolah tinggi tetapi dengan biaya yang murah alias mendapatkan beasiswa. Dalam angan pikiran kedepanpun terlintas melanjutkan ke jenjang pendidikan perguruan tinggi negeri untuk menjadi seorang guru. Itu telah tertanam dalam-dalam pada diriku, disamping bebarapa kakakku seorang guru, akupun menyukai menjadi seorang guru yang mengajarkan keilmuannya kepada orang lain. Aku ingin melanjutkan ke SMA 2 Purwokerto, tetapi apa !? aku dilarang oleh kakakku untuk sekolah disana dan dia menyarankan aku untuk masuk ke sekolah yang jauh sama sekali dari anganku, sebuah sekolah baru berdiri, pelajaran agama yang dominan, yaitu pada SMA Islam Ta’alaumul Huda Bumiayu. Apalagi sekolah di wilayah Bumiayu yang hampir orang disekitar wilayahku tidak ada yang sekolah didaerah sana. Aku sangat sadar betul dan berkata dalam diriku, sebagian cita-citaku telah kandas ! dengan iringan tetesan air mata aku genggam seperangkat perlengkapan pendaftaran dalam gulungan genggaman tanpa aku bungkus stofmap yang biasa dilakukan.

Aku jalani kehidupan sebagai seorang siswa SMA pada sekolah Islam di Bumiayu dengan perasaan galau, libur sekolah hari Jumat dan hari Minggu masuk dimana kebiasaanku mengikuti lomba bola voley terhambat, sehingga aku banyak membolos di saat hari Minggu. Aku telah mengalami keputusasaan dalam menggapai cita-cita, sehingga pada suatu saat keadaan itu terjadi. Disaat aku berkumpul bersama keluargaku membicarakan akan masa depan masing-masing anaknya, keluarlah sebuah harapan dari seorang Ibu bahwa beliau berkeinginan salah seorang anaknya menjalani pekerjaan dengan menggunakan baju putih, alias menjadi seorang dokter. Semua terdiam karena tidak mungkin, hanyalah tinggal diriku padahal aku bercita-cita untuk menjadi seorang guru, tetapi demi hasrat yang dalam dari seorang Ibu, saat itu langsung aku saut, “Tenang Mak (panggilan ibu untuk beliau), aku akan mewujudkan keinginan mamake untuk menjadi seorang dokter” inilah titik balik kehidupanku yang kedua, sebuah keridhoan dari orang tua terutama seorang ibu.

Aku tahu ini sangatlah berat untuk menjadi seorang dokter, untuk masuk ke perguruan tinggi negeri hampir mustahil karena aku berada di sekolah yang baru dengan kultur pendidikan untuk ke jenjang pendidikan favorite tidak mendukung, masuk ke perguruan swasta pada fakultas kedokteran jauh lebih tidak mungkin karena orang tuaku pasti tidak sanggup untuk membiayai. Inilah dilemaku tetapi walaupun aku telah melepas hasratku untuk menjadi seorang guru walau sebenarnya seorang dokterpun bisa menjadi seorang guru keadaan yang tidak aku pahami saat itu, tetapi aku yakin akan keridhoan seorang Ibu pasti aku bisa.

Setelah aku lulus SMA sebulan waktu menuju UMPTN aku didaftarkan oleh kakakku disebuah bimbingan belajar untuk persiapan menuju UMPTN, setiap hari aku jalani kegiatanku hanya belajar, dari pagi sehabis subuh sampai jam sepuluh siang aku lahap buku persiapan SKALU, siang mengikuti bimbingan belajar sampai jam empat sore baru sampai rumah, kebiasaanku mengikuti bola voley sampai magrib telah aku korbankan hampir seratus persen, malam sehabis magrib kembali aku lahap soal-soal persiapan menuju UMPTN sampai jam sebelas malam. Memang lelah dalam sebulan ini, dan saat yang dinantipun tiba...UMPTN  ! dan aku mendaftarkan diriku di Fakultas Kedokteran UNDIP dan Fakultas MIPA jurusan kimia UNDIP.

