Part 3
KONTINUITAS
Rumah sakit dengan pasiennya pun
begitu, dia akan selalu berjalan beriringan menuju sebuah tujuan yang sama, dokter,
perawat, pasien dan semua pulang kembali kerumah dengan wajah yang gembira.
Sebuah pelayanan harus terus berlanjut dengan beriringan, segala sesuatu
diinformasikan, didiskusikan dengan pasien dan keluargannya, apa yang terjadi
dan apa yang dibutuhkan pasien, rumah sakit juga harus jujur dengan kepemilikan
sarana dan prasarananya, apakah masih memungkinkan untuk melanjutkan pemberian
pelayanan kepada pasien, atau
perkembangan pasien ini membutuhkan sarana dan prasarana maupun sdm, yang
ternyata tidak dimiliki oleh rumah sakit ini, sehingga mengharuskan pasien
dirujuk ke jenjang pelayanan yang lebih tinggi, inilah sebuah akses rumah sakit
dan kontinuitas pelayanan (ARK).
Tidak berapa lama kemudian dokter
Herdi menerima laporan dari Tofik salah seorang perawat jaga sore itu bahwa
pelayanan di ruang UGD telah beres semua, mulai dari pendaftaran pasien,
perencanaan pembayaran pasien, keluarga yang bertanggung jawab, pemesanan ruang
ICU dan kelengkapan rekam medik juga, untuk memastikan semuanya, dokter Herdi
kembali memeriksa rekam medis di UGD, mulai dari lembaran triage, pemeriksaan
pada catatan integrasi di UGD, kelengkapan asesmen keperawatan UGD, lembar
hasil pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya, dan
verifikasi yang dibuktikan dengan tandan tangan yang menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan
ini telah dilihat dan dianalisa oleh yang terkait, serta lembaran konsul
penanggung jawab ruang ICU yang menunjukkan pasien ini bisa dilakukan perawatan
di ruang ICU atau tidak, ternyata semua sudah lengkap.
Kegiatan ini ternyata terkait dengan
motto rekam medis yang “pantang pulang
sebelum rekam medis lengkap”. Keluarga pasien kemudian dibuatkan admisi
permintaan untuk pasien rawat inap ke ruang TPPRI atau tempat pendaftaran
pasien rawat inap.
“Selamat sore bapak, saya Soni ada
yang bisa di bantu” dengan lembut berdiri sambil menaruh telapak tangan kanan
di sebelah kiri dadanya.
“Selamat sore, ini mas maaf mau
mendaftar pasien untuk rawat inap”, bapak ini mengutarakan masudnya.
“Oh ya, ada surat pengantar
mondoknya”
“Ini mas,” sambil menyodorkan kertas
admisi note
“Maaf sebelumnya, apa pasien
mempunyai kartu sehat”,
“Iya ini ada,” keluarga pasien
menyerahkan kartu sehat, sekalian menyerahkan KTP dan Kartu Keluarga.
“Terima kasih, saya cukup kartu sehat
dan KTP-nya saja”, kemudian Soni mencoba mencocokkan nama pasien di KTP, Kartu
sehat dan admision note, setelah ditemukan kecocokkan, dia melanjutkan
memasukkan data kedalam SIMRS.
“Ternyata Ibu sudah pernah berobat ke
RSUD Ajibarang ya, ini KTP, Kartu Sehat dan permohonan rawat inap semua cocok,
saya bacakan dulu ya, Ny. Sukinem, usia 45 tahun, Alamat Desa Cikidang RT 1/RW
12 Cilongok Banyumas, apa ini semua betul ?”
“Betul, Mas”
“Ya, tunggu sebentar yah” dia
kemudian dengan cekatan mengambil bendel rekam medis pasien, mencetak gelang
identitas, mengambil blangko hak dan kewajiban pasien, tata tertib rumah sakit
dan blangko general concent.
