“Profesional
Medis & Tantangan Ekonomi: Saatnya Melek Investasi”
Profesi yang Menjaga Kehidupan
Tenaga kesehatan dokter,
perawat, bidan, penata anestesi, analis, dan semua yang berada di balik layanan adalah
profesi yang sejak awal dibangun di atas niat mulia: menolong dan menjaga
kehidupan. Setiap hari, nakes berhadapan dengan batas tipis antara hidup dan
mati, antara harapan dan keputusasaan, antara air mata keluarga dan senyum lega
ketika pasien membaik.
Di balik semua itu, ada satu hal yang sering kali
terlupakan: nakes juga manusia. Mereka memiliki keluarga yang menanti di rumah,
orang tua yang perlu dibahagiakan, anak-anak yang menunggu disekolahkan, serta
masa depan yang mesti dipersiapkan.
Spirit bekerja lillahi ta’ala adalah pondasi,
bahwa setiap tindakan adalah ibadah. Namun pengabdian tidak berarti menafikan
kebutuhan hidup. Niat ikhlas bukan berarti menutup mata dari kewajiban
menafkahi diri dan keluarga secara bermartabat. Justru, menjaga martabat,
kehormatan, dan kesejahteraan keluarga adalah bagian dari amanah besar yang
juga harus ditunaikan.
Di sinilah sering muncul benturan, di satu sisi
panggilan jiwa untuk melayani, di sisi
lain, kenyataan hidup yang menuntut kestabilan finansial. Nakes dituntut kuat
di ruang rawat, namun sering kali rapuh di ruang finansial.
Realita Antara
Harapan dan Tekanan
Jika kita menengok ke lapangan, banyak nakes yang
bekerja dengan beban tanggung jawab besar, namun penghargaan yang mereka terima
tidak selalu sepadan. Beban kerja panjang, jam jaga berlapis, tanggung jawab
penuh risiko—semuanya kerap berjalan tanpa diiringi analisis beban kerja yang
memadai.
Dalam banyak kasus, manajemen atau pemilik layanan
kesehatan belum sepenuhnya menerapkan perhitungan objektif terhadap beban kerja
nakes. Analisis kebutuhan SDM, indeks beban kerja, risiko kerja, dan
kompleksitas kasus belum secara konsisten menjadi dasar penentuan remunerasi.
Akibatnya, sering muncul ketimpangan antara tuntutan dan penghargaan.
Nakes diminta sigap 24 jam, tetapi status mereka
kadang hanya dianggap “biasa”. Tanggung jawabnya luar biasa, namun sistem penghargaan
belum selalu menyentuh standar layak—baik dari sisi gaji, tunjangan
risiko, maupun dukungan psikososial.
Pada titik ini, idealisme sering kali bertemu dengan
realitas yang tidak selalu sejalan. Bukan berarti tenaga kesehatan meminta
kehidupan yang berlebihan atau mewah, namun hanya membutuhkan kehidupan yang
wajar dan layak—sesuai dengan tanggung jawab yang dijalankan.
Perlu dipahami bahwa tidak semua institusi mengabaikan kesejahteraan nakes. Banyak fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah menerapkan sistem penghargaan dan remunerasi dengan perhitungan yang baik. Namun pada saat yang sama, masih ada juga tempat yang belum sepenuhnya mampu atau belum memiliki sistem yang proporsional dalam menilai beban kerja, risiko, dan kompetensi tenaga kesehatan.
Dengan demikian, pembahasan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun, melainkan untuk mengajak melihat bahwa kesejahteraan nakes adalah bagian penting dari kualitas pelayanan kesehatan itu sendiri. Ketika kebutuhan dasar terpenuhi secara layak, tenaga kesehatan dapat bekerja dengan hati yang lebih tenang, fokus, dan optimal dalam memberikan pelayanan terbaik bagi pasien.
Luka yang Tak Tampak
Problematika nakes bukan hanya soal nominal honor atau
gaji. Ada luka lain yang sering tak tampak: stigma, tekanan sosial, dan bullying.
Nakes hidup di zaman ketika informasi begitu mudah
menyebar. Satu potong video, satu potong percakapan, dapat memicu asumsi liar.
Di sisi pasien dan keluarga, harapan yang tinggi kadang berubah menjadi
tuntutan berlebihan. Seolah nakes wajib selalu benar, tak boleh salah, dan
hasil harus selalu sempurna.
Kegagalan terapi—yang secara medis mungkin sudah
diupayakan maksimal—sering kali dipersepsikan sebagai “kesalahan dokter” atau
“kelalaian perawat”. Komplain dilontarkan tanpa mempertimbangkan kompleksitas
kondisi klinis. Belum lagi komentar pedas di media sosial, sindiran di depan
umum, atau ancaman pelaporan hukum tanpa klarifikasi yang proporsional.
