MATI BATANG OTAK

MATI BATANG OTAK

Igun Winarno, Aviasenna Andriand, Dwi Liliyani

 PENDAHULUAN

Kematian dan kehidupan adalah suatu penciptaan Tuhan yang patut disyukuri dan diterima seikhlas mungkin sebagai landasan kita dalam mempercayai adanya Tuhan.1

Kullu nafsin żā`iqatul-maụt, umma ilainā turja'ụn” didalam QS Al Ankabut 57 dijelaskan bahwa “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan”. Jadi kematian merupakan sebuah proses kehidupan yang sudah pasti terjadi, sehingga sebagai seorang yang beriman kita tidak semestinya merasakan ketakutan, kecemasan ataupun hal lainnya, tetapi justru merasakan kebahagiaan karena akan bertemu dengan Tuannya, yang menciptakan. Kematian itu sendiri didefinisikan sebagai kondisi berpisahnya ruh (nyawa) dengan tubuh (jasad) untuk sementara waktu yang telah ditentukan. Korelasi ini mengandung pemahaman bahwa, kematian yang dimaksud berarti telah kehilangan kekuatan atau kemampuan untuk hidup, ini sama seperti seseorang telah kehilangan sejumlah organ tubuh, yang menyebabkan seseorang tidak dapat merasakan atau melihat sesuatu.

Kalangan dunia ilmiah memandang konsep kematian otak (Brain death/BD) sebagai klinis akhir dari katastrofik otak yang ditandai dengan penghentian neurologis yang lengkap dan tidak dapat diubah, yang dikenali dengan koma yang tidak dapat diubah, refleks batang otak tidak ada, dan apnea.3  Kondisi ini diawali dari Mollaret dan Goulon (1959), memperkenalkan istilah koma yang irreversible dengan mendeskripsikan 23 pasien koma yang telah hilang kesadaran, refleks batang otak yang negatif, berhentinya pernapasan dan aktivitas gelombang electroensefalografi (EEG) yang mendatar.4

Konsensus yang berkembang tentang konsep medis mengenai kematian yaitu semua kematian manusia secara anatomis terletak di otak. Kematian manusia melibatkan hilangnya kapasitas kesadaran yang tidak dapat diubah kembali (irreversible), dikombinasikan dengan hilangnya kapasitas untuk bernapas yang tidak dapat diubah. Dua kapasitas esensial ini ditemukan di otak, khususnya batang otak.2

Seiring berkembangnya teknologi dalam bidang kesehatan ditemukan alat bantuan hidup yang tetap dapat mempertahankan denyut jantung dan pernapasan walaupun pasien telah mati, sehingga konsep tersebut mulai ditinggalkan serta menimbulkan persepsi baru mengenai konsep kematian. Terdapat tiga konsep bagi para praktik medis untuk menentukan kematian yaitu kriteria bersifat somatis, sistem sirkulasi tubuh (kardiorespi) dan fungsi neurologis (pada pasien dalam keadaan koma dan menggunakan ventilasi mekanik)2.

Pada tulisan ini kita akan membahas mengenai konsep kematian batang otak dalam dunia medis, proses patofisiologi terjadi kematian batang otak, mengetahui berbagai kriteria kematian batang otak, pengaruh emosional terhadap keluarga, cara pemeriksaan kematian batang otak, dan siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan serta memberhentikan bantuan hidup pada pasien yang mengalami kematian batang otak.

Definisi

Berdasarkan Undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 117 kematian didefinisikan “Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan. Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak, termasuk fungsi batang otak, secara irreversible. Tiga tanda utama manifestasi kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak dan terjadinya apnea. Diagnosis mati batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis termasuk pemeriksaan refleks batang otak dan tes apnea dapat dilaksanakan secara adekuat. Jika temuan klinis dan yang sesuai dengan konfirmasi mati batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis mati batang otak tidak dapat ditegakkan.4

Konferensi Royal Medical Colleges pada tahun 1976 mencapai konsensus bahwa kematian batang otak merupakan kematian otak. Memorandum yang direvisi pada tahun 1979 menghubungkan kematian batang otak dengan kematian itu sendiri. American Academy of Neurology (AAN) telah mendalilkan kematian otak sebagai "koma, tidak adanya refleks batang otak, dan apnea."