“Maaf dan terima kasih sudah berkenan
untuk menunggu” sambil tersenyum dia dan meletakkan seluruh berkas yang tadi
diambil didepan dia dan keluarga pasien.
“Ini ada beberapa hal yang akan saya
terangkan dan nanti juga ada beberapa hal terkait penanggung jawab pasien”,
Soni berhenti sejenak melihat respon keluarga pasien.
“Siapa yang akan bertanggung jawab
terhadap pasien ini?”, kembali Soni melihat keluarga pasien, diantara mereka
saling tunjuk untuk menjadi penanggung jawab pasien, akhirnya salah seorang
diantara mereka berkenan untuk menjadi penanggungjawab pasien.
“Saya Mas, yang bertanggungjawab
terhadap Ibu Sukinem”, dia memberanikan diri untuk menjadi penanggungjawab
“Apa hubungan Bapak dengan Ny.
Sukinem”
“Saya anak nomer tiga dari Ibu”
“Terima kasih, bisa saya lihat KTP
Bapak”, diikuti Bapak itu menyerahkan KTP-nya kepada Soni.
“Ini berkas tentang penanggung jawab
pasien, silahkan diisi datanya sesuai dengan KTP Bapak, kemudian kalau sudah
paham, silahkan Bapak tanda tangani”, sambil menyodorkan berkas tersebut.
Setelah dia memahami kemudian dia menandatanginya dan menyerahkan kepada
petugas TPPRI.
“Ini masih ada beberapa berkas yang
harus Bapak tanda tangani, ini mengenai peraturan tata tertib rumah sakit, ini
mengenai hak dan kewajiban pasien, dan ini mengenai general concent, semua akan saya terangkan, dan Bapak boleh
membacanya, nanti kalau Bapak sudah paham, dilahkan ditanda tangani"
Soni kemudian menjealaskan mengenai
berkas-berkas tersebut, kepada keluarga pasien, setelah memahami semuanya,
keluarga pasien menandatangi berkas-berkas terkait.
“Pendaftaran pasien rawat inap sudah
selesai, ada yang mau ditanyakan?”
“Iya, tidak Mas….cukup”,
“Terima kasih atas kerja samanya,
silahkan berkas ini di bawa kembali ke UGD diserhakan kepada perawat atau
petugas UGD yang ada, semoga ibu segera sembuh diangkat penyakitnya oleh
Allah”,
“Aamiin, iya…terima kasih atas
doanya”, Dia terus menuju ke ruang UGD menyerahkan semuanya kepada petugas administrasi
dan perawat UGD. Persiapan untuk mentransfer pasien ke ruang ICU segera
dilakukan, mulai dari kesiapan berkas transfer
intra hospital (TIH), alat transportasi, alat monitor dan emergency kit.
Setelah suasana sedikit santai dokter
Herdi mempunyai kesempatan kembali ngobrol dengan dokter Hani, obrolan mereka
berdua mengenai kesannya menangani pasien kegawatdaruratan jantung.
“Dokter Hani, sini duduk istirahat
sebentar”, sambil memandang dia yang lagi mengerjakan sesuatu di ruang
administrasi
“Baik dok, lagian itu sudah semua,
tinggal mentransfer pasien ke ruang ICU”, ada perasaan seneng untuk melepas
lelah, tetapi ada juga sedikit deng-degan untuk lebih dekat dengan dokter
Herdi.
“Bagaimana kesan kamu setelah
menangani pasien dengan serangan jantung ACS?”, dengan senyum bangga, dokter
Hani menjawab pertanyaan dokter Herdi.
“Profesi dokter, khususnya dokter
jaga UGD, harus cepat dan terngginas yah dok”, wajahnya menunjukkan sebuah
kepuasan telah mendapatkan pengalaman berharga.
“Ya, seperti itulah, seperti yang
saya ceritakan sebelumnya”
“Ternyata faktor lingkungan juga
penting dalam melayani, betul dok?”
