"LEBARAN DI RUANG PERAWATAN"
Pagi
itu, sinar matahari merayap masuk melalui celah jendela bangsal rumah sakit,
menciptakan guratan-guratan cahaya di dinding yang dingin dan bisu. Udara pagi
terasa sejuk, namun di dalam hati seorang pria tua, kehangatan itu tak pernah
singgah.
Di
Ruang Rajawali, ranjang nomor 12, Pak Rahmat terbaring dalam sunyi. Usianya
telah mencapai 75 tahun, tubuhnya melemah, tapi bukan itu yang membuatnya
semakin rapuh. Matanya menerawang ke langit-langit, menatap tanpa tujuan,
seolah mencari sesuatu yang tak kunjung ia temukan.
Semalam,
suara takbir berkumandang dari masjid-masjid di sekitar rumah sakit. Gema itu
melayang di udara, menembus jendela bangsal, lalu menusuk hatinya yang sudah
lama dirundung sepi. Ia mendengarkan dengan mata terpejam, tapi bukan
ketenangan yang ia rasakan—melainkan perih yang menggigit hingga ke relung
jiwa.
"Ya Allah, Engkau yang Maha Besar dan Maha Kuasa... Mengapa Engkau
masih menetapkan aku di dunia ini? Apakah aku belum layak untuk dekat dengan-Mu
karena masih berlimpang dosa? Maafkanlah aku… dan segerakanlah..."
Itulah
rintihan kecil yang hanya bergaung dalam hati Pak Rahmat di malam takbir, di
tengah ranjangnya yang dingin dan kesunyian yang menggantung di udara. Lebaran
telah tiba, tapi di bangsal ini, tak ada ketukan pintu, tak ada suara anak-anak
berceloteh riang, tak ada tangan-tangan kecil cucu yang berebut mencium
tangannya. Hanya ada sepi yang mengeras, menjadi dinding tak kasat mata yang
memisahkannya dari dunia luar.
Dan
pagi ini, ia masih terbaring di tempat yang sama, menunggu sesuatu yang entah
akan datang atau tidak.
Tangannya
yang mulai mengeriput gemetar saat merapikan selimut tipis yang menutupi
tubuhnya. Kulitnya terasa dingin, seolah kesunyian yang melingkupinya telah
meresap hingga ke tulang. Sudah seminggu ia dirawat di rumah sakit ini,
berjuang melawan komplikasi penyakit yang kian melemahkan tubuhnya. Dan sudah
tiga hari berlalu tanpa ada satu pun keluarga yang datang menjenguk. Semua
terlalu sibuk mempersiapkan hari raya untuk diri mereka masing-masing,
sementara ia dibiarkan terjebak dalam sunyi yang semakin menyesakkan.
Ia
menarik napas dalam, lalu tersenyum kecut. Bayangan masa lalu melintas di
benaknya, seperti film lama yang diputar ulang. Biasanya, di hari seperti ini,
ia akan duduk di kursi tua di teras rumah, dikelilingi anak-anak dan
cucu-cucunya. Mereka akan mencium tangannya dengan takzim, mengucapkan maaf
dengan mata berbinar, lalu tertawa bersama dalam kehangatan yang sulit
digantikan oleh apa pun. Namun kini, hanya detak jantungnya sendiri yang
menemaninya, ritme samar yang seolah mengingatkannya bahwa ia masih ada—meski
terasa begitu sendirian.
Di
sudut ruangan, televisi yang tergantung di dinding menampilkan hiruk-pikuk
mudik Lebaran, wajah-wajah penuh sukacita menyambut keluarga yang datang dari
jauh. Lalu tayangan berganti, menampilkan siaran gema takbir dari berbagai
daerah, hingga lantunan takbir syahdu dari Masjidil Haram yang memenuhi layar.
Suara itu begitu merdu, menenangkan, tapi justru menciptakan kekosongan yang
semakin menganga di hati Pak Rahmat.
