Igun
Winarno, Aviasenna Andriand, Dwi Liliyani
Kematian dan kehidupan
adalah suatu penciptaan Tuhan yang
patut disyukuri dan diterima seikhlas mungkin sebagai landasan kita dalam
mempercayai adanya Tuhan.1
“Kullu nafsin żā`iqatul-maụt,
ṡumma ilainā turja'ụn” didalam QS Al Ankabut 57 dijelaskan bahwa “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati,
kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan”. Jadi kematian merupakan
sebuah proses kehidupan yang sudah pasti terjadi, sehingga sebagai seorang yang
beriman kita tidak semestinya merasakan ketakutan, kecemasan ataupun hal
lainnya, tetapi justru merasakan kebahagiaan karena akan bertemu dengan
Tuannya, yang menciptakan. Kematian itu sendiri didefinisikan sebagai kondisi berpisahnya
ruh (nyawa) dengan tubuh (jasad) untuk sementara waktu yang telah ditentukan. Korelasi
ini mengandung pemahaman bahwa, kematian yang dimaksud berarti telah kehilangan
kekuatan atau kemampuan untuk hidup, ini sama seperti seseorang telah kehilangan sejumlah organ
tubuh, yang menyebabkan seseorang tidak dapat merasakan atau melihat sesuatu.
Kalangan dunia ilmiah memandang
konsep kematian otak (Brain death/BD)
sebagai klinis akhir dari katastrofik otak yang ditandai dengan penghentian
neurologis yang lengkap dan tidak dapat diubah, yang dikenali dengan koma yang
tidak dapat diubah, refleks batang otak tidak ada, dan apnea.3 Kondisi ini diawali dari Mollaret dan Goulon
(1959), memperkenalkan istilah koma yang irreversible
dengan mendeskripsikan 23 pasien koma yang telah hilang kesadaran, refleks
batang otak yang negatif, berhentinya pernapasan dan aktivitas gelombang electroensefalografi (EEG) yang mendatar.4
Konsensus yang berkembang tentang konsep
medis mengenai kematian yaitu semua kematian manusia secara anatomis terletak
di otak. Kematian manusia melibatkan hilangnya kapasitas kesadaran yang tidak
dapat diubah kembali (irreversible),
dikombinasikan dengan hilangnya kapasitas untuk bernapas yang tidak dapat
diubah. Dua kapasitas esensial ini ditemukan di otak, khususnya batang otak.2
Seiring
berkembangnya teknologi dalam bidang kesehatan ditemukan alat bantuan hidup
yang tetap dapat mempertahankan denyut jantung dan pernapasan walaupun pasien
telah mati, sehingga konsep tersebut mulai ditinggalkan serta menimbulkan
persepsi baru mengenai konsep kematian. Terdapat
tiga konsep bagi para praktik medis untuk menentukan kematian yaitu kriteria
bersifat somatis, sistem sirkulasi tubuh (kardiorespi) dan fungsi neurologis
(pada pasien dalam keadaan koma dan menggunakan ventilasi mekanik)2.
Pada
tulisan ini
kita akan membahas mengenai konsep kematian batang otak dalam dunia medis,
proses patofisiologi terjadi kematian batang otak, mengetahui berbagai kriteria
kematian batang otak, pengaruh emosional terhadap keluarga, cara pemeriksaan
kematian batang otak, dan siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan
pemeriksaan serta memberhentikan bantuan hidup pada pasien yang mengalami
kematian batang otak.
Definisi
Berdasarkan
Undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 117 kematian didefinisikan “Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi
sistem jantung,
sirkulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah
dapat dibuktikan.” Kematian
batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak, termasuk fungsi batang otak,
secara irreversible. Tiga tanda utama manifestasi
kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak dan terjadinya apnea.