Anatomi Batang Otak

Batang otak merupakan bagian posterior dari otak, yang berhubungan dengan medulla spinalis. Batang otak terdiri dari mesensefalon (otak tengah), pons, dan medulla oblongata. Batang otak memiliki fungsi penting dalam meregulasi fungsi jantung dan respirasi dengan mengontrol frekuensi denyut jantung dan pernapasan. Batang otak juga memberikan persarafan utama, baik motorik maupun sensorik pada wajah dan leher melalui Nervus Cranialis III hingga XII, yang berasal dari batang otak. Batang otak juga memegang peranan penting sebagai penghubung jaras motorik dan sensorik baik dari otak ke seluruh tubuh, maupun dari medulla spinalis menuju otak. Beberapa jaras tersebut diantaranya, traktus kortikospinalis (fungsi motoris), jaras kolumna dorsalis-lemniskus medialis (sentuhan halus, sensasi getaran, dan propioseptif), dan traktus spinothalamikus (nyeri, suhu, gatal, dan sentuhan kasar).

1.      Mesensefalon (otak tengah)

Mesensefalon merupakan bagian paling atas dari batang otak. Mesensefalon terletak pada perbatasan fossa cranii media dan fossa cranii posterior. Mesensefalon memiliki peranan penting dalam penglihatan, pendengaran, kontrol motorik, tidur, kesadaran, dan regulasi suhu tubuh. Nervus Cranialis III dan IV berasal dari mesensefalon. Selain itu, pada mesensefalon terdapat substahntia nigra yang merupakan penghasil dopamin, yang berperan dalam pergerakan, perencanaan pergerakan, eksitasi, dan motivasi.

2.     Pons

Pons merupakan bagian batang otak yang berbentuk benjolan yang terletak di antara mesensefalon dan medulla oblongata, dan di depan cerebellum. Pons memiliki jaras yang menyalurkan sinyal dari otak menuju cerebellum, dan jaras sensorik ascendens menuju thalamus. Pons merupakan tempat berasalnya Nervus Cranialis V, VI, VII dan VIII. Pada pons terdapat nukleus yang menghubungkan sinyal dari cerebrum menuju ke cerebellum yang memiliki fungsi utama berkaitan dengan tidur, respirasi, menelan, kontrol berkemih, pendengaran, keseimbangan, pengecapan, pergerakan bola mata, ekspresi wajah, sensasi area wajah, dan postur. Di dalam pons, terdapat pusat pneumotaksik dan apneustik. Pusat respiratori ini berfungsi untuk mengatur dan menjaga ritme pernapasan dan juga mengatur respon homeostasis terhadap perubahan fisiologis.

3.     Medulla oblongata

Medulla oblongata berbentuk seperti batang dan merupakan bagian terbawah dari batang otak yang berhubungan dengan medulla spinalis. Medulla oblongata berperan sebagai pengatur fungsi otonom, mulai dari muntah hingga bersin. Pada medulla oblongata, terdapat pusat respirasi, jantung, muntah, dan vasomotor, yang mengatur fungsi otonom seperti pernafasan, denyut jantung, dan tekanan darah.

Medulla oblongata menghubungkan bagian atas otak dan medulla spinalis, dan bertanggung jawab terhadap sistem saraf otonom seperti :

  • Kontrol ventilasi, melalui sinyal dari kemoreseptor, seperti glomus caroticum dan glomus aorticum. Reseptor ini mendeteksi perubahan keasaman (pH) darah, misalnya, jika terjadi asidosis dalam darah, medulla oblongata akan mengirim sinyal kepada otot intercostal dan diafragma untuk meningkatkan kontraksi guna meningkatkan oksigenasi ke dalam darah.
  • Pusat cardiovaskular (melalui sistem saraf parasimpatik dan simpaatik)
  • Pusat vasomotor (berkaitan dengan baroreseptor)
  • Pusat refleks muntah, batuk, bersin, dan menelan.
Fungsi Batang Otak sebagai Pusat Respiratori

        Pusat respiratori terletak di medulla oblongata dan pons, pada batang otak. Pusat respiratori terdiri dari tiga kelompok neuron utama, dua di medulla dan satu di pons. Pada medulla oblongata terdapat dorsal respirtory group (DRG) dan ventral respiratory group (VRG). DRG berfungsi sebagai pusat respirasi, khususnya menginisiasi inspirasi, sedangkan VRG berfungsi untuk mengatur ekspirasi. Pada pons terdapat pontine respiratory group. Pada pontine respiratory group (PRG) terdapat pusat pneumotaksik dan pusat apneustik. Pusat pneumotaksik terletak pada bagian atas dari pons dan berfungsi mengontrol frekuensi dan pola pernapasan. Pusat pneumotaksik berfungsi membatasi inspirasi dan bersifat antagonis terhadap pusat apneustik. Pusat apneustik terletak pada pons bagian bawah yang berfungsi menstimulasi inspirasi, atau lebih tepatnya menunda pembatasan inspirasi oleh pusat pneumotaksik. Frekuensi Pernapasan (RR) sudah memiliki set point pada pusat respiratori yang diatur oleh DRG.