Hatinya
berbisik pelan, bertanya-tanya. Apakah ada dari keluarganya yang mengingatnya
hari ini? Apakah anak-anaknya, yang dulu ia besarkan dengan segala kasih
sayang, menyadari bahwa ayah mereka menghabiskan hari raya dalam kesepian?
Dengan
napas tertahan, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di samping
ranjangnya. Jemarinya yang renta berusaha menggeser layar dengan perlahan.
Sekilas harapan muncul di matanya, namun segera memudar begitu layar ponsel
tetap kosong. Tidak ada panggilan, tidak ada pesan.
Kesunyian
itu begitu nyata.
Ia
menelan ludah, berusaha mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menyelinap ke
dadanya. “Mungkin mereka sibuk,” gumamnya pelan, berusaha meyakinkan dirinya
sendiri. Tapi suara itu terdengar terlalu lirih, bahkan untuk sekadar menipu
hatinya sendiri.
Sementara
itu, di ruang jaga perawat, Nana, Kaka, Rima, dan Shanaz tengah bersiap memulai
tugas mereka. Di luar, gema takbir masih menggema samar, bergema di udara pagi
yang seharusnya penuh kehangatan. Hari ini adalah Lebaran, hari yang mestinya
mereka habiskan bersama keluarga. Namun, di dunia mereka, tugas sebagai tenaga
kesehatan selalu memanggil, dan kewajiban ini tak mengenal hari libur.
“Maaf
ya, teman-teman. Tahun ini kita Lebaran di sini lagi,” kata Kaka sambil
meletakkan hidangan ketupat dan opor ayam di pantry kecil mereka. Aroma santan
dan rempah menguar perlahan, mencoba membawa sedikit nuansa rumah ke dalam
dinding rumah sakit yang dingin.
“Gak
apa-apa, Kak. Sudah risiko profesi,” sahut Rima dengan senyum tipis. Ia
berusaha terdengar tegar, meskipun di dalam hatinya ada sejumput kerinduan yang
tak bisa ia hapus begitu saja.
“Lagipula,
siapa lagi yang jaga kalau bukan kita?” tambahnya, menatap satu per satu
rekan-rekannya. Mereka semua tahu, di balik senyum dan canda yang mereka coba
hadirkan, ada lelah dan rindu yang sama. Tapi di sini, mereka memilih tetap
ada—untuk para pasien yang mungkin lebih kesepian dari mereka.
Tawa
kecil terdengar, meski samar. Di atas meja pantry, beberapa toples kue kering
tertata rapi, bingkisan Lebaran dari beberapa staf rumah sakit yang berusaha
berbagi kehangatan. Di sudut ruangan, sebungkus ketupat tersusun rapi, sengaja
dibawa oleh Kaka agar mereka masih bisa mencicipi sedikit suasana Lebaran,
meski jauh dari rumah.
Nana
duduk di salah satu kursi, mengaduk-aduk teh manis dalam gelasnya dengan
gerakan pelan. Sendok kecil beradu dengan dinding gelas, menciptakan bunyi
lirih yang menyatu dengan pikirannya yang melayang jauh. Ia membayangkan
rumahnya di seberang pulau—ibunya pasti sedang sibuk menyiapkan hidangan khas
keluarga, sementara ayahnya duduk di ruang tamu, menunggu anak-anaknya pulang
untuk bersalaman.
Sudah
beberapa kali Lebaran ia lewati jauh dari mereka. Tak terasa, matanya mulai
berkabut, dan tanpa bisa dicegah, setetes air mata jatuh, mengalir pelan di
pipinya. Dengan cepat, ia meraihnya dengan tisu, berusaha menyembunyikan
kesedihannya dari teman-temannya.
Namun,
Kaka yang duduk tak jauh darinya menangkap ekspresi itu. “Kamu nggak apa-apa,
Na?” tanyanya lembut, nada suaranya penuh perhatian.