Diagnosis mati batang otak merupakan diagnosis
klinis. Tidak diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis termasuk pemeriksaan refleks batang otak
dan tes apnea dapat dilaksanakan secara
adekuat. Jika temuan klinis dan yang sesuai dengan konfirmasi mati batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang
mendukung diagnosis kematian batang otak
tidak dapat diperoleh, diagnosis mati batang otak tidak dapat ditegakkan.4
Konferensi
Royal Medical Colleges pada tahun 1976 mencapai konsensus bahwa kematian batang
otak merupakan kematian otak. Memorandum yang direvisi pada tahun 1979
menghubungkan kematian batang otak dengan kematian itu sendiri. American
Academy of Neurology (AAN) telah mendalilkan kematian otak
sebagai "koma, tidak adanya refleks batang otak, dan apnea."
Anatomi Batang Otak
Batang
otak merupakan bagian posterior dari otak, yang berhubungan dengan medulla
spinalis. Batang otak terdiri dari mesensefalon (otak tengah), pons, dan
medulla oblongata. Batang otak memiliki fungsi penting dalam meregulasi fungsi
jantung dan respirasi dengan mengontrol frekuensi denyut jantung dan
pernapasan. Batang otak juga memberikan persarafan utama, baik motorik maupun
sensorik pada wajah dan leher melalui Nervus Cranialis III hingga XII, yang
berasal dari batang otak. Batang otak juga memegang peranan penting sebagai
penghubung jaras motorik dan sensorik baik dari otak ke seluruh tubuh, maupun
dari medulla spinalis menuju otak. Beberapa jaras tersebut diantaranya, traktus
kortikospinalis (fungsi motoris), jaras kolumna dorsalis-lemniskus medialis
(sentuhan halus, sensasi getaran, dan propioseptif), dan traktus
spinothalamikus (nyeri, suhu, gatal, dan sentuhan kasar).
1. Mesensefalon
(otak tengah)
Mesensefalon
merupakan bagian paling atas dari batang otak. Mesensefalon terletak pada
perbatasan fossa cranii media dan fossa cranii posterior. Mesensefalon memiliki
peranan penting dalam penglihatan, pendengaran, kontrol motorik, tidur,
kesadaran, dan regulasi suhu tubuh. Nervus Cranialis III dan IV berasal dari
mesensefalon. Selain itu, pada mesensefalon terdapat substahntia nigra yang
merupakan penghasil dopamin, yang berperan dalam pergerakan, perencanaan
pergerakan, eksitasi, dan motivasi.
2. Pons
Pons
merupakan bagian batang otak yang berbentuk benjolan yang terletak di antara
mesensefalon dan medulla oblongata, dan di depan cerebellum. Pons memiliki
jaras yang menyalurkan sinyal dari otak menuju cerebellum, dan jaras sensorik
ascendens menuju thalamus. Pons merupakan tempat berasalnya Nervus Cranialis V,
VI, VII dan VIII. Pada pons terdapat nukleus yang menghubungkan sinyal dari
cerebrum menuju ke cerebellum yang memiliki fungsi utama berkaitan dengan
tidur, respirasi, menelan, kontrol berkemih, pendengaran, keseimbangan,
pengecapan, pergerakan bola mata, ekspresi wajah, sensasi area wajah, dan
postur. Di dalam pons, terdapat pusat pneumotaksik dan apneustik. Pusat
respiratori ini berfungsi untuk mengatur dan menjaga ritme pernapasan dan juga
mengatur respon homeostasis terhadap perubahan fisiologis.
3. Medulla
oblongata
Medulla
oblongata berbentuk seperti batang dan merupakan bagian terbawah dari batang
otak yang berhubungan dengan medulla spinalis. Medulla oblongata berperan
sebagai pengatur fungsi otonom, mulai dari muntah hingga bersin. Pada medulla
oblongata, terdapat pusat respirasi, jantung, muntah, dan vasomotor, yang
mengatur fungsi otonom seperti pernafasan, denyut jantung, dan tekanan darah.
Medulla
oblongata menghubungkan bagian atas otak dan medulla spinalis, dan bertanggung
jawab terhadap sistem saraf otonom seperti :
- Kontrol ventilasi, melalui sinyal dari kemoreseptor, seperti glomus caroticum dan glomus aorticum. Reseptor ini mendeteksi perubahan keasaman (pH) darah, misalnya, jika terjadi asidosis dalam darah, medulla oblongata akan mengirim sinyal kepada otot intercostal dan diafragma untuk meningkatkan kontraksi guna meningkatkan oksigenasi ke dalam darah.
