Langsung ke konten utama

SUARA SAWAH YANG TAK PERNAH DIAM

 (Cerpen oleh Igun Winarno)

Angin sore berhembus lembut di atas pematang. Langit mengguratkan lembayung yang lembut, seolah menorehkan senyum Tuhan di cakrawala. Di kejauhan, hijau pegunungan berbaur dengan kabut tipis, menghadirkan keheningan yang menenangkan jiwa. Namun keelokan itu terasa kontras dengan pemandangan di hadapan gubug reyot di tengah sawah yang mulai mengering.

Seorang lelaki tua duduk bersandar di sana — Mbah Tarno, tubuhnya renta tapi matanya masih menyimpan cahaya kasih seorang ayah. Pandangannya tertuju pada hamparan padi yang tak lagi hijau. Daun-daun menguning sebelum waktunya, batangnya kering, bulir-bulirnya hampa. Langit tampak muram, tapi hujan seperti menahan tangisnya di ujung langit.

“Gusti… sawah iki sepi kaya ati sing garing,” desahnya pelan.

(Ya Tuhan… sawah ini sunyi seperti hati yang kering).

Bagi Mbah Tarno, sawah bukan sekadar ladang rezeki. Di situlah ia menanam doa, menabur harapan, dan memupuk cinta untuk anak semata wayangnya — Rangga. Anak itu kini menempuh kuliah di Yogyakarta, di fakultas kedokteran yang dulu hanya bisa Mbah Tarno dengar lewat siaran radio di warung kopi. Biayanya besar, sangat besar. Tapi cinta orang tua tak pernah mengenal hitungan logika; ia selalu tumbuh, bahkan di tanah yang kering sekalipun.

Dulu, setiap subuh sebelum Mbah Tarno berangkat ke sawah, istrinya selalu menyiapkan secangkir kopi hitam. Bukan kopi mahal — hanya bubuk tipis yang diseduh air mendidih — namun aromanya menyeruak memenuhi ruang bambu kecil itu, hangat seperti cinta yang tak banyak kata. Dalam setiap uap kopi, ada doa sederhana seorang istri untuk suami dan anaknya.

Rangga masih remaja kala itu. Ia sering terbangun oleh suara ayam jantan dan langkah bapaknya yang berderak di lantai papan. Dari jendela kecil kamarnya, ia menatap punggung Mbah Tarno yang perlahan hilang di balik kabut pagi. Punggung itu, kurus tapi kokoh, menembus embun dengan semangat yang tak pernah lekang.

“Le,” ujar Mbah Tarno suatu pagi sambil menenteng cangkul, “urip iku kudu digagas, ora mung ditunggoni. Wong tuamu mung iso nganter tekan gerbang, sing mlebu yo awakmu dewe. Wong urip kudu wani nandur, sanajan durung ngerti kapan panenne.”

(Nak, hidup itu harus diupayakan, bukan sekadar ditunggu. Orang tuamu hanya bisa mengantar sampai gerbang, yang melangkah masuk adalah dirimu sendiri. Dalam hidup, orang harus berani menanam, meski belum tahu kapan panennya datang.)

Rangga hanya mengangguk, menatap wajah bapaknya yang mulai ditelan cahaya mentari pertama. Ia belum sepenuhnya mengerti, tapi kata-kata itu menempel di dadanya — seperti benih yang kelak akan tumbuh menjadi pohon makna, saat musimnya tiba.

Yogyakarta menyambut Rangga dengan denyut kehidupan yang berbeda. Kota ini seperti orkestra yang tak pernah benar-benar sunyi — jalan Malioboro berisik oleh musik jalanan, suara gesekan biola berpadu dengan tawa wisatawan dan bunyi derap andong yang berirama lambat. Di setiap sudut kota, aroma kopi menari bersama wangi hujan yang baru reda.

Rangga menikmati tiap denyut itu. Di sela kesibukan kuliah di fakultas kedokteran, ia sering berjalan sendirian menyusuri trotoar kota gudeg itu, mencari makna di antara cahaya lampu jalan dan suara kehidupan yang tak henti berdetak.

Suatu malam, teman-teman kuliahnya mengajaknya nongkrong di sebuah kafe kecil di pojok Jalan Kaliurang. Lampu temaram, alunan gitar akustik, dan percakapan santai menciptakan suasana yang hangat dan akrab. Tapi malam itu, topik mereka bukan sekadar tentang tugas, cinta, atau ujian blok, melainkan tentang dunia baru — trading dan saham.

“Bayangin, Ga,” kata Dimas, temannya yang berkacamata tebal, sambil menggulung lengan kemejanya. “Saham itu kayak denyut ekonomi dunia. Kalau kamu bisa baca grafiknya, kamu bisa tahu kapan dunia sedang bernafas... dan kapan dia mulai kejang.”