Nana
mencoba tersenyum kecil, tapi matanya tetap berkaca-kaca. “Aku kangen rumah,
Kak,” suaranya terdengar lirih, hampir tenggelam di antara suara detak jam
dinding. “Sudah beberapa waktu Lebaran aku nggak bersama mereka. Entahlah…
apakah mereka merasakan ketidakhadiranku atau tidak. Yang jelas, aku rindu…
terutama ayah dan ibuku yang sudah menua.”
Shanaz,
yang duduk di seberang meja, mencoba menghiburnya. “Kita di sini juga keluarga,
Na. Memang beda rasanya, tapi kita masih bisa saling menemani.”
Nana
mengangguk pelan. Ia tahu Shanaz benar. Di ruangan ini, mereka mungkin bukan
keluarga sedarah, tetapi mereka saling menjaga. Namun tetap saja, perasaan
rindu itu tak semudah itu pergi.
Saat
mereka masih larut dalam obrolan di pantry kecil, suara panggilan dari interkom
tiba-tiba memecah suasana.
“Perawat
ke bangsal 12, mohon segera ke bangsal 12.”
Sejenak,
mereka saling berpandangan. “Pak Rahmat…” gumam Rima, sebelum mereka serempak
bangkit dan bergegas ke bangsal.
Setibanya
di sana, mereka melihat Pak Rahmat duduk di tepi ranjangnya, kepalanya
tertunduk. Kedua tangannya yang ringkih bertumpu di lutut, sementara bahunya
sedikit bergetar. Matanya basah, tanda bahwa ia baru saja menangis dalam
kesunyian.
Shanaz
melangkah mendekat, suaranya lembut, penuh perhatian. “Pak, Bapak nggak
apa-apa?”
Pak
Rahmat mendongak perlahan, menatap mereka dengan senyum tipis yang tak bisa
menyembunyikan kepedihannya. “Tak apa, Nak… hanya sedikit sesak di dada… tapi
lebih ke sesak di hati.”
Mereka
terdiam. Tak perlu banyak kata untuk memahami kesedihan pria tua itu. Hatinya
mungkin lebih berat dari sakit yang dideritanya.
Nana,
meski hatinya sendiri tengah dirundung rindu, duduk di samping Pak Rahmat dan
menggenggam tangannya perlahan. Jemari tuanya terasa dingin, namun genggaman
itu menghadirkan kehangatan yang seolah telah lama hilang.
“Pak,
kami di sini. Kalau Bapak butuh teman, kami ada,” ucap Nana pelan, seakan ingin
meyakinkan bahwa ia tidak benar-benar sendiri.
Pak
Rahmat menatap mereka satu per satu—Nana, Kaka, Rima, Shanaz. Dalam sorot
matanya yang lelah, air mata kembali menggenang. Tapi kali ini, bukan hanya
karena kesedihan. Ada sesuatu yang lain di sana—sebuah rasa hangat yang
perlahan menyusup di hatinya yang nyaris beku.
Shanaz
bangkit, melangkah keluar sebentar, lalu kembali dengan sekotak kue lebaran
yang tadi ada di pantry. Dengan senyum kecil, ia menaruhnya di meja kecil di
samping ranjang Pak Rahmat.
“Pak,
kita Lebaran di sini saja, ya?” katanya riang.
Satu
per satu, mereka mengambil kue, berbagi cerita, sesekali tertawa kecil. Tak ada
ketupat, tak ada rendang atau opor ayam seperti di rumah. Tapi di ruangan itu,
ada sesuatu yang lebih dari sekadar hidangan khas Lebaran—ada kebersamaan, ada
kepedulian, ada kasih yang meski sederhana, tetap bermakna.
Di
televisi, suara takbir masih menggema dari rekaman siaran semalam dan pagi
tadi. Namun, kini gema takbir itu tak lagi hanya menghadirkan kesedihan. Di
dalam ruangan itu, suara takbir bercampur dengan tawa kecil mereka, mengisi
ruang kosong di hati masing-masing.
Shanaz
menatap Pak Rahmat, tersenyum hangat. “Pak Rahmat, selamat Lebaran ya,” ucapnya
pelan.