Waktu sebulan menunggu pengumuman hasil UMPTN adalah waktu yang melelahkan pikiranku, jauh lebih melelahkan dibandingkan saat persiapan menuju UMPTN, mengapa demikian ? Soalnya sekarang hanya menunggu tanpa kita bisa berbuat, hanya pasrah akan apa yang telah kita jalani. Banyak waktu aku habiskan di perkebunan cabe kakakku saat itu dan tidak lupa kebiasaan yang telah diajarkan Bapakku untuk prihatin dengan menjalani puasa sunah senin kemis dan sholat tahajud dimalam hari selalu aku lakukan dan yang pasti berdoa serta permohonan bantuan doa kedua orang tuaku selalu aku lakukan.

Akhirnya saat itupun tiba, disaat pengumuman hasil UMPTN terdapat namaku masuk koran diterima di Fakultas Kedokteran UNDIP, alhamdulillah aku langsung sujud syukur saat itu dan  segera pulang sampaikan kabar berita ini kepada mamake dan Bapak. Beliau berdua sangat bahagia mendengar berita yang aku bawa. Kehidupan di bangku kuliah aku jalani, segala perlik-perlik kehidupan aku temui, masalah keuangan, pertemanan, nilai yang jatuh, keberuntungan dan perjodohan aku temui disini. Perjodohan yang aku dapatkan seorang gadis teman satu angkatan telah mengubah kehidupanku sebagai seorang suami. Ini aku jalani sekitar empat bulan akhir masa co ass.

Inilah babak baru dalam perjalanan kehidupanku sebagai seorang suami dan dokter.  Setahun  kemudian aku dikaruniai seorang anak. Kehidupan sebagai seorang dokter aku jalani tanpa perencanaan yang baik untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kehidupanku selalu dihantui ketakutan akan biaya untuk melanjutkan ke jenjang spesialistik, kasihan isteri, kasihan anak dan dari mana uang aku dapat bila membutuhkan. Inilah pertanyaan dibenak pikiran seorang pengecut untuk menjalani kehidupan. Telah sepuluh tahun aku jalani sebagai seorang dokter umum, sehinga pada suatu waktu aku mendapatkan telepon dari temenku untuk menanyakan mau sekolah lagi atau tidak. Jiwaku terbakar, kepengecutanku lumer dan kutanyakan kepada anak isteriku "relakah kalian kalau ayah sekolah lagi ?!" dengan serempak mereka menjawab "tidak apa-apa ayah", aku  justru merasa lemas karena tabunganku sangat jauh dari cukup. Tetapi orang-orang terdekatku selalu membisikan untuk berani melangkah maju, dan kulangkahkan kakiku untuk maju terus menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi, aku daftarkan diriku di PPDS anestesi Fakultas Kedokteran UNDIP dan aku diterima ! Kehidupanku sebagai seorang residen anestesi (sebutan dokter yang sedang sekolah) aku jalani selama 3,5 tahun, hambatan perekonomian memang ada, tetapi dengan keberanian semua bisa dilewati dengan baik. Inilah titik balik kehidupan yang aku temui Keberanian dalam menghadapi tantangan.

Kehidupan sebagai seorang dokter ahli anestesi telah aku jalani, memang berat tanpa mengenal waktu, kapanpun dibutuhkan harus selalu siap, memang sih dari sisi penghasilan jauh meloncat bila dibandingkan saat menjadi dokter umum, tetapi kembali aku tersadar semua ini aku jalani kalau aku bisa artinya aku dalam kondisi sehat, aku masih ada anak, ada isteri dan aku butuhkan jaminan kesehatan. Makannya dalam kesunyian malam itu setelah selesai aku menjalankan kegiatan bius membius aku tersadar bahwa aku harus mempunyai jaminan akan masa depan diriku, anak isteriku dan kesehatanku.

