Oleh : dr. Igun Winarno, SpAn
PENDAHULUAN
Kasus
hipoxyemia arteri pada pasien covid-19 juga banyak dilaporkan, sedangkan mereka
tanpa menampakan gejala pada umummnya orang yang mengalami hypoxia. Sebuah
laporan kasus menampilkan seorang usia 67 tahun mengalami hypoxia arteri dengan
PaO2 37 mmH, PaCO2 41 mmHg, SaO2 75 %, dengan gambaran PaCO2 yang normal, pasien
merasa nyaman tidak tampak sesak, tanpa
menggunakan otot bantu pernafasan.
Pasien ini mempunyai komorbid hipertensi, DM, riwayat operasi CABG,
serta transplantasi renal dan beberapa pasien yang dilaporkan hampir dalam
kondisi yang sama. Dilaporkan juga melalui sebuah media elektronik nasional 3
pasien di sebuah rumah sakit di wilayah Jawa Tengah mengalami kondisi yang sama, tiba-tiba mengalami perburukan.
Tulisan ini mengambil dari beberapa
journal dan artikel bebas untuk menggambarkan beberapa kondisi hipoksemia dan
hipoksia pada kasus covid-19.
HYPOXEMIA
Hipoksemia
didefinisikan sebagai penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah, sedangkan hipoksia didefinisikan sebagai
penurunan tingkat oksigenasi jaringan, sehingga kedua hal ini sebenarnya
kondisi yang berbeda. Hipoksia bisa terjadi karena rusaknya jaringan atau
ketidakmampuan jaringan memanfaatkan oksigen, sedangkan antara hopoksemia dan
hipoksia bisa terjadi dalam kondisi yang bersama maupun tidak bersamaan, karena kemampuan kompensasi yang kuat dari
tubuh kita dengan menaikkan kadar Hb dan cardiac
output maka hipoksia bisa
saja tidak terjadi. Demikian juga pada keracunan sianida, dimana
sel tidak bisa menggunakan oksigen, sedangkan kadar oksigen dalam darah
sebenarnya normal.
Efek hipoksia akan sangat kompleks, tetapi yang pertama sering terlihat adalah efek sirkulasi pada otak dan mata, karena keduanya sangat membutuhkan oksigen yang banyak, sensasi yang pertama muncul biasanya mata kabur, berkunang dan gelap sebagai efek kegagalan oksigenasi ke retina, kondisi ini akan diikuti dengan hilangnya tingkat kesadaran. Secara umum hipoksia akan menyebabkan terjadinya perubahan pola pernafasan, pertukaran oksigen menjadi tidak optimal, peningkatan tekanan sirkulasi paru, hipoksia lokal, aktivasi sistem simpatis yang akan menaikkan tekanan darah, disisi yang lain peningkatan CO2 akan menyebabkan vasodilatasi cerebral, tekanan intrakranial meningkat, perubahan keseimbangan asam basa, metabolisme anaerob, peningkatan produksi eritropoitin dan hemoglobin, dapat menginduksi pelepasan stimulasi sel kekebalan untuk memproduksi sitokin, serta efek lainnya seperti gangguan dalam konstraksi otot myocard, dan penurunan ambang fibrilasi.
Ketidaksesuaian Ventilasi / perfusi (V/Q mismatch)
Keadaan
ini sebagai penyebab paling umum dari hipoksemia. Kondisi ini dipengaruhi
variabel tekanan intrapleural dan sistem gravitasi. Mari kita perhatikan, secara umum ventilasi (V) akan banyak terjadi di
daerah apek, sedangkan perfusi (Q) lebih banyak di daerah basal tetapi
rasio V / Q lebih tinggi di puncak sedangkan di area basal lebih rendah. Hal
ini terjadi karena pada
daerah basal sistem gravitas lebih banyak terjadi peningkatan perfusi,
sedangkan peningkatan ventilasi tidak sebanding dengan perfusinya sehingga V/Q
rasio dibawah akan lebih rendah, sedangkan di atas (apek) akan lebih tinggi
karena terjadi penurunan perfusi yang lebih besar atau V/Q apek lebih besar dari basal, efek
yang akan terjadi :
- Ventilasi
bertanggung jawab untuk pertukaran gas maka di daerah apek akan terjadi
kandungan tinggi oksigen dan rendah CO2 dan daerah basal rendah oksigen
tetapi tinggi CO2, hal ini terjadi karena di daeah apek banyak oksigen
yang tidak terdistribusi, sedangkan di daerah basal kekurangan oksigen
untuk didistribusikan.