Fungsi Batang Otak sebagai Pusat Kardiovaskular

Pusat kardiovaskular terletak di medulla oblongata dan berfungsi meregulasi frekuensi denyut jantung (HR) melalui sistem saraf dan endokrin. Normalnya, jantung berdetak tanpa kontrol saraf, tetapi pada beberapa kondisi (seperti olahraga dan trauma), pusat kardiovaskular bertanggungjawab untuk mengatur denyut jantung.

Ketika terjadi perubahan pH darah yang dideteksi oleh kemoreseptor sentral maupun perifer (glomus aorticus dan glomus caroticus), atau perubahan tekanan darah yang dideteksi oleh baroreseptor pada sinus aorticus dan sinus caroticus, pusat kardiovaskuler kemudian mengatur perubahan pada denyut jantung dengan mengirim sinyal saraf pada nodus SA melalui serabut saraf simpatis (untuk mempercepat dan memperkuat kontraksi otot jantung) dan Nervus Vagus (untuk memperlampat dan melemahkan kontraksi otot jantung). Kedua perubahan ini dapat membantu meregulasi curah jantung, sehingga jumlah darah yang mencapai jaringan dapat tercukupi.

Fungsi batang otak sebagai Pusat Vasomotor

Pusat Vasomotor merupakan bagian dari medulla oblongata pada batang otak. Pusat vasomotor bekerjasama dengan pusat kardiovaskuler dan pusat respiratorik dalam mengatur tekanan darah dan proses homeostatik lainnya. Pusat vasomotor

Etiologi dan Patofisiologi Kematian Batang Otak

Penyebab umum kematian otak termasuk cedera otak traumatik, perdarahan subarakhnoid karena pecahnya aneurisma pembuluh darah otak, perdarahan intraserebral, stroke iskemik dengan edema serebri dan herniasi serebri, ensefalopati hipoksik-iskemik, gangguan fungsi hati yang fulminan dengan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial, infeksi intrakranial.Kondisi secara umum sebagai faktor penyebab juga disebutkan :2

a. Infeksi seperti meningitis dan ensefalitis
b. Trauma kepala yang menyebabkan perdarahan ektraserebral atau intraserebral
c. Lesi intrakranial yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial bisa disebabkan oleh tumor, kista, abses, hidrosefalus obstruktif
d. Hipoksia otak bisa karena tenggelam, hipoksia akibat keracunan karbon monoksida atau sianida
e. Kelainan vaskular seperti infark massif, thrombosis, emboli

Patofisiologi kematian otak terutama terkait dengan efek sekunder dari edema otak yang berlangsung lama. Peristiwa ini dapat dipicu oleh kondisi seperti diatas yang kemudian akan menyebabkan hipoksia umum dan edema otak yang diakibatkan melalui vasogenik sehingga menyebabkan gangguan permeabilitas (blood brain barier), sehingga terjadi peningkatan kebocoran protein ke otak atau meningkatkan masuknya air ke otak.

Peningkatan tekanan intrakranial (Intra Cranial Pressure /ICP)  ini dianggap sebagai mekanisme patofisiologis paling penting dari kematian batang otak yang mengarah ke penghentian total aliran darah intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial ini memicu penekanan pada sisi yang lain dikarenakan volume otak tetap terbatas oleh tulang tengkorak. Penekanan ini memicu penekanan pada arteri dan menurunkan aliran darah ke cerebral sehingga akan terjadi neskrosis secara menyeluruh dan kemungkinan herniasi transtentorial. Sebagaimana doktrin Monroe-Kellie menyatakan bahwa volume total dalam kranium selalu tetap karena tulang tengkorak tidak elastis sehingga tidak bisa mengembang jika ada penambahan volume. Pada kondisi normal, volume intrakranial terdiri dari 80% jaringan otak, 10% LCS, dan 10% darah. Peningkatan volume dari salah satu komponen ini, atau adanya tambahan komponen patologis (misalnya hematom intrakranial), akan menimbulkan kompensasi melalui penurunan volume dari komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan atau penekanan pada organ lainnya sampai batas yang tidak bisa dikompensasi.