- Pusat cardiovaskular (melalui sistem saraf parasimpatik dan simpaatik)
- Pusat vasomotor (berkaitan dengan baroreseptor)
- Pusat refleks muntah, batuk, bersin, dan menelan.
Pusat
respiratori terletak di medulla oblongata dan pons, pada batang otak. Pusat
respiratori terdiri dari tiga kelompok neuron utama, dua di medulla dan satu di
pons. Pada medulla oblongata terdapat dorsal
respirtory group (DRG) dan ventral
respiratory group (VRG). DRG berfungsi sebagai pusat respirasi, khususnya
menginisiasi inspirasi, sedangkan VRG berfungsi untuk mengatur ekspirasi. Pada
pons terdapat pontine respiratory group.
Pada pontine respiratory group (PRG)
terdapat pusat pneumotaksik dan pusat apneustik. Pusat pneumotaksik terletak
pada bagian atas dari pons dan berfungsi mengontrol frekuensi dan pola
pernapasan. Pusat pneumotaksik berfungsi membatasi inspirasi dan bersifat
antagonis terhadap pusat apneustik. Pusat apneustik terletak pada pons bagian
bawah yang berfungsi menstimulasi inspirasi, atau lebih tepatnya menunda
pembatasan inspirasi oleh pusat pneumotaksik. Frekuensi Pernapasan (RR) sudah
memiliki set point pada pusat respiratori yang diatur oleh DRG.
Fungsi
Batang Otak sebagai Pusat Kardiovaskular
Pusat
kardiovaskular terletak di medulla oblongata dan berfungsi meregulasi frekuensi
denyut jantung (HR) melalui sistem saraf dan endokrin. Normalnya, jantung
berdetak tanpa kontrol saraf, tetapi pada beberapa kondisi (seperti olahraga
dan trauma), pusat kardiovaskular bertanggungjawab untuk mengatur denyut
jantung.
Ketika
terjadi perubahan pH darah yang dideteksi oleh kemoreseptor sentral maupun
perifer (glomus aorticus dan glomus caroticus), atau perubahan tekanan darah
yang dideteksi oleh baroreseptor pada sinus aorticus dan sinus caroticus, pusat
kardiovaskuler kemudian mengatur perubahan pada denyut jantung dengan mengirim
sinyal saraf pada nodus SA melalui serabut saraf simpatis (untuk mempercepat
dan memperkuat kontraksi otot jantung) dan Nervus Vagus (untuk memperlampat dan
melemahkan kontraksi otot jantung). Kedua perubahan ini dapat membantu
meregulasi curah jantung, sehingga jumlah darah yang mencapai jaringan dapat
tercukupi.
Fungsi
batang otak sebagai Pusat Vasomotor
Pusat
Vasomotor merupakan bagian dari medulla oblongata pada batang otak. Pusat
vasomotor bekerjasama dengan pusat kardiovaskuler dan pusat respiratorik dalam
mengatur tekanan darah dan proses homeostatik lainnya. Pusat vasomotor
Etiologi
dan Patofisiologi Kematian Batang Otak
Penyebab umum kematian otak termasuk cedera otak traumatik, perdarahan subarakhnoid karena pecahnya aneurisma pembuluh darah otak, perdarahan intraserebral, stroke iskemik dengan edema serebri dan herniasi serebri, ensefalopati hipoksik-iskemik, gangguan fungsi hati yang fulminan dengan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial, infeksi intrakranial.4 Kondisi secara umum sebagai faktor penyebab juga disebutkan :2
Patofisiologi
kematian otak terutama terkait dengan efek sekunder dari edema otak yang
berlangsung lama. Peristiwa ini dapat dipicu oleh kondisi seperti diatas yang kemudian akan
menyebabkan hipoksia umum dan edema otak yang diakibatkan melalui vasogenik sehingga menyebabkan gangguan permeabilitas (blood
brain barier), sehingga terjadi peningkatan kebocoran
protein ke otak atau meningkatkan
masuknya air ke otak.