- Rasio
V/Q yang rendah, menghasilkan
hipoksemia dengan menurunnya
kadar oksigen alveolar (PAO2) dan selanjutnya kadar oksigen arteri.
- Kompensasi
akan terjadi untuk menaikkan V/Q rasio, agar tidak terjadi hipoksemia
terutama bila terjadi kronis, tubuh akan melakukan kompensasi dengan
menurunkan perfusi di area yang rendah V/Q rendah dengan menaikkan perfusi ke daerah
yang tinggi ventilasi dengan melakukan vasokonstriksi di daerah terdampak
yang biasa dikenal Hypoxia
Pulmonal Vasokonstriksi (HPV), dan berusaha
menaikkan pada daerah yang berventilasi baik, tetapi sebagai konsekuensi
bila berlangsung lama maka akan terjadi hipertensi pulmonal.
- Tujuan
dasarnya adalah untuk mempertahankan kesesuaian antara ventilasi dan
perfusi.
Beberapa penyebab umum hipoksemia karena V/Q mismatch diantaranya asma, COPD, terapi betha 2 agonis, bronkiektasis, fibrosis kistik, penyakit paru-paru interstisial/interstitial lung disease (ILD), dan hipertensi pulmonal. Shunting juga dapat memperberat terjadinya hipoksemia dengan meningkatnya V/Q mismacth, misalnya terjadi mengalirnya vena bronchialis menuju vena pulmonalis, kondisi ini biasanya kurang respon dengan terapi oksigen, berbeda dengan faktor penyebab diparu yang masih sensitiv terhadap terapi oksigen dan kadar PCO2 normal, sedangkan PCO2 pada kasus shunting akan tinggi dikarenakan tidak mengikuti proses ventilasi.
Hipoksia pada Covid-19
Pernapasan
dikendalikan oleh pusat pernapasan
di daerah medula oblongata dan
pons dari batang otak, mereka mengontrol
pernafasan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan metabolisme tubuh.
Dispnea
umumnya didefinisikan sebagai sensasi pernapasan yang 'tidak nyaman, sulit,
atau susah' dan terjadi, secara umum, ketika permintaan ventilasi tidak sesuai
dengan kemampuan pasien untuk merespons. Kondisi ini harus dibedakan antara
takipnea (pernapasan cepat) atau hiperpnea (meningkat ventilasi). Penilaian
dispnea berkaitan dengan, apakah perasaan ini muncul saat istirahat atau saat
berolahraga.
Respon
normal terhadap hiperkapnia (disebabkan oleh peningkatan VD (volume area mati / dead space), hipoventilasi atau peningkatan VCO2 yang
merupakan peningkatan dorongan pernapasan dan ventilasi volume semenit. Hipoksemia
sendiri cenderung memainkan peran sedikit pada sensasi sesak napas yang dialami
pasien dengan penyakit kardiopulmoner,
kebalikan dari hiperkapnia yang menciptakan sesak napas. Pada orang yang sehat
bila mengalami hipoksia ringan (PaO2 60-65 mmHg) maka pernafsan akan berubah
sedikit, tetapi bila sampai turun dibawah 40 mmHg, sering akan mengalami
dispneu. Respon normal biasanya dengan meningkatkan ventilasi semenit (menit
volume) dengan cara meningkatkan tidal volume (volume sekali nafas) dan laju
pernafasan, oleh karena itu ini bisa menjadi tanda klinis yang penting.