Penggunaan oksigenasi dan hemodinamik oleh obat vasopressor serta ventilasi mekanis mungkin dapat menopang organ somatik, tetapi otak tetap dalam kondisi mengalami proses nekrosis yang berkelanjutan. Namun, ini bukan satu-satunya mekanisme patofisiologis dari kematian batang otak.

 Kriteria Diagnosis dan Pemeriksaan Mati Batang Otak

Terdapat banyak kriteria yang mendasari seseorang dapat dikatakan mati otak diantaranya adalah kriteria Harvard, kriteria Minnesota dan kriteria Philadelphia, kriteria harvard merupakan kriteria yang paling umum diikuti5,6,11

Kriteria Harvard4

Tidak ada respon

 

Penemuan haruslah dideklerasikan oleh 2 tim independent, dengan interval jarak 6 jam

Tidak ada Gerakan

Tidak adanya refleks

Isoelektric

   Electroencephalogram

Kriteria Minnesota 4

Mohandes dan Chou mengusulkan Kriteria Minnesota untuk kematian otak. Yang dihilangkan dari kriteria Harvard adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG karena masih dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi, elemen kunci kriteria Minnesota adalah:

  •  Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan
  • Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan pupil dilatasi, hilangnya refleks batuk, refleks kornea, refleks siliospinalis, hilangnya doll’s eye movement, hilangnya respon terhadap stimulus kalori, dan hilangnya refleks tonus leher
  •  Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam
  •  Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki

Kriteria Indonesian Medical Assosiation 2

Prasyarat:

·       Kerusakan struktural otak yang telah diketahui dan bersifat permanen

·       Koma

·       Kondisi apnea

·       Keracunan obat, hipotermia dan gangguan metabolisme tidak termasuk

 

 

 

Semua tes harus diulang setidaknya 25 menit hingga 24 jam kemudian tanpa adanya perubahan  atau tergantung pada masing-masing institusi

Tidak adanya refleks batang otak.

Apnea dikonfirmasi dengan tes apnea.

 Empat (4) langkah menentukan kematian otak9:

1.        Prasyarat

Pasien harus dalam kondisi tidak responsif (koma) irreversible dan membutuhkan ventilasi mekanis. Kondisi ini tidak terpengaruh obat depresi SSP, pelumpuh otot, obat sedasi, obat narkotik, kadar alkohol dalam darah < 0,08 %, tidak ada gangguan elektrolit dan asidosis atau gangguan metabolik lain, suhu tubuh harus normal atau mendekati normal, tekanan darah sistolik normal.5,6,11,19

2.       Penilaian neurologis

a)   Koma

Salah satu kriteria mati otak adalah koma, yang ditandai dengan keadaan tidak sadar dan tidak respon terhadap stimulus dari luar. Penilaian kesadaran bisa dilakukan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang merupakan penilaian pertama yang dapat dilakukan untuk menilai apakah pasien dalam keadaan koma atau tidak. GCS dengan nilai 3 (tidak membuka mata, tidak ada suara dan tidak ada gerakan motorik baik secara spontan maupun dengan rangsangan nyeri) menunjukkan keadaan koma dalam (deeply comatous). Rangsangan nyeri tidak menimbulkan respon motorik, rangsangan nyeri bisa dilakukan dengan menekan sternum atau menekan area supraorbital, respon positif bila terjadi gerakan pada ekstremitas atau wajah. Lazarus Sign merupakan fenomena klinis yang terjadi pada kasus mati otak kerena hopoksia ataupun hipotensi, di mana terjadi refleks gerakan fleksi pada pinggang seperti mau duduk.

b)   Tidak adanya refleks batang otak

1)       Reflek Pupil

a.     Tidak adanya refleks pupil terhadap cahaya pada kedua mata. Nervus kranial dan area otak yang terlibat yaitu nervus kranil optikus, oculomotor dan otak bagian tengah.
b.    Teknik pemeriksaan dengan menilai ukuran dan bentuk pupil diruangan yang sedikit gelap, dilakukan stimulus pada dengan cahaya terang kemasing – masing mata dan nilai reaksi pupil. Biasanya pupil tetap berukuran sedang atau dalam keadaan dilatasi (4-9 mm) 5,6,11,19.

