TIGA HARI PERJALANAN KERINDUAN BERSAMA IBU - BAGIAN PERTAMA

Ibuku, biasa aku memanggilnya Mamake, sudah sepuh, umurnya sudah diatas 78 tahun. Setiap aku memandangnya, aku selalu teringat rasa kasih sayangnya dan masa-masa kecilku. Seorang Ibu yang penuh perhatian, penuh dengan perjuangan untuk membesarkan anak-anaknya. Mungkin ada yang berkata bahwa itu sudah sewajarnya untuk seorang ibu. Tetapi bagiku beda, dalam mengingat masa lalu ku.

Hari ini aku ingin merasakan kebersamaan dengannya, minimalnya lebih banyak bisa memandang wajahnya yang lembut. Kupegang pergelangan tangannya dan bersama bergandengan tangan menyelusuri jalan sebuah stasiun kereta, aku bisa melihat kebahagiaan di wajah yang penuh kelembutan dan wajah cantik yang sudah menua dalam perjalanan kali ini. Kereta yang kami naiki, sudah siap membawa, mengawali perjalanan tiga hari kami, tadinya ibu mau bersama istriku dan aku bersama anak gadisku, tetapi aku bilang “Perjalanan kali ini aku duduk bersama mamake saja, aku ingin lebih banyak bersama dengannya” kataku kepada Intan istriku, “Ist oke dan sepertinya itu lebih baik, Yah” katanya dengan lembuh.


Suara peluit kereta berbunyi, menuntun perjalanan, di dalam kereta aku sedikit mengobrol dengannya, “Mamake senang, mau jalan-jalan ke Solo”, beliau tersenyum malu, wajah yang masih menyisakan kecantikan dimasa mudanya, dengan hidung yang nampak indah dari seorang wanita desa. 


“Ya senanglah, nanti ke Masjid Solo yang baru ya” katanya dengan penuh harapan, ini memang keinginan yang sudah dipendam dalam beberapa waktu ini, aku hanya mengangguk dan menggodanya. “Mau lihat Gibran, apa mak” beliau hanya tersenyum saja.


Memang perjalanan ini, berawal dari keinginan anakku untuk bertemu di Solo, saat ini anak lelakiku lagi memulai kehidupannya di kota Pati sebagai dokter internship dan anak gadis kecilku, sementara lagi banyak waktu luang, sebelum memasuki waktu coass sebagai dokter muda. Mereka berdua sudah berencana mau ketemu di Solo, setelah minta ijin, aku teringat ibuku dan kuajaklah sekalian untuk pergi bersama mereka, yang kebetulan juga aku dalam masa waktu ingin menikmati sebagian waktu hidupku.


“De, kamu berburu tiket kereta yah, ayah cari hotel” kami berbagi tugas, karena waktu sempit dan tingkat hunian hotel di Solo lagi sering penuh, mungkin karena efek kota Solo, sekarang sedang banyak muncul di dunia medsos, instagram dan Tik tok, semu banyak terkait dengan sosok seorang Presiden Jokowi dan keluaarganya, tentunya juga karena faktor pembangunan dan kemajuan perkembangan perekonomiannya. Untunglah, kami masih bisa mendapatkan tiket kereta pulang-pergi dan juga masih mendapatkan hotel untuk dua malam.


Kami sampai di kota Solo sekitar jam 13.30, sebelumnya kami mengobrol dengan mengenang masa lalu. Aku sangat jelas sekali menatap wajah bahagia ibuku. Sepanjang jalan terlihat beliau tidak tidur, tetapi tenang menikmati perjalanan ini, “Mak, sudah sampai kota Solo” kataku sambil tersenyum memandangnya. “Kok cepet yah”, sepertinya masih ingin lebih lama menikmati perjalanan ini.


Memang sih, sebagai efek pembangunan dengan dibangunnya dua rel kereta, perjalanan dari Purwokerto sampai Solo Balapan, hanya memerlukan waktu sekitar 3,5 jam, terdahulu bis sampai 6 jam. Di saat kami mau turun dari kereta, kembali dengan kemesraan, aku gandeng tangan ibuku menuruni kereta dan menyusuri pinggir rel kereta api di Stasiun Solo Balapan, dengan pelan kami sampai di mushola stasiun untuk menunaikan sholat Dzuhur.