“Ya, betul sekali”, seneng melihat
dokter Hani menikmati pengalaman pertamanya.
“Disamping kita harus bekerja cepat
dan tepat, kita juga harus bisa menciptakan suasana lingkungan yang mendukung”,
mencoba melihat dokter Herdi
“Apa misalanya”
“Ya….kemampuan kita berkomunikasi dan
kemampuan kita memberikan edukasi kepada pasien, hal ini penting untuk
menciptakan lingkungan yang tenang dari keluarganya”
Obrolan mereka terus berlanjut,
seperti tadi dengan senyum khasnya dia mengatakan asik secara profesi, hal ini
dikarenakan kita dalam kondisi, harus menyelamatkan nyawa pasien, harus
bergerak cepat dan tepat, serta kemampuan kita dalam menjaga suasana dan kondisi
lingkungan agar menunjang psikologis pasien, dia juga mengatakan bahwa menjadi
seorang dokter juga harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik, hal ini
karena kita berinteraksi dengan tim jaga, pasien, keluarga dan juga para DPJP
dokter spesialis yang terkait, sulit membayangkan kalau kita tidak mempunyai
tingkat kepercayaan diri yang cukup serta kemampuan dalam berkomunikasi ini.
Dokter Herdi tersenyum mendengarkan pejelasan dia, seolah membenarkan apa yang
telah disampaikannya. Dokter Herdi pun melanjutkan dengan menerangkan
kelanjutan sebuah pelayanan, kalau kita sudah selesai memberikan pelayanan di
UGD kita harus kembali mengkomunikasikan dengan pasien dan keluarganya mengenai
perencanaan perawatan selanjutnya, hal ini yang kita kenal dengan discharge planing, kita akan menerangkan
kepada pasien mengenai penyakitnya saat ini, kondisi dia apakah membaik atau
justru mengalami perburukan, bila memungkinakan kita menerangkan evidence base prognosis kehidupannya,
perencanaan perawatan meliputi kegiatan yang berkaitan pasien akan diberikan
terapi apa saja, apa yang diharapkan, apa efeknya, alternatif terapi lainnya,
kemungkinan komplikasi yang terjadi, berapa lama perencanaan perawatan, dan
dimana akan dirawat serta kitapun harus menerangkan apa yang harus dilakukan
setelah selesai perawatan di rumah sakit, dirumah pasien harus tahu apa yang
harus dikerjakan, apa yang mesti dikurangi atau dijaga, tindakan apa yang harus
dilakukan bila terjadi serangan kembali dan bila perlu berkaitan dengan ini kita
mengajarkan kepada keluarganya mengenai bantuan hidup dasar yaitu bagaimana
keluarga mengenali, bila terjadi pasien tiba-tiba tidak sadarkan diri dan
ternyata jantung pasien telah berhenti. Dokter Hani tersenyum membalas apa yang
telah diterangkan oleh Herdi, ia pun menanggapi senyuman Hani dengan
berpura-pura mengambil balpoin yang ada disaku dan menuliskan sesuatu disebuah
lembaran kososng kertas yang tercecer di meja dokter.