Peningkatan
tekanan intrakranial (Intra
Cranial Pressure /ICP) ini dianggap
sebagai mekanisme patofisiologis paling penting dari kematian batang otak yang mengarah ke
penghentian total aliran darah intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial ini memicu penekanan
pada sisi yang lain dikarenakan volume otak tetap terbatas oleh tulang
tengkorak. Penekanan ini memicu penekanan pada arteri dan menurunkan aliran
darah ke cerebral sehingga akan terjadi neskrosis secara menyeluruh dan
kemungkinan herniasi transtentorial. Sebagaimana doktrin Monroe-Kellie
menyatakan bahwa volume total dalam kranium selalu tetap karena tulang
tengkorak tidak elastis sehingga tidak bisa mengembang jika ada penambahan
volume. Pada kondisi normal, volume intrakranial terdiri dari 80% jaringan
otak, 10% LCS, dan 10% darah. Peningkatan volume dari salah satu komponen ini,
atau adanya tambahan komponen patologis (misalnya hematom intrakranial), akan
menimbulkan kompensasi melalui penurunan volume dari komponen lainnya untuk mempertahankan
tekanan atau penekanan pada organ lainnya sampai batas yang tidak bisa
dikompensasi.
Penggunaan oksigenasi dan hemodinamik
oleh obat vasopressor serta ventilasi mekanis mungkin dapat menopang organ somatik, tetapi otak tetap dalam kondisi mengalami proses
nekrosis yang berkelanjutan. Namun,
ini bukan satu-satunya mekanisme patofisiologis dari kematian batang otak.
Terdapat
banyak kriteria yang mendasari seseorang dapat dikatakan mati otak diantaranya
adalah kriteria Harvard, kriteria Minnesota dan kriteria Philadelphia, kriteria
harvard merupakan kriteria yang paling umum diikuti5,6,11
Kriteria
Harvard4
Tidak ada respon |
Penemuan haruslah dideklerasikan oleh 2 tim
independent, dengan interval jarak 6 jam |
Tidak ada Gerakan |
|
Tidak adanya refleks |
|
Isoelektric
Electroencephalogram |
Kriteria
Minnesota 4
Mohandes
dan Chou mengusulkan Kriteria Minnesota untuk kematian otak. Yang dihilangkan dari kriteria Harvard
adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan
aktivitas EEG karena masih dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi, elemen kunci kriteria
Minnesota adalah:
- Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4
menit pemeriksaan
- Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan
pupil dilatasi, hilangnya refleks batuk,
refleks kornea, refleks siliospinalis, hilangnya doll’s eye movement, hilangnya respon terhadap stimulus
kalori, dan hilangnya refleks tonus leher
- Status penderita tidak berubah
sekurang-kurangnya dalam 12 jam
- Proses patologis yang berperan dan dianggap
tidak dapat diperbaiki
Kriteria
Indonesian Medical Assosiation 2
Prasyarat: ·
Kerusakan
struktural otak yang telah diketahui dan bersifat permanen ·
Koma ·
Kondisi
apnea ·
Keracunan
obat, hipotermia dan gangguan metabolisme tidak termasuk |
Semua tes harus diulang setidaknya 25 menit hingga
24 jam kemudian tanpa adanya perubahan
atau tergantung pada masing-masing institusi |
Tidak adanya refleks batang otak. |
|
Apnea dikonfirmasi dengan tes apnea. |
1.
Prasyarat
Pasien harus
dalam kondisi tidak responsif (koma) irreversible
dan membutuhkan ventilasi mekanis. Kondisi ini tidak terpengaruh obat depresi
SSP, pelumpuh otot, obat sedasi, obat narkotik, kadar alkohol dalam
darah < 0,08
%, tidak ada gangguan
elektrolit dan asidosis atau gangguan metabolik lain, suhu tubuh harus normal atau mendekati
normal, tekanan
darah sistolik normal.5,6,11,19
2.
