Waktu terus berjalan, mengalir tanpa pernah menoleh ke belakang. Ia melaju menuju satu titik akhir yang tak seorang pun tahu kapan akan tiba. Dan ketika waktu itu habis, tahukah kita apa yang menanti? Sebuah pertanggungjawaban… Sebuah momen di mana setiap detik yang pernah kita habiskan akan dimintai arti dan nilainya.
Berat?........!
Mungkin!!!.... Tapi
bisa juga menjadi ringan, tergantung bagaimana kita mengisi kehidupan dalam
rentang waktu yang telah Tuhan titipkan.
Hari ini, di usia yang
bertambah atau sejatinya waktu yang semakin berkurang, aku menunduk dalam
syukur.
“Ya Allah… terima kasih karena
hingga detik ini Engkau masih meneguhkan iman dan Islam dalam dadaku. Itu
adalah karunia terbesar dalam hidupku”.
Pagi ini membawa
kenangan yang dalam. Di waktu yang sama bertahun-tahun lalu, seorang perempuan
sederhana dari desa, mamake tercinta, berjuang antara hidup dan mati
melahirkanku. Ia tidak hanya melahirkanku ke dunia, tetapi juga mendewasakanku
dengan ujian dan peluh dalam getirnya kehidupan.
Mamake… Bapak… terima
kasih telah menempaku dengan kasih, doa, dan kesabaran yang tak pernah habis.
Aku tahu, dalam setiap sujud kalian, ada doa yang kalian titipkan kepada langit
untuk anak-anakmu. Pagi ini, aku kembali mengingat dan bersyukur atas perjuanganmu.
Setelah Subuh tadi,
kecupan lembut istri dan anak gadisku terasa seperti doa yang menyelimuti hati.
Sebuah pesan singkat whatsApp dari
anak lelakiku yang dikirimkan saat sepertiga malam, menyiratkan harapan dan
cinta. Ya Allah… terima kasih atas keluarga kecil ini, yang menjadi pelipur
dalam lelah, dan harapan dalam langkah.
Di balik jariku yang
menari di atas tuts laptop ini, aku tersadar… betapa sering waktu berlalu tanpa
makna. Kadang terasa kejam, tetapi sejatinya waktu hanya menguji, sejauh mana
kita mampu menerima dan ridha atas takdir-Nya.
Waktu adalah pinjaman.
Bukan milik kita. Ia hanyalah titipan yang kelak harus dikembalikan, lengkap
dengan catatan bagaimana kita menjalaninya.
Ibn ‘Athaillah dalam
Al-Hikam menulis dengan indah namun menohok: “Waktu adalah tempat terjadinya segala sesuatu. Jika engkau
menyia-nyiakannya, maka engkau telah kehilangan tempat munculnya rahmat.”
Sungguh, waktu bukan hanya deretan angka pada kalender. Ia adalah rahim tempat
amal-amal kita dilahirkan. Dan tak ada satu detik pun yang bisa kembali.
Hari ini, usiaku
bertambah, tapi sejatinya waktu hidupku berkurang. Dan dalam keheningan ini,
aku bertanya pada diriku sendiri, untuk apa aku hidup selama ini?
Imam Al-Ghazali pernah
bertanya dalam hening hatinya, “Jika
engkau tahu bahwa akhirat adalah tempat tinggal yang abadi, mengapa engkau
tertipu oleh dunia yang sementara?”
Maka hari ini, aku
tidak meniup lilin. Aku meniupkan doa. Bukan sekadar memohon umur yang panjang,
tapi mohonkan umur yang berkah. Umur yang memberi makna. Sebab hidup bukanlah
tentang panjangnya perjalanan, tapi tentang nilai-nilai yang kita tanam selama
menempuhnya.
Waktu adalah amanah.
Dan akan datang satu hari, ketika semua amanah akan dimintai
pertanggungjawaban. Saat itu, kita tak akan ditanya.
“Berapa lama kamu
hidup?”
Tapi….. “Untuk apa
kamu hidup?”
Ya Allah…
Jika waktu yang Kau
titipkan ini masih tersisa, tuntunlah aku untuk menjadikannya ladang amal.
Jika waktu itu
sebentar lagi habis, terimalah ia sebagai bentuk pengabdian yang meski jauh
dari sempurna.
Dan jika Engkau ridha,
cukupkan aku dengan keikhlasan untuk menerima semuanya, terkait usia, luka,
cinta, kehilangan, dan harapan.
Karena pada akhirnya…
Waktu hanyalah jalan.
Dan tujuan sejatinya… adalah kembali pada-Mu.
Baqda Subuh, 25 Juli 2025
Igun Winarno

Komentar