PaCO2
memegang peranan yang penting dalam aliran darah ke otak, hiperventilasi akan
menurunkan PaCO2 sehingga aliran darah ke otak juga akan menurun, tekanan
intrakranial juga menurun, hal ini karena terjadi vasokonstriksi, kejadian
sebaliknya bila terjadi Hypercapne (PaCO2 yang tinggi) akan terjadi
vasodilatasi dan peningkatan tekanan intrakranial sehingga terjadi penurunan
kesadaran, reflek batang otak berubah, respon postural dan motorik juga
berubah. Pada fase awal COVID-19, beberapa
mekanisme berkontribusi pada perkembangan hipoksemia arteri, tanpa peningkatan
kerja pernapasan yang bersamaan, bila tidak tertangani dengan baik, kerusakan klinis yang cepat dapat terjadi,
sehingga menyebabkan hipoksemia
pada kasus Covid-19, diantaranya faktor :
- Intrapulmonary shunting
Pada awal infeksi SARS-CoV-2 diketahui bahwa terjadinya hipoksemia disebabkan karena terjadi shunting intrapulmonal yang disebabkan oleh V/Q mismatch, hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan gradien A-aDO2, sehingga aliran arteri pulmonal ke alveolar tidak mengalami ventilasi. Seiring waktu, adanya edema yang meningkat akan semakin meningkatkan kerusakan berat paru, kolaps alveolar, dan atelektasis, kondisi ini semakin meningkatkan fraksi shunt secara progresif dan penurunan oksigenasi lebih lanjut yang tidak dapat sepenuhnya dikoreksi dengan meningkatkan FiO2.
- Hilangnya regulasi
perfusi paru
Didalam sistem renin angiotensin bahwa angiotensinogen akan diubah menjadi angiotensin I oleh renin, ACE kemudian akan mengubah menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II ini memiliki sifat vasokonstriktor yang kuat di pembuluh darah, oleh ACE2 sebagai lawan ACE akan diubah menjadi angiotensin 1-7 yang mempunyai sifat vasodilator. Pada pathofisiologi Covid-19, ternyata SARS-CoV-2 berikatan dengan angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) yang berada di permukaan endotel vaskuler terutama di paru, sebagai reseptor fungsional untuk masuknya sel. Ikatan ini menunjukkan afinitas empat kali lipat lebih tinggi untuk pengikatan reseptor, sehingga endositosis dari kompleks virus terjadi, ini berimbas ACE2 mengalami penurunan aktifitas sehingga memberikan efek aktifitas angiotensin II meningkat sehingga terjadi vasokonstriksi arteriole. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan COVID-19 tampaknya mengalami peningkatan kadar angiotensin II plasma, yang berkorelasi dengan tingkat cedera paru, Proses inflamasi ini juga menunjang cedera paru akut dan gangguan pernapasan. Penurunan aktivitas ACE2 menyebabkan peningkatan dan efek vasokonstriksi, pro-koagulasi, pro-inflamasi, dan pro-oksidan angiotensin II yang meningkat dan relatif tidak berlawanan. Tingginya aliran darah paru ke alveoli yang tidak berventilasi tampaknya disebabkan oleh kegagalan relatif mekanisme HPV (Hypoxia Pulmonal Vasokonstriksi) atau penyempitan arteri intrapulmonal kecil sebagai respons terhadap hipoksia alveolar selama infeksi SARS-CoV-2.
- Mikrotrombi intravaskular
Kondisi ini terjadi karena ketidakseimbangan antara aktivitas prokoagulan dan fibrinolitik menghadapi peradangan akut dan cedera endhotel. SARS-CoV-2 adalah virus corona RNA rantai tunggal, yang memasuki sel manusia terutama dengan mengikat angiotensin-converting enzyme 2, yang sangat tinggi diekspresikan dalam sel alveolar paru, miosit jantung, endotel vaskular, dan sel lainnya. Banyak pasien dengan COVID-19 menunjukan D-dimer tinggi kondisi ini menggambarkan pembentukan gumpalan darah. Tingkat D-dimer saat masuk digunakan untuk memprediksi kematian di rumah sakit di COVID-19 dan DIC muncul jauh lebih sering (71%) pada pasien COVID-19 dengan prognosis buruk, dibandingkan hanya 0,6% yang selamat. Otopsi paru-paru pasien dengan covid-19 menunjukkan deposisi fibrin, kerusakan alveolar difus, penebalan dinding pembuluh darah, dan sering terjadi mikrotrombi kaya komplemen yang menyumbat kapiler paru dan trombus yang lebih besar yang menyebabkan trombosis dan emboli arteri paru. Keadaan hiperkoagulasi menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada V / Q mismatch dan kerusakan jaringan paru-paru.
