Langsung ke konten utama

NOVEL ONLINE RAMADAN YANG DIRINDUKAN BAB 3 MENJALANI RAMADAN DI UJUNG STETOSKOPE

 BAB 3

MENJALANI RAMADAN DI UJUNG STETOSKOP

-IgunWinarno-

 

Malam itu, udara Ramadan terasa begitu syahdu. Angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari dapur-dapur yang tengah menyiapkan hidangan berbuka. Masjid-masjid mulai ramai dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an, pertanda waktu Magrib semakin dekat. Namun, di dalam ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit, kesibukan tak mengenal jeda. Dokter Fadli masih berjibaku dengan pasien-pasien yang terus berdatangan, tanpa kesempatan untuk sekadar menghela napas panjang.

Seorang pria paruh baya tergeletak di ranjang dengan wajah pucat, napasnya tersengal-sengal. "Dok, pasien dengan nyeri dada ini makin lemah," lapor perawat dengan nada cemas. Dokter Fadli segera mendekat, menatap layar monitor yang menunjukkan denyut jantung yang melemah. Dengan sigap, ia mengambil keputusan untuk segera memberikan terapi, sementara tim medis lainnya bersiap melakukan tindakan penyelamatan. Waktu terasa berlalu begitu cepat di tengah kegaduhan ini, hingga tanpa disadari, suara azan Magrib berkumandang dari masjid rumah sakit.

Sesaat, ada keinginan untuk segera berbuka, setidaknya meneguk air atau menikmati sebutir kurma. Namun, panggilan tugas lebih mendesak. Di sisi lain ruangan, seorang anak kecil menangis dengan suara serak, wajahnya memerah oleh demam tinggi. Ibunya yang panik memohon agar dokter segera memeriksanya. Tanpa ragu, Dokter Fadli menunda berbukanya. Baginya, menyelamatkan nyawa lebih utama dibandingkan menenangkan dahaga.

Di sudut lain IGD, tim medis tengah menangani seorang pria muda dengan luka parah akibat kecelakaan lalu lintas. Darah mengalir deras dari lengannya yang terluka, dan ia tampak kehilangan banyak darah. "Dok, tekanan darahnya turun!" seru seorang perawat. Dengan cekatan, Fadli memasang infus, memastikan pasien stabil sebelum tindakan lebih lanjut dilakukan. Seiring dengan itu, suara azan yang tadinya menggema kini hanya menjadi samar dalam benaknya.

Hampir satu jam setelah waktu berbuka, akhirnya ia menemukan celah untuk sekadar meneguk seteguk air putih dan memasukkan sebutir kurma ke dalam mulutnya. Rasa manisnya seakan mengalir ke seluruh tubuhnya yang kelelahan. Namun, belum sempat ia duduk lebih lama, suara panggilan darurat kembali terdengar. Ada pasien lain yang perlu ditangani segera. Sejenak ia menatap gelas air yang masih terisi setengah, lalu menghela napas dalam. "Bismillah, tugas belum selesai," gumamnya sebelum kembali bergegas.

 

Waktu terus berlari, malam semakin larut, dan pasien demi pasien telah ditangani. Namun, ada satu hal yang membuatnya gelisah: salatnya belum ia tunaikan. Magrib telah berlalu, begitu pula Isya. Kini, waktu Tarawih telah dimulai, tetapi ia masih terjebak di antara pasien-pasien yang membutuhkan pertolongannya. Di satu sisi, ia sadar bahwa pekerjaannya adalah ibadah. Namun, di sisi lain, ada kegundahan yang terus menghantui hatinya.

Saat situasi mulai sedikit tenang, Fadli berusaha mencari kesempatan untuk salat. Dengan penuh kelelahan, ia mengambil air wudu dengan gerakan cepat, lalu menunaikan salat Magrib dan Isya secara jamak takhir di ruangan kecil dekat IGD. Namun, entah mengapa, meski salat telah ditunaikan, hatinya tetap terasa kosong. Ada sesuatu yang mengganjal, seolah ia merasa kurang khusyuk dalam menghadap Sang Pencipta.

Seiring berjalannya malam, Fadli merasakan kegelisahan yang semakin dalam. "Apakah aku telah menjalani Ramadan dengan benar? Apakah semua kesibukan ini membuatku kehilangan makna bulan yang penuh berkah?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergelayut dalam pikirannya. Tak ada yang bisa ia ajak bicara saat itu, hanya suara alat-alat medis yang berbunyi di sekitar IGD menjadi latar belakang dari keheningan batinnya.

