Sekarang
ini berbagai jenis olahraga sedang naik daun—lari, padel, badminton, bersepeda,
dan banyak lagi. Aktivitas-aktivitas ini tentu baik untuk kesehatan, tetapi
perlu diingat bahwa semuanya membuat jantung bekerja lebih keras. Peningkatan
kerja jantung dapat menjadi berbahaya bila olahraga dilakukan dengan nafsu,
ambisi, dan mengejar target berlebihan tanpa diimbangi kesadaran diri dan
kontrol yang baik. Tidak jarang kita mendengar kasus seseorang yang mendadak
meninggal saat sedang berolahraga. Karena itu, kewaspadaan menjadi sangat
penting.
Kita juga mengetahui bahwa penyakit
kardiovaskular saat ini meningkat tajam. Kelompok penyakit ini merupakan
penyebab utama serangan jantung dan stroke. Data menunjukkan bahwa angka
serangan jantung yang terjadi di luar rumah sakit cukup tinggi, sementara
kemampuan masyarakat dalam memberikan pertolongan henti jantung mendadak masih
sangat terbatas. Kombinasi ini membuat risiko kematian semakin besar.
Lalu, mengapa olahraga seperti berlari
atau aktivitas berat lainnya dapat memicu henti jantung, terutama bila tidak
disertai kesadaran diri yang baik? Ini adalah pertanyaan penting yang perlu
dipahami bersama.
Semua berkaitan dengan cardiac output atau curah jantung, yakni kemampuan
jantung menyediakan oksigen bagi sel-sel tubuh untuk menjalankan metabolisme.
Semakin berat aktivitas tubuh, semakin tinggi pula metabolisme, dan otomatis
kebutuhan oksigen meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan itu, jantung harus
bekerja lebih keras.
Secara fisiologis, cardiac output dipengaruhi oleh dua komponen utama:
1. Heart rate (HR) – jumlah denyut jantung per menit.
2. Stroke volume (SV) – volume darah yang dipompa setiap kali
jantung berkontraksi.
Sedangkan stroke volume ditentukan oleh:
·
Preload:
jumlah darah yang kembali ke jantung sebelum dipompa keluar.
·
Contractility:
kekuatan otot jantung saat melakukan pemompaan.
·
Afterload:
hambatan atau tahanan yang harus dilawan jantung saat memompa darah.
Jika ketiga faktor ini dipaksa bekerja
terlalu keras akibat olahraga berlebihan, dehidrasi, kurang istirahat, atau
adanya penyakit jantung yang tidak disadari, risiko gangguan irama jantung
hingga henti jantung bisa meningkat.
Karena
itu, olahraga tetap penting, tetapi harus dilakukan dengan bijak—kenali
kemampuan tubuh, lakukan pemanasan, perhatikan hidrasi, dan jangan memaksakan
diri. Olahraga yang aman adalah olahraga yang membuat tubuh sehat, bukan yang
mengorbankan keselamatan. Tetap waspada dan sayangi jantung Anda.
Pada olahraga berat seperti lari, bersepeda, padel,
dan aktivitas intens lainnya, kebutuhan oksigen tubuh meningkat tajam.
Pemenuhan kebutuhan ini sangat bergantung pada preload, yaitu volume darah yang masuk dan mengisi jantung sebelum
dipompa. Namun, pada kondisi olahraga berat, para pelaku olahraga sering berada
dalam keadaan dehidrasi akibat
keluarnya keringat dalam jumlah besar. Ini menyebabkan preload menurun.
Selain itu, saat jantung berdenyut semakin cepat, waktu pengisian jantung (preload filling time) menjadi semakin pendek. Akibatnya,
volume darah yang masuk ke jantung sebelum dipompa menjadi jauh lebih sedikit.
Kondisi ini membuat jantung tidak mampu memompa darah secara optimal—literatur
menyebutkan efisiensi pemompaan dapat turun menjadi sekitar sekitar 75%.
Pada situasi inilah risiko mechanical–electrical mismatch
meningkat. Pumping yang tidak stabil dapat memicu gangguan listrik jantung,
sehingga muncul aritmia berbahaya seperti ventricular tachycardia (VT) atau ventricular fibrillation (VF). Dua kondisi ini dapat
menyebabkan jantung berhenti memompa secara efektif. Bila henti jantung terjadi
dan tidak tertolong dalam 3 menit,
risiko kematian sangat tinggi.
Inilah alasan penting mengapa para pelaku olahraga
hendaknya memiliki kemampuan pertolongan
henti jantung mendadak, khususnya Bantuan Hidup Dasar (BHD) dengan High-Quality CPR.
Karena risiko itu nyata, dan pertolongan pertama sangat menentukan nyawa.
Bagaimana tanda-tanda tubuh sebelum seseorang
mengalami henti jantung saat berolahraga?
Inilah bagian yang sering terabaikan: kesadaran diri!!! Tubuh selalu memberi alarm, tetapi seringkali
diabaikan karena ambisi mengejar target.
Beberapa tanda kritis yang harus diwaspadai:
- Denyut jantung melewati batas aman
(rumus: 220 – usia ± 10–12 bpm).
- Denyut nadi tidak teratur atau
berdebar-debar kuat.
- Nyeri dada, tanda otot jantung kekurangan
oksigen.
- Gejala hipoksia otak: mata
berkunang-kunang, pusing, mual, atau muntah.
- Kulit terasa kering, panas, atau berkeringat
berlebih.
Jika tanda-tanda ini muncul, jangan memaksakan diri. Berhentilah, istirahat, kendalikan napas,
dan hidrasi.
Jika kita menemukan seseorang tiba-tiba kolaps-tidak
sadarkan diri saat berolahraga, apa yang
harus kita lakukan?
Ini fase pertolongan Cardiopulmonary Resucitation (CPR)
dimulai:
1. Pastikan keamanan diri dan korban.
Jangan
sampai penolong ikut menjadi korban. Singkirkan kerumunan agar sirkulasi udara
untuk korban lebih baik.
2. Cek respons korban.
Panggil di
kedua sisi telinga, tepuk bahu dengan kuat. Bila tidak
responsif → lanjut ke langkah berikut.
3. Cek nadi karotis (leher) selama 10 detik saja.
Jika tidak
teraba → segera minta bantuan orang sekitar dan minta seseorang mencari AED.
4. Mulai lakukan High-Quality CPR.
o
Kedalaman kompresi 5–6 cm
o
Kecepatan 100–120
kali/menit
o
Biarkan dada kembali sepenuhnya (full recoil)
o
Hindari ventilasi berlebihan
o
Minimalkan interupsi
5. Saat AED tiba, segera pasang.
o
Tempelkan pad kanan di bawah klavikula–belikat kanan
o
Pad kiri di bawah payudara, sela iga 4–5 menuju ketiak
o
Nyalakan AED dan ikuti instruksinya
o
Beri kejut jika dianjurkan, lalu lanjutkan CPR
Inilah kejadian yang tidak kita inginkan saat
berolahraga. Tetapi bila kita siap, kita dapat menyelamatkan nyawa.
Ingat, pencegahan tetap
lebih baik daripada mengobati. Olahraga
adalah sarana untuk sehat, bukan untuk membahayakan diri.
Selamat berolahraga—bijak, aman, dan penuh kesadaran.
By Igun Winarno

Komentar