“Dokter
! memang memungkinkan yah kita memberikan pelatihan bantuan hidup dasar kepada
masyarakat umum yang tidak mengerti tentang fisiologi tubuh?” dokter Hani
segera menimpali pertanyaan ini, hatinya sedang berbunga menghadapi suasana
sore hari jaga di UGD RSUD Ajibarang, entah apa yang sedang dia rasakan di sore
hari ini, sepertinya ada sesuatu yang muncul relung aneh dalam dirinya sehingga
tidak ingin waktu ini cepat berlalu, karena pada umumnya, dokter ingin segera
rasanya waktu cepat berlalu berada di ruang UGD, yang penuh dengan hiruk
pikuknya. Menanggapi pertanyaan ini dokter Herdi tersenyum dan sedikit menggoda
menawarkan bagaimana kalau diskusi ini kita lanjutkan nanti malam saja di “Bistro
Café Tepi Jalan”. Dokter Hani tidak perlu menanyakan lebih jauh dimana itu,
soalnya dia ini dokter lulusan dari fakultas kedokteran perguruan tinggi di Purwokerto, dia pasti
mengerti dimana itu lokasinya, seperti apa café nya, tetapi dia mencoba
berpura-pura berpikir, padahal hatinya semakin berbunga, wuah asik juga nih
bisa mengobrol lebih lama dengan dokter Herdi,
“Boleh
juga usulnya dokter, nanti saya pastikan selesai jaga ini ya dokter, semoga aja
tidak ada acara mendadak yang harus membatalkan kita ke Bistro Café Tepi
Jalan.” Katanya sambil memohon ijin untuk memeriksa pasien kembali, dia didalam
hatinya berteriak yes. Dokter Hani menuju pasien yang lain yang ada di runag
UGD untuk memastikan bahwa semua berjalan dengan aman, aman buat dokternya dan
aman buat pasiennya.
“Dokter,
kapan saya boleh pindah ?” tiba-tiba pasien bed 3, menanyakan hal ini kepada
dokter Hani, dengan senyum manisnya dokter Hani mendekatinya, mengambil
handscrub disekitar pasien dan melakukan cuci tangan dengan 5 langkah dan
secara spontan menutup tirai pasien dan
memegang tangan beliau, kebetulan pasien ini seorang ibu-ibu, sudah berumur
sekitar 65 tahun.
“Ibu,
maap saya dokter Hani, ibu bersabar yah, ini semua lagi dalam proses, tadi ada
sebagian hal yang berkaitan dengan sakit ibu yang masih dibutuhkan datanya,
nanti kalau sudah jadi dan sudah disimpulkan sementara kondisi dan sakit Ibu,
akan dicarikan ruangan yang sesuai dengan sakitnya ibu. “ dokter Hani mencoba
memberikan keterangan kepada pasien ini, kebetulan secara spontan dia teringat
dengan Ibunya 5 tahun lalu yang sakit dan dirawat disebuah rumah sakit, dia
memperhatikan pasien ini terlihat cemas akan sakitnya, sepertinya ada sesuatu
yang mengganjal, karena UGD lagi tidak terlalu ramai dokter Hani pun mempunyai
waktu yang lebih untuk menenangkan pasien ini. Itupun yang terjadi pada ibunya
saat itu.
“Ibu
tenang saja, yang sabar dan berdoa, kami sebagai dokter insya Allah akan
memberikan yang terbaik menurut kemampuan kami, Ibu tidak usah kuatir, dan Ibu
harus yakin bahwa sakit ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya,
Allah sedang merindukan hambanya, lagi kangen Allah sama Ibu, makanya Ibu harus
menghilangkan kangennya Allah dengan berdoa dan memohon kesembuhan kepada
Allah, berdoa bisa ibu dengan membaca “hasbunallah
wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir” yaitu dengan mencukupkan hanya
Allah lah sebaik-baiknya dan satu-satunya penolong serta pelindung ibu, semoga
dengan doa Ibu ini Allah menjalarkan kesembuhannya melalui para dokter Ibu dan
RSUD ajibarang”, dokter Hani berusaha menenangkan Ibu pasien ini dengan
perasaan halusnya, dan pasienpun tanpa menjawab apa yang diterangkan oleh dokternya
tetapi meneteskan air matanya sambil berucap pelan, ya Allah benar dokter ini,
aku memohon kepadamu untuk disembuhkan sakit hambamu ini, dan berikanlah
kesehatan untuk dokterku ini, dia menggenggam erat tangan dokter Hani saat
beliau mendoakannya, dan dia berucap terima kasih secara berulang kepada dia.
