Langsung ke konten utama

NOVEL ONLINE RAMADAN YANG DIRINDUKAN BAB 5 "ANTARA JAGA MALAM DAN SHOLAT TARAWIH"

 BAB 5

ANTARA JAGA MALAM DAN SHOLAT TARAWIH

-Igun Winarno-

 

Suasana di ruang ICU malam itu terasa sunyi. Hanya suara monitor pasien dan alat bantu pernapasan yang terdengar samar di antara redupnya cahaya lampu. Udara terasa sedikit dingin, bercampur aroma antiseptik yang khas di setiap sudut ruangan. Di salah satu sisi, Agus, seorang perawat, sedang mengecek kondisi pasien yang terbaring lemah di ranjangnya. Matanya sesekali melirik monitor yang menunjukkan angka stabil, meski napas pasien masih berat dan penuh perjuangan. Di sudut ruangan, perawat Leni duduk di depan komputer, mencatat perkembangan pasien yang baru saja ia periksa. Sementara itu, Karman, petugas kebersihan, mengepel lantai dengan tenang, memastikan setiap sudut tetap bersih dan steril.

Agus menghela napas panjang. Malam terasa begitu lambat bergerak, seolah waktu enggan beranjak dari titiknya. "Malam ini terasa panjang ya, Len. Sudah Ramadan, tapi tetap harus jaga malam," katanya sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 20.30. Di luar sana, orang-orang mungkin sedang menikmati suasana Tarawih atau justru telah selesai, sementara di dalam ruangan ini, mereka berjaga agar pasien tetap selamat.

Leni tersenyum tipis tanpa melepaskan pandangannya dari layar komputer. "Iya, Mas Agus. Beginilah tugas kita. Merawat pasien juga ibadah, tapi jujur saja, aku kangen suasana Tarawih di masjid. Rasanya beda, apalagi saat rakaat terakhir dan doa bersama. Tapi ya... kita harus ikhlas, kan?" katanya dengan nada pasrah, meskipun ada sedikit kerinduan dalam suaranya.

Karman yang sedari tadi sibuk mengepel menghentikan pekerjaannya sejenak dan tersenyum. "Betul, Mas. Saya juga tiap Ramadan biasanya ikut Tarawih di musala dekat rumah. Tapi kalau kerja begini, ya, paling baca Al-Qur'an sendiri waktu istirahat," katanya sambil merapikan alat pel yang ia bawa. Ada kerinduan yang sama dalam suaranya, tetapi ia sadar, pekerjaan ini juga bagian dari amal. Malam terus berlanjut, dan di balik sunyinya ruang ICU, ada orang-orang yang tetap berjuang, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk kehidupan orang lain.

Suasana ICU yang sebelumnya tenang mendadak berubah. Alarm monitor berbunyi nyaring, memecah kesunyian. Agus, yang tengah mencatat perkembangan pasien, langsung menoleh ke arah ranjang pasien yang mengalami desaturasi. Monitor menunjukkan angka yang mengkhawatirkan—saturasi oksigen turun drastis hingga 78%. Tanpa membuang waktu, Agus segera bergerak.

"Mbak Leni, saturasi oksigen pasien ini turun drastis!" seru Agus dengan nada cemas, tetapi tetap profesional. Tangannya segera menyesuaikan posisi pasien, berharap angka saturasi bisa sedikit membaik.

Leni, yang sedang memeriksa pasien lain, langsung menghampiri dengan cepat, merespons call for help dari Agus. Sekilas, ia melihat wajah pasien mulai membiru, bibirnya tampak sianosis. "Cepat, kita hubungi dokter Fadli!" katanya sambil mengangkat telepon ICU, jari-jarinya lincah menekan nomor dokter jaga.

Di ujung telepon, dokter Fadli yang sedang berada di ruang jaga segera merespons. "Baik, saya segera ke sana. Pasang oksigen dengan aliran tinggi dan periksa BGA secepatnya!" suaranya terdengar tegas.

Agus dan Leni bergerak cepat. Agus segera memasang masker oksigen non-rebreathing dengan aliran oksigen 10 liter/menit, sementara Leni menyiapkan alat untuk pemeriksaan gas darah arteri (BGA). Karman, yang sebelumnya mengepel lantai, segera menyingkir ke sudut ruangan, memastikan dirinya tidak menghalangi tim medis yang tengah berjibaku menyelamatkan pasien.

Beberapa menit kemudian, pintu ICU terbuka dengan tergesa. Dokter Fadli datang dengan langkah cepat, langsung menuju ranjang pasien. Sekilas, ia melihat layar monitor yang masih menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Dengan cekatan, ia mengambil hasil AGD/BGA yang baru saja keluar.