Setelah sholat dan mengucapkan rasa syukur, kami mencari kendaraan sewaan untuk mencapai hotel, banyak kendaraan yang menunggu di depan stasiun Solo Balapan. Seorang supir datang menawarkan jasanya, namanya Pak Hartono, setelah berbincang dengannya, dan aku mendiskripsikan rencana perjalananku sebelum ke hotel, untuk makan siang dahulu, baru ke hotel, terjadilah kesepakatan dengan biaya 100 ribu rupiah, menurutku wajar saja sih, dan kami segera jalan. “Mak, mau makan siang apa ?” kataku menanyakan kepada beliau. “Terserahlah, ikut bundanya Apta saja” menanggapi pertanyaanku, “Kalau sate kambing mau?” setelah melihat istriku dan sepertinya istriku juga setuju, jadilah kita sepakat untuk makan siang sate.


“Pak, Sate Mbok Galak dahulu ya!” kataku kepada Pak Hartono ini, sebenarnya yang kami kenal dan pernah ke Sate Pak Manto, tetapi kami rencanakan nanti setelah anak lanangku datang baru akan makan disana, “Kalau saya boleh kasih saran, jangan Mbok Galak, lebih enak Mbah Bejo, satenya lebih empuk” kata Pak Hartono sopir ini, dari nada bicara dan deskripsinya, sepertinya meyakinkan, akhirnya kami percaya saja, dan makan siang di Sate Mbah Bejo. Sampailah di Sate Mbah Bejo, aku merasa senang menyaksikan ibuku yang sepertinya bahagia, sampai minta tambah nasi sedikit saja, sayang disini istriku yang sedikit kecewa, karena sate buntelnya sudah habis.


Sate Mbah Bejo, tempatnya luas, banyak orang makan disini, hampir mirip dengan sate Pak Manto, dari sisi rasa menurutku sama saja sih, dan bagiku lebih pas di mulut sate Nursholeh Bumiayu atau Sate Dua Saudara Purwokero. 


Selesai menikmati, sate, gulai dan tongseng, kami pun langsung menuju ke Hotel Solia Zigna Kampoeng Batik. Kami memesan dua kamar yang saling terhubung. Menurutku ini sebuah hotel yang asik untuk sekedar liburan, dan kami bisa menikmati istirahat sejenak. Aku minta sekamar dengan ibuku dan istriku bersama Apta dan Rafi di kamar sebelah. Waktu maghrib, Rafi baru sampai setelah perjalanan dari Pati, dia anak yang disiplin, untuk minta ijin pulang lebih awal saja tidak pernah mau, sampai kadang istriku bete, sehingga maghrib baru sampai di kota Solo.


Rafi sampai di hotel hanya menjemput adiknya dan mereka langsung pergi sesuai dengan acara janjian mereka sendiri untuk menonton film Demon Slayer; Kimetsu no Yaiba-To the Hashira Training. Setelah itu kami bertiga jalan kaki menyusuri malamnya Solo di depan hotel. Ternyata gerimis malam mengiringi perjalanan malam kami, terpaksa kami kembali untuk memilih makan malam di Canting Londo Kitchen, cafe yang merupakan bagian dari hotel, sebuah cafe yang asik dengan tampilan live musiknya. Aku bersyukur banget, ibuku kembali menyukai makanannya dan alhamdulillah habis, seperti biasa aku selalu tersaji kopi arabika pahit yang menemani manisnya kebersamaan bersama mamake.


Cerita hari ini berakhir setelah sampai dikamar, kami sholat berjamaah dengan imamnya suara merdu dari Rafi, ibuku selalu menyukai cucunya kalau jadi imam sholatnya, akupun ingin manambah kebahagiaannya di malam ini.
Malam semakin bergelayut sepi, dan kusaksikan ibuku yang berselimut rapat untuk membuat kehangatan tubuhnya, akupun tersenyum, “Selamat malam, Mak. Mari mimpi indah bersama, untuk kita lanjutkan kebahagiaan kita di hari esok” 
To be continue bagian kedua

 

Komentar