Inilah
makna sebuah hubungan yang halus antara sesama makhluk Allah dan kehendak Allah
sendiri, bahwa manusia itu tidak akan rugi kalau kita berbuat baik kepada
siapapun, karena pada hakekatnya perbuatan baik yang kita berikan kepada orang
lain, adalah perbuatan baik untuk diri kita sendiri, dokter Hani pun membathin,
berusaha untuk bercengkerama dengan dirinya sendiri marilah jiwaku yang di
dalam sana ajaklah diriku ini untuk selalu bisa berbuat baik, berbuat baik
kepada siapapun dan jagalah hatiku ini hanya aku peruntukkan untuk diri Nya.
“Dokter
Herdi, pasien Sukinem siap pindah ke ICU”, laporan Tofik kepada dokter Herdi.
“Okai
semua berkas sudah lengkap, teramsuk TIH ?”
“Sudah
dokter”
“Jangan
lupa pengaman tempat tidur, alat ikat pengaman, bedside monitor, alat
emergency”
“Siap
semua, Insya Allah dokter”
“Kalau
begitu segera kirim ke ruang ICU dan jangan lupa komunikasikan dulu dengan
petugas ICU kita akan mengirim pasien”
“Sudah
dokter”
“Loh….dokter
Hani kemana, kok malah tidak kelihatan”
“Dihatimu
dokter…..wakakakakak” Dian salah sorang perawat menggoda dokter Herdi, dan
diapun tersipu.
Pasien
segera dikirim ke ruang ICU, selama perjalanan, pasien terus dimonitor di awasi
tanda vital dan keluhannya. Setelah sampai di ICU segera diterima oleh perawat
Ujo dan Pepha.
“Mba
Pepha ini pasien Ny. Sukinem, 45 tahun, Alamat Cikidang RT 1/12, didiangnosis
dengan stemi”,
“Oh
ya, lembaran TIH-nya ada”, tanya Pepha
“Ada,
ini lembaran TIH-nya, tadi sebelumnya juga sudah konsul dokter Gun, dan beliau
setuju untuk perawatan di ICU”,
“Sudah
diberikan dan dialkukan apa yah”
“Ini
tadi PPK stemi dengan monaco dan pemberian heparin bolus sudah, dan lainnya
bisa dilihat di TIH”, perawat IGD mencoba untuk menjelaskan.
Diantara
merekapun terjadi komunikasi yang intens untuk menjelaskan pasien ini, mengenai
bagaimana selama perjalanan menuju ruang ICU apakah terdapat masalah atau
tidak, tindakan dan terapi yang sudah diberikan, termasuk didalamnya hasil
konsultasi terhadap DPJP dokter spesialis. Pasien kemudian ditempatkan di bed 3,
perawat ICU dengan lincah memasang bedside monitor, untuk kepentingan memonitor
tekanan darah, denyut jantung, gelombang elektrocerdiografi dan lainnya.
Setelah itu pasien dan keluarga juga diberikan edukasi oleh PPJP Pepha.
“Selamat
sore, Bapak Ibu semuanya, perkenalkan saya Pepha, perawat penanggung jawab
pasien di ruang ICU ini”, keluarga pasien hanya mengangguk mendengarkan suster
Pepha menerangkan.
“Ruangan
ICU adalah ruangan khusus, dimana pasien harus dimonitor secara terus-menerus,
dijaga ketenangannya dan tidak sembarang orang bisa masuk”, kembali keluarga
pasien hanya manggut-manggut mendengarkan keterangan suster Pepha.
“Keluarga
pasien silahkan menunggu diluar, ditempat yang telah disediakan, kamar mandi
ada disisi belakang, dimohon tidak ditinggal sehingga sewaktu-waktu dipanggil
ada yang menunggu, bagaimana, apakah da yang mau ditanyakan?”
“Boleh
menunggu didalam tidak suster?”