Pak
Rahmat menoleh, bibirnya sedikit melengkung. Senyum itu samar, mengandung lebih
banyak kepedihan daripada kebahagiaan. “Iya, Nak… selamat Lebaran.” Suaranya
lirih, seakan setiap kata yang ia ucapkan menguras tenaga dan perasaan.
Shanaz
duduk di tepi ranjang, merapikan selimut Pak Rahmat yang sedikit berantakan.
“Anaknya nggak ada yang datang, Pak?” tanyanya hati-hati.
Pak
Rahmat menggeleng pelan. “Mereka sibuk, katanya. Mungkin takut tertular kalau
ke rumah sakit. Cucu-cucu saya pun… tak satu pun menghubungi saya.” Suaranya
bergetar, seperti ada air mata yang kembali ingin jatuh, tetapi ia tahan.
Shanaz
tercekat. Hatinya mencelos mendengar kata-kata itu. Ia bisa merasakan kepedihan
yang dalam—luka yang tak terlihat, tetapi begitu nyata. Seorang ayah yang telah
mengorbankan segalanya demi anak-anaknya, kini justru dibiarkan sendiri di hari
yang seharusnya penuh kebersamaan.
Dengan
penuh kelembutan, ia menggenggam tangan Pak Rahmat. “Saya temani Bapak, ya?
Biar nggak sendirian.”
Pak
Rahmat menatapnya, lalu menatap yang lain. Mata tuanya kembali basah, tapi kali
ini bukan hanya karena kesedihan. Ada kehangatan yang perlahan menyusup ke
dalam dadanya, ada rasa bahwa ia tidak sepenuhnya sendiri.
Ia
mengangguk pelan, mencoba tersenyum. “Terima kasih, Nak… kalian baik sekali.”
Di
layar televisi, gema takbir masih terus berkumandang. Tapi kini, di bangsal kecil itu,
ada gema lain yang lebih bermakna—gema kebaikan, gema ketulusan, dan gema kasih
yang tak harus lahir dari darah, tetapi dari hati yang benar-benar peduli.
Di
tengah kesibukan mereka, Nana tiba-tiba menghilang dari ruang jaga. Kaka yang
menyadarinya segera mencari, hingga akhirnya menemukannya di pantry perawat.
Di
sudut ruangan, Nana duduk diam. Kepalanya tertunduk, dan tangannya pelan-pelan
mengusap matanya yang basah.
“Nana?”
Kaka mendekat, suaranya lembut. “Kenapa kamu nangis?”
Nana
menggeleng, mencoba tersenyum meski jelas wajahnya masih diselimuti kesedihan.
“Aku… kangen keluargaku, Kak,” jawabnya lirih. Suaranya bergetar. “Ini sudah
beberapa kali aku Lebaran jauh dari mereka. Mereka di luar pulau, dan aku
bahkan nggak bisa pulang tahun ini.”
Kaka
duduk di sampingnya, merangkulnya dengan hangat. Ia tahu, tak ada kata-kata
yang bisa sepenuhnya menghapus rindu yang menumpuk di hati Nana.
“Aku
mengerti, Na,” bisiknya pelan. “Tapi kamu nggak sendiri. Kita punya satu sama
lain di sini.”
Tak
lama, Rima dan Shanaz masuk ke pantry, membawa sepiring kecil ketupat dan
rendang yang mereka siapkan.
“Udah
deh, kita rayakan Lebaran bareng. Keluarga nggak harus selalu sedarah, kan?”
kata Rima dengan senyum hangat, berusaha mengangkat suasana.
Nana
menatap mereka satu per satu, lalu mengusap sisa air matanya. Ia mengangguk
pelan, lalu tersenyum tipis. “Iya… keluarga nggak harus selalu sedarah.”
Siang
itu, mereka memutuskan untuk berbagi kebersamaan dengan Pak Rahmat. Mereka
datang ke bangsalnya dengan sepiring kecil makanan. Shanaz meletakkannya di
meja kecil di samping ranjang.