"pH rendah, CO₂ tinggi, dan PaO₂ di bawah 50. Ini asidosis berat dan gagal napas! Agus, siapkan informed consent intubasi dan siapkan alat juga! Leni, cek kembali infusnya, pastikan aksesnya berjalan lancar!" perintah dokter Fadli tanpa ragu.

Agus langsung bergerak menuju lemari peralatan. Tangannya dengan cekatan mengambil laringoskop, endotrakeal tube (ETT), dan alat bantu lain yang diperlukan untuk intubasi. Di sisi lain, Leni memastikan infus berjalan dengan baik serta menyiapkan obat sedasi dan pelumpuh otot.

Ventilator juga sudah terpasang dengan baik.

"Dok, laringoskop dan ETT sudah siap," ujar Agus sambil menyerahkan alat tersebut kepada dokter Fadli.

"Tekanan darah berapa sekarang?" tanya dokter Fadli dengan tegas.

"Tensi 80/50 mmHg, laju nadi 130 kali per menit, saturasi masih sama 89%, pasien pain response," jawab Leni dengan tegas dan lincah.

Fadli mengangguk, lalu menatap Leni. "Obat sedasi sudah siap?"

"Siap, Dok. Midazolam dan fentanyl sudah terukur," jawab Leni sigap.

"Jangan, tekanan darah terlalu rendah. Siapkan midazolam 2 mg dan ketamin 100 mg, masukkan pelan-pelan."

"Siap, Dokter." Leni segera menyiapkan obat. "Midazolam 2 mg dan ketamin 100 mg sudah siap, izin memasukkan perlahan, Dokter."

"Oke, terima kasih," ujar dokter Fadli yang bersyukur memiliki tim yang lincah dan sigap.

"Siapkan pelumpuh otot, rocuronium 30 mg."

"Siap, rocuronium 30 mg masuk, pelan-pelan," ucap Leni sambil melakukan double-check.

Agus juga ikut memastikan, "Laringoskop dengan blade siap, ETT nomor 7,5 siap."

Proses intubasi pun dilakukan dengan cermat oleh dokter Fadli. Endotrakeal tube (ETT) diposisikan pada kedalaman 20 cm. Setelah dilakukan pengecekan, suara napas terdengar sama di apeks paru kanan dan kiri, sehingga diputuskan untuk dilakukan fiksasi ETT.

Leni mendekatkan stetoskop ke dada pasien. "Suara napas simetris, Dok," lapornya, memastikan bahwa intubasi telah berhasil.

"Koneksikan ke ventilator! Sesuaikan setting dengan kebutuhan pasien," instruksi Fadli berikutnya.

Agus segera menyambungkan ETT ke mesin ventilator yang sudah disiapkan. Setelah beberapa detik, layar ventilator mulai menunjukkan angka parameter pernapasan pasien. Namun, ada masalah baru.

"Dok, pasien mengalami hiperkapnia. Retensi CO₂ masih tinggi," kata Leni sambil menunjuk angka pada layar ventilator.

Fadli mengamati data dengan saksama. "Kita ubah setting ventilator. Perpanjang ekspirasi agar CO₂ bisa lebih banyak terbuang," katanya. Agus segera menyesuaikan parameter pada mesin.

Perlahan, angka di monitor mulai menunjukkan perbaikan. Saturasi oksigen meningkat menjadi 96%, dan kadar CO₂ perlahan berkurang. Napas pasien menjadi lebih teratur, meski masih dalam bantuan ventilator.

Dokter Fadli menghela napas lega. "Alhamdulillah, pasien mulai membaik. Kalian bekerja dengan sangat baik," katanya dengan nada puas.

Leni tersenyum kecil, meski kelelahan mulai terasa. "Semoga kondisinya terus stabil, Dok."

"Pantau hemodinamik," suara Fadli terdengar tegas.

"Tekanan darah 110/50 mmHg, laju jantung 100 kali per menit, dan saturasi naik menjadi 98%," lapor Agus dengan cermat.

Dokter Fadli dan tim lainnya tampak bersyukur melihat perbaikan kondisi pasien.

Setelah situasi kembali tenang, Agus duduk sejenak di kursi dekat nurse station. Ia melirik jam tangan, melihat waktu yang sudah menunjukkan awal malam. Di luar sana, jamaah mungkin sudah mulai bersiap untuk salat Tarawih, sementara ia masih berada di sini, berjaga di ruang ICU. Hatinya terasa sedikit berat. Ia menghela napas panjang, kemudian berkata pelan, "Dokter Fadli, ini waktunya Tarawih. Kadang saya merasa sedih, setiap malam Ramadan selalu jaga dan jarang bisa ikut berjamaah."

Dokter Fadli, yang baru saja menyelesaikan pencatatan pasien, menoleh dan tersenyum tipis. Ia paham betul perasaan Agus. Dengan lembut, ia menepuk bahu perawat muda itu. "Aku juga merasakan hal yang sama dulu, Gus. Tapi ingat, merawat pasien yang sedang berjuang antara hidup dan mati juga ibadah besar. Bahkan dalam hadis, menolong orang yang kesulitan bisa lebih utama daripada ibadah sunnah."