2)      Gerakan bola mata

a.         Tidak adanya Gerakan bola mata dengan tes okulosefalik dan tes refleks oculovestibular.

b.         Tes okulocephalik saraf kranial dan area otak

·       Tes pada saraf oculomotor, trochlear, vestibulocochlear, pons dan otak bagian tengah.
·       Kontraindikasi bila ada cedera spinal terutama servikal.
·       Teknik pemeriksaan yaitu kepala pasien diputar secara cepat ke kedua sisi dan diamati adanya gerakan mata relatif terhadap orbita, tidak didapatkan gerakan bola mata pada mati batang otak.

c.          Tes oculovestibular (kalori) saraf kranial

·       Tes pada saraf oculomotor, trochlear, abducens, vestibulocochlear area pons dan otak bagian tengah.
·       Kontraindikasi apabila terdapat rupture membrane timpani dan deposit serumen.
·       Tata cara pemeriksaan : pasien pertama posisi kepala dinaikkan 300 lalu semprotkan 50 cc air dingin mendekati 00 C ke masing-masing telinga secara bergantian kemudian amati pergerakkan mata, temuan yang didapatkan pada mati batang otak yaitu tidak adanya gerakan mata selama 1 menit setelah irigasi dari setiap saluran telinga.

3)      Refleks kornea

·       Tidak ada refleks kornea.
·       Taata cara : dengan menggunakan tisue yang dipilin atau kapas yang diberi air disentuhkan ke limbus kornea, kornea tidak memberikan reaksi.
·       Syaraf kranial yang terlibat yaitu saraf oculomotor, trigeminal, facialis dan area otak bagian pons5,6,11,19.

4)      Gerakan otot wajah

·       Gerakan otot wajah (meringis atau gerakan wajah menarik) tidak terjadi saat diberikan tekanan pada regio supraorbita

5)      Refleks laring dan trakea

·       Merupakan reflek muntah dan batuk
·       Saraf kranial dan area otak yang terlibat saraf glossopharyngeal, vagus dan bagian medulla oblongata
·       Tata cara : rangsang area faring posterior dengan alat suction (reflek muntah) dan endotrakeal tube (ETT) dengan kateter suction dimasukan sampai Carina (reflek batuk), kedua cara ini tidak memberikan respon.

c)    Tes apnea

1)       Pengujian apnea merupakan komponen penting dalam penentuan klinis kematian otak. Tujuan utama pengujian apnea adalah untuk membuktikan tidak adanya refleks sistem kontrol pernapasan di batang otak ketika terjadi rangsangan fisiologis yang intens untuk bernapas atau tidak adanya dorongan pernafasan yang diuji dengan meningkatkan PaCO2 diatas level normal (> 60 mmHg), atau kenaikan 20 mmHg diatas nilai normal.

2)      Prasyarat : normotensi dengan systolik > 100 mmHg walu dengan vasopresor, normotermia (>360C), euvolemia, eukapnia (PaCO2 35-45 mmHg), tidak adanya hipoksia dan tidak ada retensi CO2.

3)      Tata cara prosedur :

·       Preoksigenasi setidaknya selama 10 menit dengan 0ksigen 100% untuk tercapai PaO2 > 200mmHg
·       Pengaturan frekuensi dan tidal volume agar tercapai eucapneu (PaCO2 35-45 mmHg)
·       Amati dinding dada dan perut untuk melihat nafas spontan
·       Lepaskan ventilator dari ETT dan ganti dengan kanul masukan kedalam ETT dengan 6 l/menit
·       Monitoring saturasi oksigen, tekanan darah bila terjadi penurunan naikkan tekanan darah dengan obat suportif
·       Periksa analisis gas darah setelah 8-10 menit.
·       Sambungkan kembali dengan Ventilator
·       Kesimpulan :
a.       PaCO2 > 60 mmHg atau naik 20 mmHg dari nilai normal maka apneu test positif
b.      PaCO2 tidak mencapai ambang dan tensi stabil, maka lanjutkan tes apneu dan periksa AGD lagi sampai ambang tercapai
c.       Tes apneu gagal bila saturasi kurang dari 85% selama lebih dari 30 detik dan jika tekanan systolik < 90 mmHg meskipun dengan obat suportif
d)   Tes Tambahan