Bullying verbal,
tekanan psikologis, hingga ancaman hukum menjadi beban tersendiri. Luka
psikologis ini tidak terlihat pada hasil lab, tidak terbaca di EKG, namun
perlahan menggerus semangat pengabdian. Nakes tetap tersenyum di depan pasien,
tapi hatinya lelah menghadapi tuduhan dan ketidakpercayaan.
Ingatlah!!! Tenaga kesehatan berikhtiar
sesuai ilmu dan prosedur, berusaha seoptimal mungkin menjaga kehidupan. Namun
ranah kesembuhan bukan sepenuhnya di tangan manusia. Penelitian memberi bukti,
pengalaman memberi harapan, tetapi keputusan akhir selalu kembali pada
Tuhan—Dia yang menetapkan siapa yang pulih, siapa yang bertambah berat, dan
siapa yang dipanggil pulang.
Seorang Dokter
Anestesi
Di antara beragam profesi tenaga kesehatan, dokter
anestesi adalah sosok penting yang sering bekerja dalam diam. Namanya jarang
disebut, wajahnya pun mungkin tidak dikenal oleh banyak pasien. Namun di balik
setiap operasi besar, di ruang ICU, atau dalam tindakan kritis, dokter anestesi dan bersama tim anestesi berdiri sebagai penjaga napas, tekanan darah,
kestabilan nyeri, dan keselamatan hidup pasien.
Saya kebetulan berada di barisan itu—seorang dokter
anestesi. Di antara aroma antiseptik, bunyi monitor, dan detik-detik kritis di
ruang operasi, saya menemukan satu kesenangan lain selain menjaga kehidupan:
menulis, merangkum cerita dari balik layar profesi yang sunyi, namun penuh
makna.Tanggung jawab dokter anestesi besar dan kompleks:
- Mengendalikan
jalan napas, ventilasi, dan sirkulasi.
- Mengantisipasi
kemungkinan terburuk, termasuk henti jantung mendadak.
- Menghadapi
tekanan waktu dalam situasi gawat darurat.
- Memikul
tanggung jawab etik, profesional, dan hukum ketika terjadi komplikasi.
Risiko kerja sangat tinggi, jam kerja sering tak
menentu, dan tuntutan konsentrasi maksimal harus dipertahankan dalam jangka
waktu lama. Seiring bertambahnya usia, keterampilan mungkin tetap terjaga,
tetapi kemampuan fisik jelas memiliki batas. Tangan bisa mulai gemetar, stamina
menurun, daya fokus tak setajam dahulu—sementara risiko klinis tetap sama,
bahkan bisa meningkat.
Di sinilah muncul dilema, sampai kapan
seorang dokter anestesi layak dan kuat terus berada di garis depan? Ketika masa
pensiun mulai mendekat atau justru
sulit dilakukan karena kebutuhan pelayanan yang masih tinggi, pendapatan
yang selama ini bergantung pada jasa pelayanan akan ikut menurun seiring
berkurangnya jam praktik. Jika tidak dipersiapkan sejak awal, kondisi tersebut
dapat menempatkan tenaga kesehatan, termasuk
dokter anestesi, pada posisi
finansial yang rentan.
Karena itu, selain memikirkan protokol dan guideline
keselamatan di ruang operasi, kita juga perlu menyusun “protokol” masa depan:
bagaimana mengatur keuangan, menata aset, serta mencari solusi finansial jangka
panjang yang aman dan bermartabat.
Nakes juga Manusia: Butuh
Kesejahteraan, Bukan Hanya Pengabdian
Sering muncul pandangan yang tanpa disadari terasa
membatasi, seolah-olah ketika seseorang menjadi dokter atau perawat, ia tidak
perlu memikirkan urusan finansial. Padahal, yang diperjuangkan bukanlah
kemewahan, melainkan keberlangsungan hidup yang wajar dan bermartabat.
Konteksnya bukan berarti tenaga kesehatan harus
menjadikan uang sebagai tujuan utama. Tetap bekerja optimal, ikhlas, dan lillah
sebagai bentuk pengabdian untuk menolong sesama. Namun pada saat yang sama,
kita juga perlu menjaga sisi kehidupan yang menjadi amanah: keluarga, masa
depan, dan tanggung jawab finansial sebagai bagian dari ikhtiar.
Siapa tahu justru inilah jalan yang Allah bukakan bagi
hamba-Nya—sebagaimana pesan dalam ayat seribu dinar: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dari setiap kesulitan, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada
Allah, maka Allah akan mencukupkannya. Sungguh, Allah melaksanakan urusan-Nya. Sesungguhnya Allah menjadikan
bagi setiap sesuatu itu ukuran.” (QS. Ath-Thalaq: 2–3)
Dengan demikian, ikhtiar profesional dan ikhtiar
finansial dapat berjalan bersama tetap dalam
bingkai ketakwaan dan pengabdian kepada Allah.Kesejahteraan bukan soal gaya
hidup tinggi, tetapi:
- Mampu
memenuhi kebutuhan dasar tanpa cemas tiap akhir bulan.