“Tidak
boleh, kecuali atas pertimbangan tertentu sehingga DPJP mengharuskan ada yang
menunggu”
“Oh
ya lupa, DPJP di ruang ICU ini dokter Gun, beliau seorang dokter anestesi dan
dokter Rahmat dokter penyakit dalam, apakah cukup jelas, atau ada yang masih
mau ditanyakan?”
“Cukup
suster dan terima kasih atas pemberitahuannya”, setelah berbasa-basi, keluarga
pasien keluar ruang ICU dengan selumnya menengok Ibu Sukinem di bed 3 dahulu.
Tim
jaga UGD kembali melaporkan kepada dokter Herdi bahwa pasien sudah berada di
ruang ICU bed 3, kebetulan dokter Herdi saat itu sedang bersama dengan dokter
Hani. Setelah menerima laporan Tim UGD, dia kembali melanjutkan obrolannya
dengan dokter Hani, hingga pada suatu waktu, dia melamun, membayangkan masa
lalunya.
“Nak,
Ibu kangen ingin ngobrol denganmu!”, pinta Ibunya suatu waktu kepada Herdi, kala
seorang wanita dengan leleki sudah mulai menentukan titik-titik kesamaan,
disaat itulah kita seharusnya lebih mempersiapan diri lagi, bagaimana dokter
Herdi masih teringat dengan jelas apa yang pernah dikatakan oleh Ibunya dahulu.
“Herdi
juga kangen dengan Ibu”, menunjukkan perasaan hormat dan sayang kepada orang
yang selama ini merawat dan selalu mengasihi, apalagi nampak jelas setelah
meninggalnya Ayah, hati Herdi kadang merindukan sosok Ayah, sosok yang selama
ini banyak memberikan nasehat, dan pepatah dalam kehidupan, walau kadang
disertai dengan perdebatan, tetapi diakhir cerita selalu aku merindukan dengan
sosoknya yang luas pemahamannya, dan mengajak setiap permasalahan jangan
dinilai dalam satu sisi yeng menurut kita baik, tetapi bagaimana kalau kita
dalam posisi yang sebaliknya, beliau selalu katakan semua agar kita ini menjadi
pribadi yang bijaksana.
“Nak,
ingat jadi seorang lelaki apalagi nanti kalau sudah menjadi suami itu jangan
gumedhe,” Ibunya mulai menjelaskan saat dokter Herdi sedang sarapan bareng
dengannya, menikmati masakan khas Ibu di pagi hari, mendoan hangat dengan
sambel terasi.
“Maksudnya
apa ya Ibu?”
“Lelaki
iku kadang merasa kuasa terhadap istrinya, apalagi nanti kalau ternyata sudah
banyak mendapatkan uang”
“Insya
Allah, tidak Ibu. Herdi akan teringat pesan Ibu ini”, Ibunya memandang anak
satu-satunya ini, dengan lembut dan tiba-tiba meneteskan air matanya. Ia
teringat dengan mendiang suaminya, Bapak dari anaknya ini. Bagaimana kalau dia
lagi menyanyanginya, penuh perhatian dan bagaimana dia kalau sedang berusaha
untuk mendapatkan rizki menyambung hidupnya, apapun dilakukannya. Suaminya
merupakan tipikal lelaki pekerja keras, menyanyangi anak dan isterinya. Hingga
kini suaminya telah meninggalkan harta yang cukup untuk membiayai Herdi sekolah
sampai manapun.
“Apakah
kamu sudah mempunyai gadis calon pendampingmu, Nak”, tiba-tiba Ibunya
menanyakan sesuatu hal yang cukup membuat dia kaget.
“Belum
menemukan ada yang cocok Bu” katanya sambil senyum manja kepada Ibunya.
“Belum
menemukan, apa belum mencari”, Ibunya mempertegas apa yang telah dilakukan
anaknya.