Electroencephalography (EEG), angiografi serebral dan MRI/MRA dapat digunakan sebagai tes tambahan pada orang dewasa, jika ada ketidakpastian pada saat melakukan pemeriksaan neurologis atau tes apnea tidak dapat dilakukan. Dalam beberapa protokol, tes tambahan digunakan untuk mempersingkat durasi obervasi. Interpretasi pada tes tambahan ini membutuhkan keahlian. Pada orang dewasa, tes tambahan tidak diperlukan untuk diagnosis klinis kematian otak dan tidak dapat menggantikan pemeriksaan neurologis. Pada tes tambahan terdapat potensi postif palsu yaitu tes menunjukkan kematian otak tetapi pasien tidak memenuhi kriteria klinis.

e)   Tes atropin 3

Tes atropin bisa digunakan untuk menilai aktivitas parasimpatis bulbar pada aktivitas jantung pada pasien mati otak. Ouaknine pertama kali mengusulkan memasukkan ini sebagai kriteria untuk apa yang disebut kematian batang otak.

Metode untuk tes ini terdiri dari injeksi 2 mg atropin di bawah pemantauan EKG terus menerus selama 10 menit. Tes ini dianggap negatif jika denyut jantung tidak bertambah lebih dari 3% dibandingkan dengan catatan EKG basal

Efek psikologis terhadap keluarga 2

Memiliki angota keluarga yang dirawat pada ruang ICU (Intensive Care Unit) dapat menambah beban tanggungan psikis bagi keluarga pasien, terutama bagi mereka yang harus berhadapan dengan diagnosa kematian batang otak. Sekitar 95% pasien ICU sangat bergantung pada keputusan pihak ketiga, dan sering kali adalah keluarga dekat untuk berpartisipasi dalam berkomunikasi dalam pengambilan keputusan dengan penyedia pelayanan kesehatan. Penjelasan terkait mati batang otak pada oleh pihak keluaga pasien sering kali kurang dipahami, sehingga cenderung menimbulkan beban stress, kecemasan, dan depresi yang harus ditanggung oleh keluarga pasien. Menurut penelitian Hosseinrezaei et al. sekitar 76.8%, 75% and 70.1% keluarga pasien di ICU mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan stres. Pada salah satu penelitian mengklaim, hanya sekitar 52% saja keluarga pasien yang memiliki pengetahuan yang baik dan memiliki pemahaman terhadap kematian batang otak.

Komunikasi yang efektif serta melakukan pendekatan secara holistik sangatlah diperlukan dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga yang terdampak, dan memberikan kesempatan waktu untuk keluarga pasien menerima terhadap informasi yang telah diberikan. Memberikan kesempatan keluarga untuk hadir selama pengujian kematian batang otak juga dapat sebagai pilihan karena dengan hal tersebut akan membantu memperjelas konsep mengenai kematian batang otak terhadap pihak keluarga, serta dengan hal tersebut dapat mempersiapkan keluarga pasien dalam menerima segala kemungkinan hasil yang akan terjadi pada hasil pemeriksaan.

Kapan Harus dihentikan 7,8

Pengambilan sebuah keputusan terhadap kondisi pasien merupakan sebuah permasalahan yang rumit bagi seorang dokter. Keputusan tersebut harus dapat diputuskan dengan tidak hanya mementingkan aspek medis saja, namun dalam pengambilan keputusan harus mementingkan pertimbangan dari aspek bioetik dan medikolegal yang berlaku. Terutama pada isu-isu yang menyangkut kematian seseorang menyebabkan bahasan yang penuh dengan kontroversi, salah satunya yaitu dengan melakukan penghentian terapi bantuan hidup yang telah diberikan kepada pasien 2,6.

Terdapat alasan dalam bioetik dan medis yang mengharuskan dokter untuk mengetahui kriteria kematian batang otak. Menentukan kematian batang otak secara medis dan etik dianggap penting karena tiga alasan.

Pertama, fasilitas pelayanan perawatan intensif memiliki keterbatasan tempat dan peralatan sehingga seorang dokter dituntut untuk dapat memilih pasien yang memiliki keadaan yang lebih membutuhkan untuk disembuhkan.

Kedua, kemampuan pengobatan moderen saat ini mampu mempertahankan fungsi fisiologi tubuh manusia dengan bantuan mesin ventilator, antibiotik, dan obat-obat vasopresor yang mampu menggantikan organ tubuh yang mati. Tetapi keadaan ini justru sering menyebabkan masalah berkepanjangan, biaya yang mahal, dan segala upaya tindakan kedokteran yang dilakukan adalah sia-sia saat merawat pasien yang sudah tidak dapat disembuhkan.