Penilaian neurologis
a) Koma
Salah satu kriteria mati otak adalah koma,
yang ditandai dengan keadaan tidak sadar dan tidak respon terhadap stimulus
dari luar. Penilaian kesadaran bisa dilakukan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang merupakan penilaian pertama yang
dapat dilakukan untuk menilai apakah pasien dalam keadaan koma atau tidak. GCS
dengan nilai 3 (tidak membuka mata, tidak ada suara dan tidak ada gerakan
motorik baik secara spontan maupun dengan rangsangan nyeri) menunjukkan keadaan koma dalam (deeply comatous). Rangsangan nyeri tidak
menimbulkan respon motorik, rangsangan nyeri bisa dilakukan dengan menekan
sternum atau menekan area supraorbital, respon positif bila terjadi gerakan
pada ekstremitas atau wajah. Lazarus Sign
merupakan fenomena klinis yang terjadi pada kasus mati otak kerena hopoksia ataupun hipotensi, di
mana terjadi refleks gerakan fleksi pada pinggang seperti mau duduk.
b) Tidak adanya refleks batang otak
1)
Reflek
Pupil
2)
Gerakan
bola mata
a.
Tidak adanya Gerakan bola mata dengan tes okulosefalik
dan tes refleks oculovestibular.
b.
Tes okulocephalik saraf kranial dan area otak
c.
Tes oculovestibular (kalori) saraf kranial
3)
Refleks
kornea
4)
Gerakan
otot wajah
· Gerakan otot wajah (meringis atau gerakan wajah
menarik) tidak terjadi saat diberikan tekanan pada regio supraorbita
5)
Refleks
laring dan trakea
c) Tes
apnea
1)
Pengujian apnea merupakan komponen penting
dalam penentuan klinis kematian otak. Tujuan utama pengujian apnea adalah untuk
membuktikan tidak adanya refleks sistem kontrol pernapasan di batang otak ketika
terjadi rangsangan fisiologis yang intens untuk bernapas atau tidak adanya dorongan pernafasan yang diuji dengan meningkatkan PaCO2
diatas level normal (> 60 mmHg),
atau kenaikan 20 mmHg diatas nilai normal.
2)
Prasyarat
: normotensi dengan systolik > 100 mmHg walu dengan
vasopresor, normotermia (>360C), euvolemia, eukapnia (PaCO2 35-45
mmHg), tidak adanya hipoksia dan tidak ada retensi CO2.
3)
Tata
cara prosedur :
· Preoksigenasi setidaknya selama 10 menit dengan 0ksigen 100% untuk tercapai PaO2 > 200mmHg· Pengaturan frekuensi dan tidal volume agar tercapai eucapneu (PaCO2 35-45 mmHg)· Amati dinding dada dan perut untuk melihat nafas spontan· Lepaskan ventilator dari ETT dan ganti dengan kanul masukan kedalam ETT dengan 6 l/menit· Monitoring saturasi oksigen, tekanan darah bila terjadi penurunan naikkan tekanan darah dengan obat suportif· Periksa analisis gas darah setelah 8-10 menit.· Sambungkan kembali dengan Ventilator· Kesimpulan :
a. PaCO2 > 60 mmHg atau naik 20 mmHg dari nilai normal maka apneu test positifb. PaCO2 tidak mencapai ambang dan tensi stabil, maka lanjutkan tes apneu dan periksa AGD lagi sampai ambang tercapaic. Tes apneu gagal bila saturasi kurang dari 85% selama lebih dari 30 detik dan jika tekanan systolik < 90 mmHg meskipun dengan obat suportif
Electroencephalography
(EEG),
angiografi serebral dan MRI/MRA dapat
digunakan sebagai tes tambahan pada orang dewasa, jika ada ketidakpastian pada saat melakukan
pemeriksaan neurologis atau tes apnea tidak dapat dilakukan. Dalam beberapa
protokol, tes tambahan digunakan untuk mempersingkat durasi obervasi.
Interpretasi pada tes tambahan ini membutuhkan keahlian. Pada orang dewasa, tes
tambahan tidak diperlukan untuk diagnosis klinis kematian otak dan tidak dapat
menggantikan pemeriksaan neurologis. Pada tes tambahan terdapat potensi postif
palsu yaitu tes menunjukkan kematian otak tetapi pasien tidak memenuhi kriteria
klinis.
e) Tes atropin 3
Tes atropin bisa digunakan untuk menilai aktivitas
parasimpatis bulbar pada aktivitas jantung pada pasien mati otak. Ouaknine
pertama kali mengusulkan memasukkan ini sebagai kriteria untuk apa yang disebut
kematian batang otak.