“Jangan
lupa, walaupun jodoh, kematian dan rizki telah Allah tentukan, tetapi kita
belum tahu apa takdir kita, Allah hanya perintahkan kita untuk beriman
mempercayainya dan kita juga diperintahkan untuk berusaha, berikhtiar dalam
menjemput takdir kita, ingat Anakku, inilah pahalah kita”, terang Ibunya kepada
dokter Herdi dan diapun hanya sedikit menunduk saja, kalau sudah diatanya
dengan ini, dia sudah mulai bingung membayangkan istrinya nanti. Apakah dia
akan menyangi Ibunya atau tidak, apakah dia akan akur dengan Ibunya atau tidak,
dia tidak bisa membayangkan hal yang buruk terjadi dengan Ibunya karena
perilaku istrinya kelak, tetapi sepintas tiba-tiba dia terbayang dengan dokter
Hani, mungkinkah dia seorang wanita yang bisa menjadi teman, sahabat dan
menantu dari Ibunya kelak.
“Herdi,”
Ibunya mencoba untuk membuyarkan lamunannya dia
“Iya
Ibu” kaget dengan panggilan lembut Ibunya, seketika itu bayangan dokter Hani
buyar seketika.
“Kalau
kamu sudah mempunyai seorang calon jangan lupa untuk berdoa, karena dengan
doamu ini semoga Allah merakhmati apa yang menjadikan keinginanmu, kalau kamu
sudah berdoa, segera kamu berusaha untuk mencari ataupun mendapatkan dia,
setelah itu seyogyanya kamu bercermin, memang bibit, bobot dan bebet itu tidak
mutlak untuk kamu gunakan, tetapi tetap untuk menjadikan sebuah pertimbangan
bagimu”, Ibunya sudah menasihati panjang lebar.
“Sebenarnya
Herdi sudah mempunyai seorang gadis yang menurut Herdi cocok Ibu”, Herdi sudah
memulai membuka diri.
“Tapi
Herdi masih ada sesuatu yang mengganjal di hati Herdi, sehingga belum berani
untuk melangkah semakin jauh”
“Apa
yang menjadikan beban pikiranmu, anakku?”, mendengar pertanyaan ini, dia
memandang dengan penuh cinta kepada ibunya, terbayang akan lalu, masa indah
yang tidak mungkin terlupakan darinya, bentuk kasih sayangnya, sulit aku
mendapatkan pembandingnya, tetapi bukan itu masalah yang selalu mengganjal di
dalam dirinya, ada satu hal yang selalu membanyangi dan membuntuti dikala
menemukan seorang wanita. Dia kemudian terdiam lama tidak memberikan jawaban
kepada ibunya, dan secara tidak sadar, dia meneteskan air matanya.
“Jangan
menangis anakku, hidup ini memang banyak cabang, banyak jalan, banyak pilihan,
tetepi kita harus menyadari tujuan yang ingin di capai itu hanya satu,
keridhoan dari Allah, dan cara untuk menjalaninya yaitu dengan keimanan,
perbuatan yang baik, keikhlasan dalam menerima takdir selama engka menjalani,
Insya Allah kamu akan selamat”, Ibunya sebenarnya sedikit memahami apa yang
menjadi ganjalan anak satu-satunya ini, yaitu dirinya. Dia anak yang baik, dia
selalu memikirkan kebahagiaan ibunya, dia semakin tertunduk diam dan ibunya pun
berdiri mendekatinya memegang halus rambutnya, mengusap dengan kasih sayang
seorang ibu.
“Ya
sudah ini sudah malam, kamu tidur dulu, jangan lupa yah ambil air wudhu dan
sholat Isya dulu sebelum tidur”, Herdi kemudian berdiri dan memegang tangan
ibunya, kemudian dia pamit menuju kamarnya, ketika dia berjalan beberapa
langkah, ibunya memanggil dengan suara pelan.