Setelah saya amati dalam rentang waktu perjalanan kehidupanku ada beberapa hal yang telah mengubah arah kehidupan diriku, diantaranya kesadaran untuk hidup yang lebih baik dan dihargai, kondisi yang terpaksa atau kepepet, keinginan untuk mendapatkan keridhoan orang tua terutama dari seorang ibu, keberanian dalam menghadapi tantangan dan butuhnya akan jaminan keluarga dan hari tua.
(disarikan dari kehidupan seorang dokter spesialis anestesi :
dr. Igun Winarno, SpAn, Pekuncen 01.10.13. 0.40 WIB)

Komentar

Annisa mengatakan…
Salam kenal dok.. Wah perjuangan dan cerita dokter sangat menginspirasi
Wah tulisannya mbuat hati jadi terharu. Mantap Gun! Maju terus!
Anonim mengatakan…
Wong ajibarang hadir
Anonim mengatakan…
Tulisannya sangat menginspirasi dok,smoga cita2 saya jd dokter anestesi juga bisa kesampaian seperti dokter...amiin
fixfolia mengatakan…
Seneng bacanya dok..perjuangan yang hebat..terus menjadi dokter anestesi yg dibutuhkan pasien...setiap saat yah dok
dok...saya pernah liat buku anestesi igun winarno...saya cari dtoko"buku g ad? Saya bs mliki buku it dr mna y dok? Mksh"
Anonim mengatakan…
Terima kasih dok, bahasanya sangat bagus, ceritanya juga sangat menginspirasi.
Igun Winarno mengatakan…
Ma kasih...berbagi cerita saja
Igun Winarno mengatakan…
Sippp....
Igun Winarno mengatakan…
sama...hadir juga
Igun Winarno mengatakan…
siap....isnya allah
Igun Winarno mengatakan…
Maap...nda saya masukin percetakan hanya di sekitar resdien anestesi undip saja...
Igun Winarno mengatakan…
terima kasih apresiasinya
Unknown mengatakan…
Maaf dok mau bertanya,,apa motivasi dokter ingin menjadi dokter anestesi?
Terimakasih dokter,,sehat selalu
Yanuar@bdulhay mengatakan…
Salam kenal dok. Sy jg sdh 10 thn jd dokter umum,dn saat ini sdg dilanda dilema. Sdh mencapai kejenuhan luar biasa. Mau lanjut sekolah, tp msh dihantui ketakutan yh sama,yaitu biaya.
Oleh atasan disarankan ikut Tubel kemenkes.Tapi umur sdh lewat 35. Bisakah?
Veve mengatakan…
Masyallah,ini sedang saya saya rasakan sendri mnjadi seorang istri residen anestesi 2 peran sy jlani jd ibu y jd ayah bt 2 ank saya,karna ayahx sngt sibuk dan bhak wktu di RS drpada rmh...inspirasi sx dok hmpir sma ceritanya
Igun Winarno mengatakan…
Ammin...semoga sudah jadi dokter anestesi
Igun Winarno mengatakan…
hehehe...baru bales.....sebenarnya dokter anestesi pilihan kedua, pilihanku membahagiakan orang tua untuk menjadi seorang dokter....itu sudah cukup.... kalau anestesi....menyenangkan.... customer kita orang-orang hebat.... para dokter operator dan pasien yang dalam kondisi pasrah
Igun Winarno mengatakan…
jangan lihat kebelakang...pandang kedepan.....
Igun Winarno mengatakan…
Masya Allah....kesabran adalah kunci dan saling percaya...karena suami anda juga dalam kondisi beban yang besar....saya doakan sukses (saya menulis ini menitikkan air mata...seirus....membayangkan kami dulu dan anda saat ini)... kesabaran dan kepercayaan
dr. Muhammad kamil mengatakan…
Terima kasih dokter, melalui cerita dan tulisan dokter, jadi terbuka untuk saya berani mencoba, dokter apakah saya boleh bertanya??
Anonim mengatakan…
Terimakasih dok untuk ceritanya, saya jadi termotivasi..
Anonim mengatakan…
Boleh dong