Malam semakin larut, dan tak lama setelah salat Tarawih selesai, ia menerima pesan dari Hafid, temannya masa kecil seorang perawat, "Setelah Tarawih, kita ke rumah Guru Darmadji, yuk. Ada hal yang ingin kita bahas bersama," tulis Hafid. Fadli terdiam sejenak, merasa bahwa inilah saatnya untuk menemukan jawaban dari kegelisahan yang mengganggunya. Dengan sisa energi yang masih ada, ia mengangguk pelan. "Baiklah, mungkin ini saatnya mencari ketenangan," gumamnya sebelum melangkah keluar dari rumah sakit menuju rumah Guru Darmadji.

Di sepanjang perjalanan, ia menatap langit Ramadan yang bertabur bintang. Hatinya berharap, semoga ada jawaban yang mampu menenangkan kegelisahan ini.

Saat tiba di rumah Guru Darmadji, cahaya lampu di teras memancarkan kehangatan, memberi kesan bahwa rumah ini adalah tempat berlindung bagi mereka yang tengah mencari ketenangan. Dari dalam, terdengar suara lembut lantunan zikir yang dibaca dengan penuh kekhusyukan. Di ruang tamu, Hafid dan Fakhrudin sudah lebih dulu duduk bersila, menunggu kehadiran Fadli. Agus masih berjaga di rumah sakit, sehingga hanya mereka bertiga yang hadir malam ini.

Guru Darmadji menyambut kedatangan Fadli dengan senyum khasnya. Beliau adalah sosok yang dihormati, bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga karena kebijaksanaannya dalam memahami persoalan kehidupan. Setelah saling bertukar sapa, mereka pun duduk bersila di ruang tamu yang sederhana, tetapi penuh dengan nuansa ketenangan. Aroma teh hangat bercampur wangi kayu cendana memenuhi ruangan, menambah suasana yang nyaman untuk berdiskusi.

Fadli membuka pembicaraan dengan suara lirih, terasa ada beban yang mengganjal di hatinya. "Guru, Ramadan kali ini terasa berbeda. Aku bekerja hampir tanpa henti di IGD. Saat azan berkumandang, aku masih di tengah kegawatan pasien. Kadang hanya sempat meneguk seteguk air, bahkan salat pun harus dijamak takhir. Aku merasa ada yang kurang, seakan-akan Ramadanku berlalu tanpa makna," ucapnya dengan wajah muram.

Guru Darmadji tersenyum lembut, matanya memancarkan ketenangan yang dalam. Ia menatap Fadli dengan penuh kasih sayang sebelum menjawab, "Nak, Allah Maha Mengetahui setiap keadaan hamba-Nya. Allah tidak membebani seseorang melampaui batas kemampuannya. Engkau adalah dokter, dan tugasmu adalah menolong sesama. Itu juga ibadah yang besar."

Fadli menundukkan kepala, masih ragu. "Tapi, Guru… bukankah Ramadan adalah waktu untuk memperbanyak ibadah? Tarawih, tilawah, memperbanyak doa… Aku merasa kehilangan semua itu. Seakan-akan aku tak benar-benar menjalani Ramadan." Suaranya sedikit bergetar, menunjukkan kegelisahan yang sudah lama terpendam.

Hafid yang sedari tadi mendengarkan akhirnya angkat bicara. "Aku pun merasakan hal yang sama, Fadli," katanya. "Terkadang saat kita sibuk melayani pasien, kita merasa jauh dari Allah. Tapi, apakah benar begitu? Bukankah justru dengan menolong orang lain, kita sedang menjalankan salah satu bentuk ibadah terbaik?"

Guru Darmadji mengangguk pelan. "Benar sekali, Hafid. Ada satu dalil yang perlu kalian renungkan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, Surah Al-Maidah ayat 32, bahwa barang siapa yang menyelamatkan satu nyawa, maka seakan-akan ia telah menyelamatkan seluruh manusia. Bayangkan, Nak, setiap nyawa yang kalian selamatkan di rumah sakit dicatat oleh Allah sebagai pahala yang luar biasa. Bukankah itu juga bentuk ibadah?"

Fadli termenung. Kata-kata itu seakan membuka ruang baru di hatinya. Selama ini, ia mengukur ibadah hanya dari rukuk dan sujudnya, tanpa menyadari bahwa setiap tindakan yang ia lakukan dengan niat karena Allah pun bernilai ibadah.

Namun, tetap ada pertanyaan yang mengusik pikirannya. "Bagaimana dengan salat yang aku jamak takhir? Apakah itu dibenarkan, Guru?" tanyanya dengan suara lebih tenang, tetapi tetap ingin memastikan.

Guru Darmadji tersenyum. "Nak, Islam adalah agama yang penuh kemudahan, bukan kesulitan. Rasulullah SAW sendiri pernah menjamak salat bukan karena safar atau hujan, tetapi untuk memberikan kemudahan bagi umatnya. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah pernah menjamak salat tanpa alasan tertentu, hanya untuk menghindari kesulitan bagi umatnya. Jadi, selama engkau dalam keadaan darurat, seperti menangani pasien kritis, maka Allah memberikan rukhsah (keringanan) untuk menjamak salat."

Fadli mulai merasa beban di dadanya berkurang. "Jadi, bukan berarti aku mengabaikan salat, melainkan menyesuaikannya dengan kondisi darurat?" tanyanya memastikan.

"Benar," jawab Guru Darmadji. "Namun, satu hal yang perlu diingat, meskipun salat dapat dijamak, jangan sampai hati kita kehilangan keterhubungan dengan Allah. Saat tanganmu merawat pasien, tetaplah berzikir dalam hati. Saat kakimu berlari menangani kegawatan, bisikkan doa kepada-Nya. Allah Maha Tahu isi hatimu."

Fakhrudin yang sejak tadi mendengarkan dengan saksama akhirnya ikut bersuara. "Aku pernah membaca bahwa Rasulullah SAW juga sangat memuliakan mereka yang bekerja keras untuk kepentingan orang lain. Bahkan dalam perang pun, ada sahabat yang bertugas di barisan belakang, merawat yang terluka. Mereka tetap mendapatkan pahala jihad meskipun tidak berada di medan pertempuran. Bukankah mirip dengan tugas kita sebagai dokter?"

Guru Darmadji tersenyum penuh kebanggaan. "Benar, Nak. Ramadan bukan sekadar tentang ibadah ritual, tetapi juga tentang keikhlasan, kesabaran, dan pelayanan kepada sesama. Jangan merasa kehilangan Ramadan hanya karena kesibukan. Justru Ramadan kalian lebih bermakna, karena setiap tindakan yang kalian lakukan adalah bentuk pengabdian yang tulus."

Fadli menarik napas panjang. Hatinya kini lebih ringan. Selama ini, ia merasa terbebani karena membandingkan Ramadannya dengan orang lain, yang bisa tarawih di masjid, membaca Al-Qur'an dengan tenang, dan menikmati waktu berbuka dengan keluarga. Padahal, Allah memberikan jalan ibadah yang berbeda untuk setiap hamba-Nya.

Malam semakin larut, dan suasana di rumah Guru Darmadji terasa begitu damai. Fadli menatap Hafid dan Fakhrudin, yang juga terlihat lebih tenang. Mereka bukan hanya menemukan jawaban atas pertanyaan mereka, tetapi juga mendapatkan ketenangan batin yang selama ini hilang.

Sebelum mereka berpamitan, Guru Darmadji berpesan dengan lembut, "Jangan lupakan doa dalam setiap langkah kalian. Ucapkan dalam hati: 'Ya Allah, jadikanlah setiap langkahku ini sebagai jalan menuju-Mu.' Maka, meskipun tanganmu sibuk bekerja, hatimu tetap bersama-Nya."

Fadli tersenyum, kali ini dengan ketulusan yang lebih dalam. Bersama Hafid dan Fakhrudin, ia berpamitan lalu melangkah keluar dari rumah Guru Darmadji dengan hati yang lebih ringan. Angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya, seakan menjadi pertanda ketenangan yang baru saja ia temukan. Mereka berjalan bersama menuju Masjid Al-Ikhlas, merasakan kelegaan yang sama. Ramadhannya mungkin berbeda, tetapi bukan berarti kurang bermakna. Justru, ia menjalani Ramadhan dalam bentuk yang paling indah—melalui pengabdian, ketulusan, dan kesabaran. Malam ini, ia semakin yakin bahwa menjadi dokter di bulan Ramadhan bukanlah sebuah kehilangan, melainkan bentuk ibadah yang berbeda.

Langit malam tampak begitu indah, dihiasi bintang-bintang yang berkelip lembut. Dalam hatinya, Fadli berbisik penuh syukur, "Ya Allah, jika ini adalah jalan yang Kau pilihkan untukku, maka jadikanlah setiap langkahku menuju-Mu."

Di sepanjang perjalanan kembali ke Masjid Al-Ikhlas, Fadli terus merenungkan kata-kata Guru Darmadji. Ramadhan bukan hanya tentang ibadah ritual, tetapi juga tentang keikhlasan, kesabaran, dan pelayanan kepada sesama. Ia merasa malu pada dirinya sendiri karena sempat berpikir bahwa ibadahnya kurang sempurna hanya karena ia tidak bisa tarawih berjamaah atau mengkhatamkan Al-Qur’an seperti yang lain. Padahal, Allah telah memberikan ladang ibadah yang luas untuknya, dan setiap pasien yang ia rawat adalah bagian dari amal saleh yang tak ternilai.

Pada hari berikutnya, saat berada di ruangan IGD, Agus yang sedang berjaga menyapanya dengan senyum.

"Kau ke mana? Kemarin pulang tidak bilang-bilang, langsung saja nyelonong, Fad. Kau baik-baik saja?" tanyanya sambil menjatuhkan diri ke kursi di depan dokter Fadli.

Fadli tersenyum, kali ini dengan ketulusan yang lebih dalam. "Aku baik, Gus. Aku hanya perlu memahami sesuatu yang selama ini luput dari pikiranku."

 

Agus mengernyit, bingung. "Apaan sih?" tanyanya dengan wajah penuh penasaran.

Fadli hanya tersenyum menggoda, membuat Agus semakin ingin tahu. "Nanti saja kamu tanya Hafid atau Fakhrudin," katanya sambil melangkah menuju pantry.

"Sialan, bikin penasaran saja," gerutu Agus, mengikuti langkahnya.

Di saat yang sama, suara azan Magrib berkumandang. Fadli menutup matanya sejenak, membiarkan panggilan suci itu meresap ke dalam hatinya dengan makna yang lebih dalam. Ramadhannya tetap berarti, meskipun berbeda dari kebanyakan orang. Dalam hatinya, ia berbisik penuh syukur, "Ya Allah, jika ini adalah jalan yang Kau pilihkan untukku dalam mengabdi, maka jadikanlah setiap langkahku menuju-Mu."

-by,goens”GN-

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEDOMAN ANESTESI DAN PEDIATRIK

PEDOMAN ANESTESI DAN PEDIATRIK 1.     Pendahuluan Penatalaksanaan anestesi pada kelompok pediatri mempunyai aspek psikologi, anatomi, farmakologi, fisiologi dan patologi yang berbeda dengan orang dewasa. Pemahaman atas perbedaan ini merupakan dasar penatalaksanaan anestesi pediatri yang efektif dan aman. Pendekatan psikologis merupakan faktor penting yang berdampak pada luaran anestesi pediatri. Sesuai perkembangannya, kelompok pediatri dibagi dalam kelompok usia neonatus yang lahir kurang bulan dan cukup bulan, bayi usia diatas 1 bulan sampai usia dibawah 1 tahun, anak usia prasekolah usia diatas 1 tahun sampai usia 5 tahun, anak usia sekolah usia 6 tahun sampai 12 tahun dan usia remaja 13 tahun sampai 18 tahun. Neonatus merupakan kelompok yang mempunyai risiko paling tinggi jika dilakukan pembedahan dan anestesi. Patologi yang memerlukan pembedahan berbeda tergantung kelompok usia, neonatus dan bayi memerlukan pembedahan untuk kelainan bawaan sedangkan remaja m...

Mengapa Aku Menjadi Seorang Dokter Anestesi

MENGAPA AKU MENJADI SEORANG DOKTER ANESTESI (Sebuah Titik Balik Kehidupan) Sekarang walaupun belum dapat kuraih semuanya, tetapi aku mulai bisa tersenyum mengenang akan masa laluku. Kini aku telah menjadi seorang dokter dan telah mendapatkan spesialisasi dalam jenjang pendidikan di bidang anestesiologi alias pendalaman dalam ilmu pembiusan dan penanganan pasien kegawatdaruratan di ruang intensif (ICU). Memang sih, masih banyak yang belum bisa aku raih tetapi setidaknya kini aku dapat tersenyum dengan kehidupanku sekarang. Aku terlahir disebuah desa kecil dengan kultur budaya pendidikan yang   tidak   menunjang, jangankan bermimpi untuk menjadi seorang dokter, untuk sekolah sampai jenjang menengah pertama dan atas saja masih menjadi barang yang langka. Untung aku terlahir mempunyai seorang bapak yang memang berorientasi pada pendidikan, walaupun susah dari sisi ekonomi untuk menjalaninya. Bapakku merupakan seorang pendidik yang berhenti entah mengapa, karena jaman at...

INFO KOS DI AJIBARANG

  KOS-KOSAN DI AJIBARANG Ingin mendapatkan tempat kos yang menyenangkan ?, Indi’s Kos menyediakan sebuah tempat hunian kos yang menyenangkan, dengan type kamar : Kamar mandi dalam, AC, lemari, spring bed 140 x 200, sprei, bantal dan guling, sebanyak 2 kamar Kamar mandi luar (dalam rumah 2 buah) : springbed 120 x 200, sprei, bantal guling, sebanyak 5 kamar Kamar : bersih Lokasi :  jalan Pramuka no 30, Ajibarang Kulon, Belakang kecamatan Ajibarang. Strategis : Tenang, dekat keramaian dan makanan, tempat parkir luas Bila memerlukan informasi bisa hubungi : Bapak Warsoon : 085292364268 Ruang santai, ruang bersama Kamar Mandi dalam Kamar Kamar Mandi Luar kamar /dalam rumah Kamar Mandi dalam Kamar Kamar Bukan Ber AC Kamar Ber AC