Rangga tersenyum kecil. Ia mengaduk kopinya perlahan, menatap pantulan cahaya lampu di permukaan cairan hitam itu. “Kalau begitu,” ujarnya pelan, “mirip pasien di ruang ICU, ya? Salah membaca detak — bisa hilang nyawa.”

Tawa pun pecah. Tapi di kepala Rangga, kalimat itu menancap.

Analogi itu hidup — denyut jantung dan grafik harga saham, dua dunia yang berbeda tapi sama-sama berbicara dalam bahasa ritme dan tanda-tanda. Otaknya yang terbiasa mengurai anatomi tubuh kini tertantang membaca anatomi pasar.

Ia pun mulai meresapi dunia trading dan saham. Bukan sekadar angka dan grafik, baginya itu seperti praktikum anatomi kehidupan — mengurai dari lapisan luar hingga menembus ke inti. Ia belajar membaca pola seperti ia membaca jaringan tubuh: dari kulit hingga saraf, dari vena hingga arteri, semua saling terhubung dalam sistem yang hidup.

Rangga semakin larut. Ia menatap grafik saham seperti menatap monitor detak jantung di ruang ICU — kadang cepat, kadang melambat; kadang penuh harapan, kadang nyaris datar.

“Seperti hidup,” batinnya, “selama kita waspada, nadi itu akan tetap berdetak.”

Bulan berikutnya, kiriman uang dari rumah datang lebih cepat dari biasanya. Tak banyak, tapi cukup membuat Rangga termenung di depan amplop cokelat itu.

“Mungkin bapak lagi ngirit,” gumamnya pelan. “Tapi aku harus bijak.”

Ia pun mencoba langkah kecil — investasi. Dengan sisa uang itu, ia membuka akun saham dan menanam modal seadanya. Ia tak gegabah. Setiap keputusan ia dasarkan pada logika dan kesabaran, seperti saat membaca hasil laboratorium pasien. Awalnya ia rugi, lalu stabil, dan perlahan mulai untung.

Keuntungan itu tak besar, tapi cukup membuatnya bisa membeli buku teks mahal tanpa harus meminta tambahan dari rumah. Dalam hatinya, ada rasa bangga yang sederhana — bukan karena uang, tapi karena pelajaran yang ia petik dari keteguhan bapaknya kini tumbuh dalam dirinya.

Meski begitu, setiap kali kiriman dari rumah datang, Rangga tetap menerimanya. Ia tak sanggup menolak kasih yang dikirim dari jauh itu. Uang itu ia simpan dalam kotak kayu kecil di bawah ranjang kosnya — bersama foto bapaknya yang sedang menanam padi, dan seikat malai kering yang dulu ia bawa dari sawah sebagai kenangan.

“Ini bukan uang,” bisiknya lirih, menatap foto yang mulai pudar,

“ini doa... yang dikirim lewat amplop.”

Sementara itu di kampung, hujan belum juga datang. Langit hanya menggantungkan awan kelabu tanpa janji. Tanah mulai retak seperti kulit tua yang kehilangan lembapnya. Daun-daun padi merunduk, dan angin membawa aroma getir dari sawah yang hampir mati.

Mbah Tarno terpaksa menjual dua ekor kambingnya untuk menutup hutang pupuk. Ia tak banyak bicara, hanya menatap kandang yang kini tampak lebih sepi.

Di dapur, istrinya menjerang air, menyiapkan kopi tipis seperti dulu.

“Pak,” suara perempuan itu lirih, “opo durung wayahe hujan teko? Wong padi wis ngelus dada.”

(Mbah, apa belum waktunya hujan datang? Padi saja sudah seperti mengeluh.)

Mbah Tarno duduk di dingklik kayu, menatap cangkir yang mengepulkan uap. “Saben perkara nduwé wayahé, Mak,” jawabnya pelan. “Kaya urip, kadang kering, kadang banjir. Sing penting, ati aja nganti garing.”

(Setiap hal punya waktunya, Mak. Seperti hidup — kadang kering, kadang banjir. Yang penting, hati jangan sampai kering.)

Istrinya tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Aku kangen Rangga, Pak. Pingin ndelok dheweke nganggo jas putih, kaya sing diceritakake wong-wong.”

(Aku rindu Rangga, Pak. Ingin sekali melihat dia pakai jas putih, seperti yang orang-orang ceritakan.)

Mbah Tarno menatap ke luar, ke langit yang mulai berkerlip. “Bakal teko wayahé, Mak. Sing penting, terus donga. Gusti ora turu.”