Metode untuk tes ini terdiri dari injeksi 2
mg atropin di bawah pemantauan EKG terus menerus selama 10 menit. Tes ini dianggap negatif jika
denyut jantung tidak bertambah lebih dari 3% dibandingkan dengan catatan EKG
basal
Efek psikologis terhadap keluarga 2
Memiliki
angota keluarga yang dirawat pada ruang ICU (Intensive Care Unit) dapat menambah beban tanggungan psikis bagi
keluarga pasien, terutama bagi mereka yang harus berhadapan dengan diagnosa
kematian batang otak. Sekitar 95% pasien ICU sangat bergantung pada keputusan
pihak ketiga, dan sering kali adalah keluarga dekat untuk berpartisipasi dalam
berkomunikasi dalam pengambilan keputusan dengan penyedia pelayanan kesehatan.
Penjelasan terkait mati batang otak pada oleh pihak keluaga pasien sering kali
kurang dipahami, sehingga cenderung menimbulkan beban stress, kecemasan, dan
depresi yang harus ditanggung oleh keluarga pasien. Menurut penelitian
Hosseinrezaei et al. sekitar 76.8%, 75% and 70.1% keluarga pasien di ICU
mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan stres. Pada salah satu penelitian
mengklaim,
hanya sekitar 52% saja keluarga pasien yang memiliki pengetahuan yang baik dan
memiliki pemahaman terhadap kematian batang otak.
Komunikasi
yang efektif serta melakukan pendekatan secara holistik sangatlah diperlukan
dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga yang terdampak, dan memberikan kesempatan waktu untuk
keluarga pasien menerima terhadap informasi yang telah diberikan. Memberikan
kesempatan keluarga untuk hadir selama pengujian kematian batang otak juga
dapat sebagai pilihan karena dengan hal tersebut akan membantu memperjelas
konsep mengenai kematian batang otak terhadap pihak keluarga, serta dengan hal
tersebut dapat mempersiapkan keluarga pasien dalam menerima segala kemungkinan
hasil yang akan terjadi pada hasil pemeriksaan.
Kapan Harus dihentikan 7,8
Pengambilan
sebuah keputusan terhadap kondisi pasien merupakan sebuah permasalahan yang
rumit bagi seorang dokter. Keputusan tersebut harus dapat diputuskan dengan
tidak hanya mementingkan aspek medis saja, namun dalam pengambilan keputusan
harus mementingkan pertimbangan dari aspek bioetik dan medikolegal yang
berlaku. Terutama pada isu-isu yang menyangkut kematian seseorang menyebabkan
bahasan yang penuh dengan kontroversi, salah satunya yaitu dengan melakukan
penghentian terapi bantuan hidup yang telah diberikan kepada pasien 2,6.
Terdapat
alasan dalam bioetik dan medis yang mengharuskan dokter untuk mengetahui
kriteria kematian batang otak. Menentukan kematian batang otak secara medis dan
etik dianggap penting karena tiga alasan.
Pertama,
fasilitas pelayanan perawatan intensif memiliki keterbatasan tempat dan
peralatan sehingga seorang dokter dituntut untuk dapat memilih pasien yang
memiliki keadaan yang lebih membutuhkan untuk disembuhkan.
Kedua,
kemampuan pengobatan moderen saat ini mampu mempertahankan fungsi fisiologi
tubuh manusia dengan bantuan mesin ventilator, antibiotik, dan obat-obat vasopresor yang
mampu menggantikan organ tubuh yang mati. Tetapi keadaan ini justru sering
menyebabkan masalah berkepanjangan, biaya yang mahal, dan segala upaya tindakan
kedokteran yang dilakukan adalah sia-sia saat merawat pasien yang sudah tidak
dapat disembuhkan.
Ketiga,
program trasplantasi organ membutuhkan pedonor yang sehat untuk meningkatkan
tingkat keberhasilan. Diagnosis lebih awal dari mati otak sebelum terjadi
gangguan sirkulasi sistemik dapat memngkinkan penyelamatan organ-organ
tersebut.