“Herdi…jangan
lupa bangun malam untuk sholat Tahajud dan memohon kepada Allla”, sambil
tersenyum Ibunya memandang Herdi, dia membathin, sudah besar anakku, aku harus
ikhlas melepaskan dia untuk hidup lebih lama dalam kebahagiannya. Ibunya dahulu
telah berjanji terhadap dirinya sendiri, selepas ditinggal mati suami
tercintanya, dia tidak akan mencari penggantinya, menurut dia suaminya tida
lelaki yang bisa menggantikanya, dia teriangat bagaimana perhatiannya Tedjo
dikala masih hidup, bagaimana suaminya selalu membantu kehidupannya didalam
rumah, walau dia sibuk diluar untuk memenuhi kehidupan ekonomi kami, dia sudah
berjanji untuk tidak mencari penggantinya, bukan hanya semata itu saja, tetapi
faktor Herdi yang terkuat, yang membuat tidak ingin mencari pengganti suaminya,
dia ingin benar-benar menjaga dan membesarkan Herdi dengan semampunya.
“Iya
Bu, semoga Allah membangunkannya untuk sholat tahajud, matur suwun Ibu”, Herdi
membalas ibunya sambil tersenyum, dia pun segera menuju kamarnya dan mengambil
air wudhu untuk sholat Isha.
Dokter
Herdi segera menuju tempat tidurnya dan menerawang ke atap kamarnya, ada satu
hal yang mengganjal hatinya, dan teringat sebuah pengajian di kampusnya yang
diisi oleh Ustadz Ahmad Slamet bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk
menyembah Allah dan menghindari syirik dan untuk bersikap baik kepada orang tua
dengan sikap baik yang sesungguhnya. Junjungan kita juga menyabdakan tentang
hal ini sampai berulang-ulang dalam suatu majlis yang sama mengenai dosa besar
yaitu menyekutukan Allah, dan bersikap tidak baik kepada orang tua. Dia masih
juga hal terkait yang masih diingat betul oleh nya bahwa didalam perintah agama
diterangkan juga sebuah ajaran bahwa keridhoan Allah terhadap hambanya
tergantung kepada keridhoan orang tua kepada anaknya, dan demikian juga murka
Allah tergantung kepada murka orang tuanya. Setelah meresapi isi pengajian ini
kembali iyapun secara spontan berdoa “Ya Allah yang maha agung, maha penuh
kasih, penuh sayang, aku hanya bisa bersyukur kepada-Mu atas karunia hidup
didunia ini, jadikanlah setiap langkahku adalah ibadah dan hentikan langkahku
bila itu jalan menuju dosa, Engkau adalah maha adil dan aku berterima kasih
atas karunia dua orang tuaku, sayangilah mereka dan jagalah imannya,
bahagiakanlah mereka, jaga dari sakitnya dan peretmukanlah kami nanti di
surgamu, aamiin”, dokter Herdi mengeluarkan bulir-bulir kecila airmata dan
dihapus pelan dengan tangannya, dia melanjutkan berdoa sebelum tidur dan
mencoba untuk memejamkan matanya. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu memamnggil
namanya.
“Herdi….bangun...ayoo
bangun….beberapa lama lagi waktu imsyak, ayoo..masih ada waktu untuk
tahajudmu”, dia terbangun, dan begitu kaget, ternyata dia tadi habis dicubit
tangannya, dan dia tersadar dari lamunannya.
“Hemmm,
…..begitu yah, ada gadis secantik aku, masih membayangkan yang
lain….hhihihihi…ngambek nih!” sambil memandang Herdi yang nyengir nda karuan.
“Wuaduh
maaf yah….sedikit melamunkan masa lalu”, membela diri
“Masa
lalu….yang ingin diulang kembali yah…” sergahnya menandakan sebuah kecemburuan.
“Bukan….nanti
pada suatu waktu yang pas, akan aku ceritakan hal ini”, Herdi mencoba untuk
mencari alasan agar tidak menceritakan isi lamunannya tadi. Selah itu Herdi
pamit untuk sholat Maghrib dahulu di Masjid Baitus Syifa.
Komentar