(Waktunya akan datang, Mak. Yang penting, terus berdoa. Tuhan tidak tidur.)

Malam itu, selepas isya, Mbah Tarno bersujud lama di atas tikar pandan. Bibirnya pelan menyebut satu nama — Rangga.

“Gusti, aku ora minta sugih, ora minta sawahku subur... cukup anakku iso dadi wong sing migunani kanggo wong liya.”

(Ya Tuhan, aku tak meminta kekayaan, tak meminta sawahku subur... cukup anakku bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesamanya.)

Kadang, selepas doa, ia menatap bintang-bintang di langit desa. Entah mengapa, setiap kali ia menyebut nama Rangga, bintang terasa lebih terang — seolah langit pun ikut mengamini cintanya yang tak bersyarat.

Rangga menamatkan studinya dengan IPK hampir sempurna. Ia kini bukan lagi anak desa yang dulu berjalan tanpa alas kaki ke sekolah, melainkan seorang dokter muda yang membawa cahaya harapan dari sawah yang dulu hampir tandus.

Saat wisuda tiba, ia menjemput kedua orang tuanya di stasiun. Mbah Tarno tampak kikuk mengenakan kemeja putih yang baru dibelikan Rangga, sementara istrinya menggenggam tas kecil berisi bekal nasi dan ayam goreng buatan sendiri. Mereka menginap di sebuah losmen sederhana di pinggir kota.

Malam itu, sebelum tidur, Rangga duduk di tepi ranjang, memandangi wajah bapak dan ibunya. Wajah yang dipenuhi garis perjuangan — garis yang dulu terbentuk dari matahari, tanah, dan doa.

“Le…” suara Mbah Tarno lirih, nyaris bergetar, “koe wis lulus?”

Rangga menatapnya dan mengangguk pelan.

Mbah Tarno menunduk, menahan air mata yang tak tertahan. Ia tak sanggup melanjutkan kata-kata. Istrinya mendekat, mengusap kepala Rangga dengan lembut, lalu memeluknya erat.

“Alhamdulillah, Nak… kabeh perjuanganmu ora muspra.”

(Alhamdulillah, Nak… perjuanganmu tidak sia-sia.)

Rangga hanya tersenyum, matanya basah. Dalam hatinya, ia berbisik penuh syukur kepada Sang Pemberi Hidup — sing gawe urip.

Keesokan paginya, di antara lautan toga hitam dan sorak-sorai para wisudawan, Rangga menatap langit biru Yogyakarta yang cerah. Dalam diam, ia membayangkan wajah bapaknya di sawah, menengadah ke langit dengan tangan menangkup doa.

“Dunia, anakku Rangga wis dadi dokter. Gusti, matur nuwun…”

(Dunia, anakku Rangga telah menjadi dokter. Tuhan, terima kasih…)

Beberapa tahun kemudian, di pinggiran kota gudeg, berdirilah sebuah klinik kecil bernama “Tunas Sehat.” Bukan klinik besar, tapi ramai oleh pasien yang datang bukan hanya karena pengobatan, melainkan karena kelembutan dan kerendahan hati sang dokter muda.

Di ruang kerjanya, tergantung foto seorang petani dengan caping lusuh, berdiri di tengah hamparan sawah. Wajah itu tersenyum tenang — Mbah Tarno.

Di atas meja kayu sederhana, ada sebuah kotak kecil. Di dalamnya tersimpan uang kiriman terakhir dari bapaknya, dan segenggam padi kering dari kampung halaman.

Setiap kali lelah datang, Rangga membuka kotak itu. Ia memandangi butir padi di telapak tangannya, lalu tersenyum.

“Ini bukan padi,” bisiknya, “ini doa… yang tumbuh jadi hidup.”

Suatu sore, Rangga pulang. Sawah bapaknya kini kembali hijau. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan. Di pematang, Mbah Tarno berdiri, menatap langit dengan mata berkaca.

“Wis lulus, le?”

“Wis, Pak. Klinikku wis jalan.”

“Alhamdulillah…” suara Mbah Tarno bergetar, “Bapak ora duwe opo-opo maneh, le, mung sawah iki.”

Rangga tersenyum pelan. “Sawah iki cukup, Pak. Soale saka kene aku sinau nandur — ora mung padi, tapi masa depan.”

Angin sore berhembus lembut. Padi berayun, seolah mengangguk. Di langit, awan membentuk guratan cahaya seperti butiran padi emas yang tumpah dari surga.

Mbah Tarno menatap anaknya dengan mata penuh kasih.

“Kowe saiki dadi dokter, Ga. Tapi elinga, dokter kuwi ya petani — sing nandur sehat ning ati wong liya.”