Ketiga, program trasplantasi organ membutuhkan pedonor yang sehat untuk meningkatkan tingkat keberhasilan. Diagnosis lebih awal dari mati otak sebelum terjadi gangguan sirkulasi sistemik dapat memngkinkan penyelamatan organ-organ tersebut.

Siapa yang berwenang dalam memeriksa MBO 9

Berdasarkan peraturan Kementrian Kesehatan RI Nomor 37 Tahun 2014 Pasal 9-12 mengenai mati batang otak. Bahwa yang berwenang dalam menentukan seseorang mati batang otak dilakukan oleh tim dokter yang berkompeten yang terdiri atas 3 orang, yang diantaranya harus melibatkan seorang dokter spesialis anestesi dan spesialis syaraf. Pemeriksaan kematian batang otak harus dilakukan secara mandiri dan waktu yang terpisah untuk menghindari intervensi pendapat antar sesama tim, diagnosis kematian batang otak harus dilakukan pada ruang rawat intensif (Intensive Care Unit). Berdasarkan pada pasal 13 setelah pasien ditetapkan mati batang otak, maka seluruh bantuan hidup harus segera dihentikan, dan waktu kematian dicatat saat terlepasnya ventilator dari tubuh pasien.

Keputusan untuk melakukan penundaan dan memberhentikan pemberikan terapi dilakukan oleh tim dokter yang telah berkonsultasi dengan komite etik. Terdapat perlakuan khusus dalam penghentian bantuan hidup pada mati batang otak, penghentian dapat ditunda apabila keluarga pasien menolak untuk menghentikan bantuan hidup dan pemberian bantuan hidup dapat ditunda setelah proses donor organ selesai.

Sebagai kesimpulan bahwa kematian batang otak merupakan hilangnya semua fungsi keseluruhan otak termasuk batang otak yang bersifat ireversibel, dengan ditandai koma yang dalam, hilanya reflek batang otak dan terjadinya apneu. Penegakkan kematian batang otak bisa melalui beberapa kriteria dan tes yang harus dilakukan oleh minimal 3 dokter dengan minimal terdapat dokter anestesi, dokter saraf dan satu dokter lainnya dalam pemeriksaan secara terpisah. Pentyertaan keluarga sangatlah diperlukan untuk mengurangi beban psikis dan beaya serta kemungkinan transplantasi organ.

 Daftar Pustaka :

  1. Latif U, Konsep Mati Dan Hidup Dalam Islam (Pemahaman Berdasarkan Konsep Eskatologis). https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/bayan/article/view/875
  2. Fauzi, A & Wahyuadi, J. 2014. Brain Death: Diagnosis and Clinical Application. Journal of Medical Science and Clinical Research. Vol. 2(4):768-781
  3. Machado C, Diagnosis of brain death, Institute of Neurology and Neurosurgery,Department of Clinical Neurophysiology, Havana, Cuba, neurology international, 2012 : https://www.pagepress.org/journals/index.php/2010
  4. Samatra DPG, Mati Otak (Brain Death), In : Arimbawa, K., Sudira, P.G., Samarta,P., Laksmidewi, P., Adnanya, I.M.O., Susilawathi, N.M. et al. 2017. Neurotrauma & Movement Disorders: Improving Knowledge for Saving Lives. Cetakan ke-5. Bali:Udayana University Press.
  5. Munakomi S,  Khalili YA, Brain-Stem Death, https:// www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551584/
  6. Gardiner, D., Shemie, S., Manara, A., Opdam, H. 2012. International Perspective on the Diagnosis of Death. British Journal of Anaesthesia. Vol. 108(1):14-28
  7. Hosseinrezaei., Hakimeh,, Pilevarzadeh ., Amiri M ., Rafiei M ., Taghat H . 2014. Psychological Symptoms in Family Members of Brain Death Patients in Intensive Care Unit in Kerman, Iran. Global journal of health science. Vol.6 (2):203-208
  8. Kementrian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Penentuan Kematian Dan Pemanfaatan Organ Donor
  9. Wijdicks, EFM, Varelas, PN, Gronseth, GS, Greer, DM, Evidence-Based Guideline Update: Determining Brain Death in Adults. American Academy of Neurology. Vol 74(23):1911-118,2010.
by goens "GN"


 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar