RAMADHAN
YANG DIRINDUKAN
-Igun WInarno-
Bagian 1
Sore itu, langit
memancarkan semburat jingga yang indah, menghamparkan warna-warna lembut di
cakrawala. Angin sore berembus perlahan, membawa ketenangan yang sulit
dijelaskan dengan kata-kata. Di beranda masjid kecil di sudut kota, empat
sahabat duduk santai, menikmati teh hangat dan kurma yang tersaji di atas
nampan sederhana.
Dokter Fadli,
Perawat Agus, Perawat Fakhrudin, dan Perawat Hafid adalah empat tenaga medis
yang telah bersahabat sejak kecil. Kesibukan mereka di rumah sakit sering kali
menyita waktu, tetapi hari Minggu ini menjadi pengecualian. Tak ada jadwal
jaga, tak ada panggilan darurat—hanya momen kebersamaan yang langka.
Matahari perlahan
condong ke barat, pertanda magrib akan segera tiba. Di sekitar mereka, suasana
masjid mulai lebih hidup. Beberapa jamaah berdatangan, sebagian mengambil air
wudu, sementara yang lain memilih duduk bersandar di tiang-tiang masjid,
tenggelam dalam bacaan Al-Qur’an.
Ramadan tinggal
menghitung hari. Keempat sahabat itu, seperti kebanyakan orang, merasakan
getaran berbeda setiap kali bulan suci semakin dekat. Ada yang menanti dengan
penuh kerinduan, menganggapnya sebagai bulan penuh keberkahan. Namun, ada pula
yang merasa Ramadan adalah tantangan berat, sebuah ujian yang tidak semua orang
siap menjalaninya.
Sore itu, mereka
berbincang. Tentang Ramadan yang dinanti, tentang mengapa ada yang begitu
merindukannya, dan ada pula yang merasa biasa saja. Tentang makna bulan suci
yang lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga.
Angin sore yang
lembut menyapu beranda masjid, membawa aroma tanah yang mulai mendingin dan
semilir wangi bunga kenanga di halaman. Fadli meregangkan tangan, menghirup
udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
“Ahhh… Minggu sore
begini enaknya di masjid ya, tenang banget,” ujarnya dengan suara pelan, seakan
tak ingin mengusik keheningan yang begitu damai. “Sudah dekat Ramadan lagi,
rasanya seperti baru kemarin kita puasa bareng.”
Agus tersenyum,
menyeruput teh hangat di cangkir kecilnya. Masjid ini selalu menyediakan teh
dan air putih setiap sore. Uap teh hangat masih mengepul, bercampur dengan
udara sore yang mulai sejuk. “Iya, ya,” gumamnya, matanya menerawang ke langit
yang perlahan berubah warna. “Bulan puasa itu selalu punya suasana yang
berbeda. Ada ketenangan yang nggak bisa dijelaskan. Aku selalu merasa lebih
dekat dengan Allah.”
Fakhrudin, yang
sejak tadi bersandar di tiang masjid, mengangguk pelan. “Setuju,” katanya,
suaranya dalam dan mantap. “Ada berkah tersendiri di bulan Ramadan. Selain
ibadah yang lebih khusyuk, ada juga rasa kebersamaan yang lebih kuat. Buka
puasa bareng, tarawih bareng, sahur bareng. Beda banget rasanya.”
Hafid, yang sejak
tadi diam, menopang dagunya dengan satu tangan. Matanya menatap kosong ke
halaman masjid, seakan merenungkan sesuatu. Tiba-tiba ia berujar, “Tapi aku
juga sering ketemu orang yang merasa biasa saja atau malah nggak menanti
Ramadan,” katanya akhirnya. “Ada yang bilang berat, ada yang sibuk mikirin
kerjaan, ada yang merasa capek karena harus tetap kerja sambil puasa.”
Fadli mengangguk,
tatapannya hangat. “Iya, mungkin karena perspektifnya beda-beda. Kalau kita
anggap Ramadan sebagai beban, ya pasti terasa berat. Tapi kalau kita lihat
sebagai kesempatan memperbaiki diri, malah jadi sesuatu yang dinanti-nanti.”
Fakhrudin menarik
napas pelan, lalu mengembuskannya dengan senyum yang tetap menghiasi wajahnya.
“Benar,” katanya lembut. “Apalagi di rumah sakit. Banyak pasien yang justru
berharap bisa ikut berpuasa karena merasa itu bagian dari ibadah yang membawa
ketenangan. Aku pernah bertemu pasien yang tetap semangat puasa meski sedang
dalam masa pemulihan.”
Sejenak, mereka
terdiam. Kata-kata Fakhrudin seakan meresap dalam hati masing-masing. Angin
sore kembali berembus, membelai wajah mereka dengan lembut.
Ramadan semakin
dekat, dan dalam hati masing-masing, mereka tahu bulan suci ini bukan hanya
soal menahan lapar dan haus. Lebih dari itu, Ramadan adalah tentang menemukan
kembali diri sendiri, tentang perjalanan hati menuju cahaya yang lebih terang.
Mereka saling
bertukar senyum, seolah sepakat dalam diam. Ramadan yang dirindukan, sebentar
lagi akan tiba.
Agus menghela
napas. “Tapi ada juga yang nggak bisa puasa karena kondisi kesehatan, dan
mereka merasa sedih. Seakan ada yang kurang dalam ibadah mereka. Makanya kita
harus bersyukur kalau masih diberi kesempatan sehat untuk berpuasa.”
Hafid, dengan wajah
penasaran, kembali bertanya, “Sebenarnya, mengapa kita mesti merindukan bulan
Ramadan?” Ekspresi cemberutnya yang khas membuat yang lain terpesona. Saat mereka
terpaku pada wajah Hafid, tiba-tiba suara berat mengagetkan mereka. “Boleh saya
ikut nimbrung minum teh?”
Mereka menoleh.
Guru Darmadji, guru agama mereka semasa SMP, tersenyum hangat. Keempat sahabat
itu saling berpandangan, lalu kompak menjawab, “Boleh, Pak Guru.”
Fadli segera
memanfaatkan momen itu. “Nah, Pak Guru, kami sedang berdiskusi tentang mengapa
Ramadan harus dirindukan. Bagaimana menurut Pak Guru?”
Pak Guru menarik
napas dalam, memandangi wajah murid-muridnya yang kini telah dewasa. “Kenapa,
ya?” katanya seolah tidak tahu, lalu menyeruput tehnya.
“Pak Guru, ayo dong
jelasin ke kami. Dulu Pak Guru nggak pernah menerangkan ini ke kami, sih,” rayu
Hafid.
Guru Darmadji
terkekeh. “Ehm... ehm...” Ia berdehem pelan, lalu menyipitkan mata menggoda.
“Tidak menerangkan atau kamu yang tidur saat pelajaran, Mas Hafid?”
Yang lain tertawa,
sementara Hafid hanya nyengir. Ia memang terkenal sering mengantuk di kelas,
meski sejatinya ia anak yang cerdas.
Guru Darmadji
menghela napas dan mulai menjelaskan. “Ramadan itu istimewa karena bulan inilah
Al-Qur’an diturunkan, sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah ayat 185. Allah
berfirman bahwa Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi manusia dan pembeda antara yang benar dan batil. Selain itu, ada keutamaan
berpuasa serta keringanan bagi yang sakit atau dalam perjalanan. Allah
menghendaki kemudahan, bukan kesulitan, bagi hamba-Nya.”
Setelah menyeruput
tehnya lagi, beliau melanjutkan, “Di bulan ini, pahala amalan dilipatgandakan.
Rasulullah ﷺ bersabda bahwa siapa yang melakukan amalan sunnah di Ramadan,
pahalanya seperti amalan wajib di bulan lain. Dan siapa yang melakukan amalan
wajib, pahalanya seperti tujuh puluh amalan wajib di bulan lain.”
Mereka
mengangguk-angguk, memahami makna Ramadan yang lebih dalam. Hingga akhirnya
Fadli bertanya, “Saya pernah dengar kalau di bulan puasa ini semua dosa
diampuni. Benar begitu, Pak Guru?”
Guru Darmadji
tersenyum bijak. “Benar, tetapi ada syaratnya. Puasa harus dilakukan dengan
iman dan mengharap pahala dari Allah. Berdasarkan hadis Bukhari dan Muslim,
dosa yang diampuni adalah dosa kecil. Sedangkan dosa besar, seperti syirik,
zina, dan riba, harus disertai taubat yang sungguh-sungguh.”
Sore itu, angin
membawa ketenangan. Ramadan semakin dekat, dan hati mereka semakin siap
menyambutnya dengan penuh keimanan.
Fakhrudin
melanjutkan pertanyaannya, "Hanya itu saja, Guru, alasan mengapa Ramadhan
layak untuk dirindukan?" Suaranya terdengar sedikit kecewa.
Guru tersenyum,
memandang wajah Fakhrudin yang tampak kecewa. "Masih banyak keistimewaan
Ramadhan yang membuatnya layak untuk dirindukan. Di antaranya, Ramadhan adalah
waktu di mana pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup. Hal ini disebutkan
dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa saat Ramadhan tiba, pintu surga
dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Ini menunjukkan
besarnya kesempatan untuk meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepada
Allah."
Guru melanjutkan,
"Selain itu, ada malam Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu
bulan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, ‘Malam Lailatul Qadar lebih baik
daripada seribu bulan’ (QS. Al-Qadr: 3). Ibadah di malam ini setara dengan
ibadah selama lebih dari 83 tahun."
"Ada juga
hadis yang menyebutkan bahwa puasa adalah perisai yang dapat melindungi seorang
hamba dari api neraka. Dan dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 183,
dijelaskan bahwa puasa bertujuan membentuk pribadi yang bertakwa. Dengan segala
keutamaannya, Ramadhan memang bulan yang sangat layak untuk dinanti dan
dipersiapkan dengan baik."
Guru Darmadji
menatap mereka dengan penuh makna, lalu tersenyum. "Sudah siap menyambut
Ramadhan tahun ini?"
By.goens’GN
Komentar