- Bisa
menyekolahkan anak dengan layak.
- Memiliki
dana darurat untuk kondisi tak terduga.
- Mempersiapkan
masa tua tanpa harus menggantungkan hidup pada belas kasihan orang lain.
Kemandirian finansial bagi nakes bukanlah kemewahan, melainkan bentuk self
respect. Ketika nakes tidak lagi sibuk memikirkan kekurangan di rumah, ia
bisa memberikan pelayanan dengan hati yang lebih lapang. Pengabdian justru akan
lebih tulus ketika kebutuhan dasar sudah relatif aman.
Solusi Kemandirian--Melek Investasi
Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk membangun
kemandirian finansial adalah melalui investasi.
Dalam konteks ini, kita berbicara tentang cara agar suatu saat uang bekerja
untuk kita, saat tubuh dan tenaga sudah tidak sekuat dulu untuk terus
bekerja.
Dari berbagai instrumen investasi, salah satu yang relevan dan cukup mudah
diakses adalah investasi saham. Saham memberikan peluang untuk memiliki
sebagian kecil perusahaan yang legal dan diawasi, dengan potensi keuntungan
jangka panjang.
Bagi dokter dan tenaga kesehatan yang batas usia
produktifnya berkaitan dengan kondisi fisik, investasi menjadi sangat penting.
Ketika masa praktik berkurang, pemasukan dari jasa layanan akan ikut turun. Di
titik inilah aset yang dibangun sejak jauh hari—termasuk saham—dapat menjadi
penopang finansial.
Tentu, investasi bukan jalan instan. Ia bukan “jalan
pintas jadi kaya” dan bukan pula arena spekulasi tanpa ilmu. Investasi saham
yang sehat adalah proses belajar, disiplin, dan konsisten dalam jangka panjang.
Investasi Saham bagi Nakes: Prinsip
Dasar
Agar aman dan tidak terjerumus, nakes yang ingin mulai
berinvestasi saham perlu memegang beberapa prinsip dasar:
1.
Gunakan uang bebas (free cash), bukan dari hutang.
Investasi sebaiknya menggunakan dana
yang memang dialokasikan khusus, bukan dana pinjaman, bukan pula dana yang
dibutuhkan dalam waktu dekat. Dengan demikian, fluktuasi harga tidak mengganggu
kebutuhan hidup harian.
2.
Jangan gunakan dana darurat
dan kebutuhan pokok.
Dana untuk belanja bulanan, biaya
sekolah anak, dan dana darurat tidak boleh disentuh untuk investasi yang
berisiko. Dana darurat justru harus disiapkan dulu sebelum mulai investasi.
3.
Mulai dari perusahaan yang
fundamentalnya kuat dan jelas legalitasnya.
Pilih perusahaan yang usahanya mudah
dipahami, berbisnis nyata, memiliki kinerja keuangan baik, dan diawasi otoritas
resmi. Hindari saham gorengan yang naik turun tanpa alasan jelas.
4.
Beli bertahap, jangan
terburu keuntungan instan.
Tidak perlu langsung menaruh semua
dana dalam satu waktu. Beli secara bertahap sambil memantau, belajar membaca
laporan keuangan, dan memahami pergerakan harga. Sikap serakah sering menjadi
pintu kerugian.
5.
Wajib literasi—investasi
tidak boleh pakai asumsi.
Jangan hanya ikut-ikutan rekomendasi
tanpa mengerti. Baca, belajar, ikut kelas, atau berguru pada sumber yang dapat
dipercaya. Nakes terbiasa membaca jurnal dan panduan klinis; kemampuan analitis
itu sangat bisa diterapkan dalam dunia investasi.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah mengimbangi keinginan berinvestasi
dengan kesungguhan belajar. Saya pribadi memulainya dengan membaca beberapa
literatur—hingga saat ini sudah ada lima buku yang sedang dan telah saya
pelajari. Selain itu, saya mengikuti sebuah kelas investasi yang berlangsung
mulai pukul 19.00 sampai 22.00, bahkan kadang melewati jam sebelas malam. Tentu
saja ada waktu keluarga yang harus saya korbankan, tetapi hingga kelas
kesepuluh dari total rencana dua belas pertemuan ini, insya Allah manfaatnya
jauh lebih besar daripada lelahnya.
Belajar
tidak berhenti di situ. Saya terus mencari sumber ilmu lain: menonton kanal
edukasi di YouTube, berdiskusi dengan teman yang lebih paham, dan membuka diri
terhadap kritik maupun koreksi. Investasi bukan sekadar membeli saham, tetapi
memahami apa yang dibeli, mengapa dibeli, dan bagaimana
mempertanggungjawabkannya.