Rangga menunduk, menahan haru. Cahaya senja memantul di matanya, lembut seperti doa yang turun bersama hujan. Dan di antara desir angin itu, terdengar suara samar — suara sawah, suara cinta, suara seorang bapak yang tak pernah berhenti menanam.

Dan di antara desir angin sore yang lembut, Rangga terdiam menatap hamparan sawah yang bergoyang pelan. Di telinganya, samar terdengar kembali suara bapaknya di masa kecil — “Urip iku kudu digagas, ora mung ditunggoni. Wong urip kudu wani nandur, sanajan durung ngerti kapan panenne.” Kini ia mengerti sepenuhnya: hidup bukan tentang menunggu keajaiban datang, tapi tentang keberanian menanam meski belum tahu kapan hasilnya tiba. Ia menatap langit yang berwarna tembaga, merasa bahwa setiap butir padi yang tumbuh di hadapannya adalah doa yang pernah bapaknya tanam — doa yang kini berbuah pada dirinya. Dalam desiran angin itu, Rangga tahu, suara sawah yang ia dengar adalah suara cinta yang tak pernah berhenti menanam, bahkan setelah panennya datang.

Penulis

Igun Winarno

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEDOMAN ANESTESI DAN PEDIATRIK

PEDOMAN ANESTESI DAN PEDIATRIK 1.     Pendahuluan Penatalaksanaan anestesi pada kelompok pediatri mempunyai aspek psikologi, anatomi, farmakologi, fisiologi dan patologi yang berbeda dengan orang dewasa. Pemahaman atas perbedaan ini merupakan dasar penatalaksanaan anestesi pediatri yang efektif dan aman. Pendekatan psikologis merupakan faktor penting yang berdampak pada luaran anestesi pediatri. Sesuai perkembangannya, kelompok pediatri dibagi dalam kelompok usia neonatus yang lahir kurang bulan dan cukup bulan, bayi usia diatas 1 bulan sampai usia dibawah 1 tahun, anak usia prasekolah usia diatas 1 tahun sampai usia 5 tahun, anak usia sekolah usia 6 tahun sampai 12 tahun dan usia remaja 13 tahun sampai 18 tahun. Neonatus merupakan kelompok yang mempunyai risiko paling tinggi jika dilakukan pembedahan dan anestesi. Patologi yang memerlukan pembedahan berbeda tergantung kelompok usia, neonatus dan bayi memerlukan pembedahan untuk kelainan bawaan sedangkan remaja m...

Mengapa Aku Menjadi Seorang Dokter Anestesi

MENGAPA AKU MENJADI SEORANG DOKTER ANESTESI (Sebuah Titik Balik Kehidupan) Sekarang walaupun belum dapat kuraih semuanya, tetapi aku mulai bisa tersenyum mengenang akan masa laluku. Kini aku telah menjadi seorang dokter dan telah mendapatkan spesialisasi dalam jenjang pendidikan di bidang anestesiologi alias pendalaman dalam ilmu pembiusan dan penanganan pasien kegawatdaruratan di ruang intensif (ICU). Memang sih, masih banyak yang belum bisa aku raih tetapi setidaknya kini aku dapat tersenyum dengan kehidupanku sekarang. Aku terlahir disebuah desa kecil dengan kultur budaya pendidikan yang   tidak   menunjang, jangankan bermimpi untuk menjadi seorang dokter, untuk sekolah sampai jenjang menengah pertama dan atas saja masih menjadi barang yang langka. Untung aku terlahir mempunyai seorang bapak yang memang berorientasi pada pendidikan, walaupun susah dari sisi ekonomi untuk menjalaninya. Bapakku merupakan seorang pendidik yang berhenti entah mengapa, karena jaman at...

INFO KOS DI AJIBARANG

  KOS-KOSAN DI AJIBARANG Ingin mendapatkan tempat kos yang menyenangkan ?, Indi’s Kos menyediakan sebuah tempat hunian kos yang menyenangkan, dengan type kamar : Kamar mandi dalam, AC, lemari, spring bed 140 x 200, sprei, bantal dan guling, sebanyak 2 kamar Kamar mandi luar (dalam rumah 2 buah) : springbed 120 x 200, sprei, bantal guling, sebanyak 5 kamar Kamar : bersih Lokasi :  jalan Pramuka no 30, Ajibarang Kulon, Belakang kecamatan Ajibarang. Strategis : Tenang, dekat keramaian dan makanan, tempat parkir luas Bila memerlukan informasi bisa hubungi : Bapak Warsoon : 085292364268 Ruang santai, ruang bersama Kamar Mandi dalam Kamar Kamar Mandi Luar kamar /dalam rumah Kamar Mandi dalam Kamar Kamar Bukan Ber AC Kamar Ber AC