- Kapasitas difusi yang
terganggu
Diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO), mencerminkan kapasitas transfer karbon monoksida (CO) dari lingkungan ke darah kapiler paru, yang merupakan metodologi rutin yang paling berguna secara klinis untuk mengevaluasi fungsi paru-paru untuk pertukaran gas. KCO adalah konstanta laju pengambilan CO dari gas alveolar, yang sebagian besar dipengaruhi oleh ketebalan dan luas membran kapiler alveolar, volume darah di kapiler yang mensuplai alveoli berventilasi, serta konsentrasi dan sifat hemoglobin (Hb) di alveolar, darah kapiler. DLCO terutama ditentukan oleh KCO dan volume alveolar (VA). Secara matematis, KCO dapat dihitung sebagai DLCO / VA. Kapasitas difusi paru-paru (DLCO) dapat terganggu, meskipun cacat difusi murni jarang menjadi penyebab peningkatan gradien P (A-a) O2 saat istirahat. Hilangnya sel epitel alveolar dan keadaan pro-koagulan menyebabkan membran basal ditutupi fibrin, sel mati, dan produk aktivasi komplemen, secara kolektif disebut sebagai membran hialin. Oleh karena itu, pembatasan difusi dapat terjadi pada COVID-19 yang mengarah ke peningkatan gradien P (A-a) O2 dan hipoksemia arteri.
- Mekanisme Pertahanan Paru
Selama
hari-hari pertama infeksi, tidak ada peningkatan resistensi jalan napas, dan
mungkin tidak ada peningkatan ventilasi ruang mati anatomis atau fisiologis. Tidak ada upaya usaha nafas dikarenakan sebelumnya
tidak ada permasalahan fungsi paru, Perbedaan yang yang terjadi manakala sudah ada cedera paru akut dan
ARDS.
Takipnea yang dipicu oleh hipoksemia, hiperpnea, dan perubahan oksigenasi menunjukkan perburukan klinis pasien, hal ini bisa menunjukkan tingkat keparahan penyakit yang lebih lanjut, kompensasi tubuh atau managemen pengelolaan yang tidak optimal. Kondisi ini didukung kolapsnya paru, bisa juga karena pengurangan aktivitas surfaktan sehingga tidak mudah mengembang, menurunkan volume alveolar secara proposisonal dan meningkatkan usaha nafas. Ruang mati fisiologis juga meningkat karena berkurangnya aliran darah yang disebabkan oleh trombus intravaskular. Yang penting, kecemasan yang dialami pasien COVID-19 juga memengaruhi umpan balik kortikal ke pusat pernapasan. Akibatnya, seiring perkembangan penyakit, dispnea menjadi semakin jelas.
Managemen
yang mungkin dilakukan
Pasien dengan hipoksemia dimana replikasi virus sedang
berlangsung perlu untuk memperhatikan obat antivirus, kejadian mismatch V/Q,
pengurangan badai sitokin, juga perlu untuk memperhatikan kemungkinan timbulnya
mikrotrombus. Tromboprofilaksis bisa menjadikan pertimbangan bila pada tahap
awal sudah terjadi peningkatan D-Dimer yang bermakna. HPV yang efektif bisa
dipertimbangkan menjadi target untuk menaikkan kesesuaian V/Q. Modulasi
RAS (misalnya penghambat reseptor angiotensin,
ACE2
terlarut rekombinan, dan penghambatan bradikinin
sistem
mungkin memiliki peran potensial dalam memulihkan regulasi perfusi paru.
Pemberian tambahan oksigen
merupakan langkah pertama yang perlu dilakukan untuk memperbaiki ventilasi,
intubasi dini pada hipoksemia refrakter (peningkatan fraksi shunt) bisa
dipertimbangkan untuk meningkatkan tekanan intrapulmoner, pembukaan kerusakan
alveoli, meningkatkan oksigenasi, menghindari Patient self-inflicted lung injury (P-sili). Pada kasus yang lebih
berat sebagaian besar memenuhi kriteria Berlin ARDS, bisa dilakukan
lung-protective ventilation,
prone ventilation (posisi
tengkurap), sedasi yang efektif, analgesia, dan menjaga tekanan positive
end-expiratory pressure (PEEP) yang tinggi sangat bermanfaat, permissive hypercapnia juga
menurunkan ventilatorinduced lung injury
(VILI).
