Catatan Pagi, 11.09.2025
Pagi itu hujan turun deras, membasahi jalanan kota kecil yang mulai ramai oleh langkah orang-orang yang bergegas. Di tepi sebuah serambi toko, pandanganku tertumbuk pada sosok seorang lelaki tua. Tubuhnya ringkih, rambutnya memutih, pakaiannya sederhana namun tetap rapi. Ia duduk berteduh di bawah serambi toko yang sepi, seakan mencari teduh bukan hanya dari hujan, tapi juga dari hiruk pikuk dunia.
Ia menoleh, lalu tersenyum. Senyum itu bukan sekadar senyum—ada ketenangan, ada ketulusan, ada jejak panjang kehidupan yang terukir di setiap kerut wajahnya.
Aku memberanikan diri membuka obrolan, menggali kisah darinya. Ia pun menatapku dengan mata berbinar. Ada bahagia yang sederhana, karena masih ada yang sudi singgah untuk bercengkerama dengannya. Maka, kisah pagipun mengalir...
Ia bercerita tentang perjuangan hidupnya: jatuh, bangun, kehilangan, lalu bangkit kembali. Tentang betapa hidup tidak pernah benar-benar mudah, namun bisa terasa ringan bila kita pandai melihat sisi syukur di setiap detiknya.
“Apa pun yang terjadi,” ucapnya lembut, “kalau kita masih bisa bernapas, masih bisa tersenyum, itu sudah hadiah terbesar. Jangan sibuk menghitung apa yang hilang, tapi belajarlah menghargai apa yang masih tersisa.”
Aku terdiam.
Kata-kata sederhana itu menikam lembut ke dalam hati. Rasanya segala ambisi, penat, dan keluh kesah yang sering kuucapkan mendadak mengecil, hilang tak berarti.
Aku hanya bisa menunduk, menahan haru. Rintik hujan tersisa menjadi saksi, bahwa pagi itu aku belajar satu hal penting: pelajaran berharga tak selalu datang dari buku atau ruang kuliah. Kadang ia hadir lewat pertemuan singkat—dari seorang lelaki tua yang duduk berteduh di pinggir jalan.
Komentar