Siapa yang berwenang dalam memeriksa MBO
9
Berdasarkan
peraturan Kementrian Kesehatan RI Nomor 37 Tahun 2014 Pasal 9-12 mengenai mati
batang otak. Bahwa yang berwenang dalam menentukan seseorang mati batang otak
dilakukan oleh tim dokter yang berkompeten yang terdiri atas 3 orang, yang
diantaranya harus melibatkan
seorang dokter spesialis anestesi dan spesialis syaraf. Pemeriksaan kematian
batang otak harus dilakukan secara mandiri dan waktu yang terpisah untuk
menghindari intervensi pendapat antar sesama tim, diagnosis kematian batang
otak harus dilakukan pada ruang rawat intensif (Intensive Care Unit).
Berdasarkan pada pasal 13 setelah pasien ditetapkan mati batang otak, maka
seluruh bantuan hidup harus segera dihentikan, dan waktu kematian dicatat saat
terlepasnya ventilator dari tubuh pasien.
Keputusan
untuk melakukan penundaan dan memberhentikan pemberikan terapi dilakukan oleh
tim dokter yang telah berkonsultasi dengan komite etik. Terdapat perlakuan
khusus dalam penghentian bantuan hidup pada mati batang otak, penghentian dapat
ditunda apabila keluarga pasien menolak untuk menghentikan bantuan hidup dan
pemberian bantuan hidup dapat ditunda setelah proses donor organ selesai.
Sebagai kesimpulan bahwa kematian
batang otak merupakan hilangnya semua fungsi keseluruhan otak termasuk batang otak yang
bersifat ireversibel, dengan
ditandai koma yang dalam, hilanya reflek batang otak dan terjadinya apneu.
Penegakkan kematian batang otak bisa melalui beberapa kriteria dan tes yang
harus dilakukan oleh minimal 3 dokter dengan minimal terdapat dokter anestesi,
dokter saraf dan satu dokter lainnya dalam pemeriksaan secara terpisah.
Pentyertaan keluarga sangatlah diperlukan untuk mengurangi beban psikis dan
beaya serta kemungkinan transplantasi organ.
- Latif U, Konsep Mati Dan Hidup
Dalam Islam (Pemahaman
Berdasarkan Konsep Eskatologis). https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/bayan/article/view/875
- Fauzi,
A & Wahyuadi, J. 2014. Brain Death: Diagnosis and Clinical
Application. Journal of Medical Science and Clinical Research. Vol.
2(4):768-781
- Machado C, Diagnosis of brain
death, Institute
of Neurology and
Neurosurgery,Department of Clinical Neurophysiology, Havana, Cuba, neurology international, 2012 : https://www.pagepress.org/journals/index.php/2010
- Samatra DPG, Mati Otak (Brain Death), In : Arimbawa, K., Sudira,
P.G., Samarta,P., Laksmidewi, P., Adnanya, I.M.O., Susilawathi, N.M. et
al. 2017. Neurotrauma &
Movement
Disorders: Improving Knowledge for Saving Lives. Cetakan ke-5.
Bali:Udayana University Press.
- Munakomi S, Khalili YA, Brain-Stem Death, https:// www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551584/
- Gardiner,
D., Shemie, S., Manara, A., Opdam, H. 2012. International Perspective on
the Diagnosis of Death. British Journal of Anaesthesia. Vol. 108(1):14-28
- Hosseinrezaei.,
Hakimeh,, Pilevarzadeh ., Amiri M ., Rafiei M ., Taghat H . 2014.
Psychological Symptoms in Family Members of Brain Death Patients in
Intensive Care Unit in Kerman, Iran. Global journal of health science.
Vol.6 (2):203-208
- Kementrian Kesehatan RI. 2014.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Tentang
Penentuan Kematian Dan Pemanfaatan Organ Donor
- Wijdicks, EFM, Varelas, PN, Gronseth, GS, Greer, DM, Evidence-Based Guideline Update: Determining Brain Death in Adults. American Academy of Neurology. Vol 74(23):1911-118,2010.
Komentar