Dengan sikap belajar yang berkelanjutan, tenaga kesehatan dapat menjaga
diri dari kesalahan dasar yang sering membuat banyak orang kapok atau merugi
dalam investasi. Ilmu adalah proteksi, bukan sekadar modal.
Step by Step Aman bagi
Pemula
Agar lebih
praktis, berikut langkah-langkah sederhana yang bisa dijadikan panduan awal:
1.
Susun tujuan finansial
(jangka pendek–panjang).
Tulis dengan
jelas: untuk apa berinvestasi? Dana pendidikan anak? Dana pensiun? Atau sekadar
menambah aset jangka panjang? Tujuan akan menentukan strategi.
2.
Analisis keuangan pribadi.
Hitung
pemasukan, pengeluaran, cicilan, dan tabungan. Pastikan ada ruang untuk
menyisihkan sebagian penghasilan sebagai dana investasi. Jika belum ada ruang,
perbaiki dulu pola pengeluaran.
3.
Mulai dari saham sektor yang
relatif stabil.
Misalnya
sektor consumer goods, telekomunikasi,
energi, atau infrastruktur yang bisnisnya jelas dan dibutuhkan banyak orang.
Hindari dulu saham yang terlalu volatil jika masih pemula.
4.
Rutin belajar sambil praktik
dalam skala kecil.
Jangan
menunggu merasa “sangat ahli” baru mulai, karena bisa jadi tidak mulai-mulai.
Mulailah kecil, sambil terus membaca, belajar analisis sederhana, dan
mendisiplinkan diri.
5.
Pantau bukan tiap menit,
tapi tiap periode.
Tujuan
investasi jangka panjang tidak memerlukan cek harga per menit. Cukup evaluasi
berkala, misalnya mingguan, bulanan atau
kuartalan. Fokus pada perbaikan kualitas portofolio, bukan sekadar naik-turun
harga harian.
Langkah-langkah ini bukan rumus baku, namun dapat menjadi kerangka awal
bagi nakes agar tidak gagap ketika memasuki dunia investasi saham.
Satu pembelajaran penting yang saya temukan dalam dunia investasi adalah
filosofi SaDis: Sabar dan Disiplin. Semakin lama saya belajar, semakin terasa
bahwa dua hal sederhana ini justru menentukan hasil jangka panjang. Dalam
investasi, kita harus benar-benar sabar—tidak terburu-buru ingin cepat untung,
tidak gelisah ketika harga turun, dan tidak mudah tergoda oleh euforia pasar.
Selama kita memahami bahwa fundamental saham yang kita pilih itu kuat dan
layak, maka tenang saja… insya Allah waktunya akan datang.
Namun, sabar tidak akan berarti tanpa “pendamping” yang setia, yaitu
disiplin. Disiplin adalah kelanjutan dari sabar: konsisten mencatat, rutin
menabung saham, belajar secara berkala, dan tetap mengikuti rencana yang sudah
dibuat, bukan hanya ikut suasana hati pasar. Bila sabar menjaga emosi, maka
disiplin menjaga langkah. Keduanya berjalan berdampingan, saling menguatkan,
sehingga investasi tidak sekadar mengejar keuntungan, tetapi menjadi proses
yang mendewasakan.
Renungan
Menjadi tenaga kesehatan adalah kehormatan. Setiap
hari, nakes berdiri di garis depan menjaga kehidupan. Profesi ini mulia, dan
karenanya layak ditopang dengan masa depan yang juga bermartabat.
Menyelamatkan pasien hari ini adalah tugas. Tetapi
menyelamatkan masa depan keluarga, mempersiapkan masa tua yang tenang, juga
bagian dari amanah. Di sinilah investasi—termasuk investasi saham yang
dilakukan dengan bijak—menjadi ikhtiar penting untuk menjaga keberlanjutan
hidup setelah masa pensiun.
Pada akhirnya, pengabdian tidak harus membuat kita
mengabaikan diri sendiri. Kita tetap bisa melayani dengan hati, sambil
merencanakan hidup dengan cara yang cerdas dan tenang. Hidup selalu memberi
pilihan, dan setiap orang berhak memilih langkah yang menurutnya terbaik.
Saya hanya menuliskan apa yang saya jalani—sekadar
hobi menulis sambil berbagi pengalaman. Kalau ternyata ada manfaatnya,
Alhamdulillah, itu karunia Allah. Kalau ada yang kurang pas atau kurang
berkenan, mohon maaf saja… namanya juga manusia, tidak luput dari salah. Semoga
Allah selalu membimbing niat kita agar tetap lurus dan penuh kebaikan.
By Igun Winarno

Komentar