Definisi
Berlin pada Acute Respiratory Distress Syndrome |
|
Acute
Respiratory Distress Syndrome |
|
Timing |
Within 1
week of known clinical insult on new or worsening respiratory symptoms |
Chest imaginga |
Bilateral
opacities-not fully explained by effusions, lobar/lung collapse, or nodules |
Origin of edema |
·
Respiratory failure not fully explained by
cardiac failure or fluid overload · Need objective assessment (e.g.,
echocardiography) to exclude hydrostatic edema if no risk factor
present
|
Oxygenation |
|
· Mild |
200 mmHg
< PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg with PEEP or CPAP ≥ 5 cm H2OC |
· Moderate |
100 mmHg
< PaO2/FiO2 ≤ 200 mmHg with PEEP ≥ 5 cm H2OC |
· Severe |
PaO2/FiO2 ≤
100 mmHg with PEEP ≥ 5 cm H2OC |
Abbreviations: CPAP, continuous
positive airway pressure; FiO2, fraction of inspired oxygen; PaO2 partial pressure
of arterial oxygen; PEEP, positive
end-expiratory pressure
|
- Dhont S, Derom E, Braeckel EV, et al. The
Pathophysiology Of ‘Happy’ Hypoxemia In COVID-19. Respiratory Research (2020) 21:198 :
https://doi.org/10.1186/s12931-020-01462-5
- Tobin MJ, Laghi F, Jubran A. Why COVID-19 Silent
Hypoxemia Is Baffling to Physicians. Division
of Pulmonary and Critical Care Medicine, Hines Veterans Affairs Hospital
and Loyola University of Chicago Stritch School of Medicine, Hines, Illinois. American
Journal of Respiratory and Critical Care Medicine : Volume 202 Number 3 |
August 1 2020
- Sarkar M, Niranjan N, Banyal PK. Mechanisms of hypoxemia. PMID: 28144061. Lung India. 2017
Jan-Feb; 34(1): 47–60.
- Chen R, Gao Y, Chen M, Jian W, et al. Impaired
Pulmonary Function In Discharged Patients
With COVID-19: More Work Ahead. Eur
Respir J 2020; in press,
https://doi.org/10.1183/13993003.02194-2020.
- Nusair S. Abnormal Carbon Monoxide
Diffusion Capacity In COVID-19 Patients At Time Of Hospital Discharge. European Respiratory Journal 2020 56:
2001832; DOI: 10.1183/13993003.01832-2020
- Burcu F, Sarıalioğlu F. Pulmonary Intravascular
Coagulation In Covid‑19:
Possible Pathogenesis
And Recommendations On Anticoagulant / Thrombolytic Therapy. Springer Science+Business Media,
LLC, part of Springer Nature 2020,
Journal of Thrombosis and Thrombolysis, https://doi.org/10.1007/s11239-020-02129-0
- Lambden S, Brown BC, Hunt J, Summers C. Definitions And Pathophysiology Of Vasoplegic Shock.
Critical
Care volume 22, Article number: 174 (2018)
- Kuba
K, Imai Y, Rao S, et
al. "A
crucial role of angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) in SARS
coronavirus-induced lung injury". Nature Medicine.
11 (8): 875–9. doi:10.1038/nm1267. PMID 16007097.
- Schnirring,
Lisa. "WHO holds off on nCoV
emergency declaration as cases soar". CIDRAP (dalam bahasa
Inggris). Diakses tanggal 24 January 2020.
- Shi,
Zheng-Li; Zhou, Peng; Yang, et
al. "Discovery of
a novel coronavirus associated with the recent pneumonia outbreak in
humans and its potential bat origin".
bioRxiv (dalam bahasa Inggris): 2020.01.22.914952.
doi:10.1101/2020.01.22.914952.
- Bakhtiar A, Maranatha RA. Acute Respiratory Distress Syndrome. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo. JURNAL JR RESPIRASI, Vol. 4 No. 2 Mei 2018
Komentar