“Pak,
maaf ya, kami cuma bisa bawakan ini,” katanya lembut.
Pak
Rahmat menatap piring itu, lalu memandang mereka satu per satu. Matanya
berkaca-kaca. “Terima kasih, Nak. Kalian baik sekali,” ucapnya lirih.
Shanaz
tersenyum. “Bapak mau makan bareng kami?”
Pak
Rahmat mengangguk pelan. Tangannya yang ringkih sedikit bergetar saat mengambil
sendok. Melihat itu, Nana segera membantu memotongkan ketupatnya menjadi lebih
kecil.
“Biar
lebih mudah makannya, Pak,” ujarnya pelan.
Mereka
pun menikmati hidangan sederhana itu bersama. Obrolan kecil mengalir, diselingi
tawa ringan yang perlahan mencairkan kesunyian. Untuk sesaat, mereka lupa bahwa
mereka sedang berada di rumah sakit—seolah dinding-dinding putih ini pun ikut
menghangat oleh kebersamaan mereka.
“Pak,
dulu Lebaran di rumah Bapak seperti apa?” tanya Kaka.
Pak
Rahmat menarik napas pelan, lalu tersenyum samar. “Dulu… rumah saya selalu
ramai. Anak-anak saya datang, cucu-cucu saya bermain di halaman. Istri saya
masak opor ayam kesukaan mereka.” Ia terdiam sejenak. Tatapannya menerawang
jauh. “Sekarang… semua itu hanya tinggal kenangan.”
Hening.
Tak ada yang tahu harus berkata apa. Tapi kemudian, Rima menggenggam tangan Pak
Rahmat dengan lembut.
“Pak,
meskipun kami bukan keluarga Bapak, kami ingin Bapak tahu kalau Bapak tidak
sendirian.”
Pak
Rahmat menoleh, lalu tersenyum lagi. Kali ini, bukan hanya kesedihan yang
terpancar dari wajahnya, tetapi juga rasa syukur.
Hari
itu, di ruang perawatan rumah sakit, mereka menemukan makna Lebaran yang
berbeda. Bukan tentang berkumpul dengan keluarga sedarah, tetapi tentang hadir
untuk mereka yang membutuhkan.
Di
luar sana, takbir masih berkumandang. Namun di dalam hati mereka, gema
keikhlasan dan kebersamaan terasa lebih lantang.
Kadang,
keluarga bukanlah mereka yang terikat oleh darah, melainkan mereka yang tetap
ada saat kita merasa paling sendirian.
Lebaran
kali ini mungkin tak seperti yang mereka harapkan, tetapi mereka belajar bahwa
kebersamaan bisa ditemukan di tempat yang tak terduga.
Bagi
Pak Rahmat, mungkin ia tak bisa mencium tangan anak-anaknya hari ini, tetapi ia
merasakan hangatnya kasih sayang dari mereka yang bahkan baru ia kenal.
Bagi
Nana, mungkin ia tak bisa memeluk keluarganya di seberang pulau, tetapi ia
menemukan saudara baru di tempat ini.
Dan
bagi Kaka, Rima, serta Shanaz, mereka mengerti bahwa tugas mereka sebagai
tenaga kesehatan bukan hanya tentang menyembuhkan luka fisik, tetapi juga
tentang menghangatkan hati yang terluka oleh sepi.
Lebaran
di rumah sakit kali ini memang penuh pilu, tetapi juga penuh makna. Karena pada
akhirnya, kasih sayang tidak mengenal batas, dan kehangatan bisa ditemukan di
mana saja, bahkan di sebuah bangsal yang sunyi.
Terima Kasih Untuk
Nakes Pejuang Kehidupan
Kisah
ini menunjukkan bahwa Lebaran bukan hanya soal berkumpul dengan keluarga
kandung, tapi juga tentang keikhlasan, pengorbanan, dan menemukan kebersamaan
di tempat yang tak terduga.
Pejuang Kehidupan
By.goens’GN’
Komentar