Karman, yang sejak tadi diam sambil merapikan peralatan kebersihan, ikut menimpali. "Betul, Mas Agus. Saya pernah dengar, kalau kita punya niat baik untuk beribadah, tapi ada kewajiban lain yang harus kita jalankan, insyaAllah pahalanya tetap dicatat. Bukankah Allah itu Maha Pengasih dan Maha Mengetahui?"

Leni, yang duduk di dekat mereka, hanya mendengarkan dalam diam. Ia memahami dilema yang dirasakan Agus. Bagi tenaga kesehatan, Ramadan memang memiliki tantangan tersendiri. Ketika orang lain bisa melaksanakan ibadah dengan tenang di masjid, mereka justru berada di rumah sakit, memastikan pasien dalam kondisi stabil.

Setelah beberapa saat terdiam dan merenung, dokter Fadli kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih tenang. "Benar, Agus. Aku juga dulu pernah merasa berat saat harus jaga malam di bulan Ramadan. Tapi suatu hari, ada pasien kritis yang selamat karena aku ada di sini tepat waktu. Sejak itu, aku sadar, mungkin ini jalan kita untuk mendapat pahala di bulan penuh berkah."

Agus mendengarkan dengan saksama. Ia mulai memahami bahwa ibadah bukan hanya soal salat Tarawih di masjid atau membaca Al-Qur’an dalam jumlah banyak. Islam mengajarkan bahwa segala amal yang dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah, termasuk merawat pasien, bisa menjadi ibadah yang nilainya luar biasa.

"Iya, Dok," Agus mengangguk pelan. "Mungkin selama ini aku terlalu fokus pada ibadah yang terlihat, padahal merawat pasien juga bagian dari ibadah yang besar." Ia mulai merasakan ketenangan dalam hatinya, menyadari bahwa Allah pasti melihat pengorbanan mereka di sini.

Fakhrudin, yang sedari tadi mendengarkan, tersenyum sambil berkata, "Ayo, kita sempatkan baca Al-Qur'an atau salat sebentar saat ada waktu luang. Ramadan tetap bisa kita jalani dengan penuh berkah, meskipun di tengah tugas jaga malam." Semua mengangguk setuju.

Bagi mereka, ruang ICU bukan hanya tempat bekerja, tetapi juga tempat beribadah dengan cara yang berbeda. Tidak ada lantunan ayat suci dalam jamaah besar, tetapi ada doa-doa lirih yang terucap di sela-sela merawat pasien. Tidak ada saf yang rapi dalam salat Tarawih, tetapi ada keikhlasan dalam setiap langkah membantu orang lain yang sedang berjuang untuk hidup.

Di luar ICU, suara orang bertadarus berkumandang dengan indah. Malam Ramadan terus berjalan, dan di dalam ruangan ini, ada para pejuang yang tetap beribadah dengan cara mereka sendiri. Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui, dan Dia pasti tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.

Agus merapikan alat-alat yang telah digunakan, sementara Karman, yang sedari tadi memperhatikan, langsung membersihkan area sekitar.

Malam itu, di tengah lelah dan kantuk, mereka kembali diingatkan bahwa tugas mereka bukan hanya sekadar bekerja, tetapi juga menyelamatkan nyawa. Ramadan tetap berjalan, dan di ICU, ibadah mereka hadir dalam bentuk lain, menjaga kehidupan.

By.goens’GN

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEDOMAN ANESTESI DAN PEDIATRIK

PEDOMAN ANESTESI DAN PEDIATRIK 1.     Pendahuluan Penatalaksanaan anestesi pada kelompok pediatri mempunyai aspek psikologi, anatomi, farmakologi, fisiologi dan patologi yang berbeda dengan orang dewasa. Pemahaman atas perbedaan ini merupakan dasar penatalaksanaan anestesi pediatri yang efektif dan aman. Pendekatan psikologis merupakan faktor penting yang berdampak pada luaran anestesi pediatri. Sesuai perkembangannya, kelompok pediatri dibagi dalam kelompok usia neonatus yang lahir kurang bulan dan cukup bulan, bayi usia diatas 1 bulan sampai usia dibawah 1 tahun, anak usia prasekolah usia diatas 1 tahun sampai usia 5 tahun, anak usia sekolah usia 6 tahun sampai 12 tahun dan usia remaja 13 tahun sampai 18 tahun. Neonatus merupakan kelompok yang mempunyai risiko paling tinggi jika dilakukan pembedahan dan anestesi. Patologi yang memerlukan pembedahan berbeda tergantung kelompok usia, neonatus dan bayi memerlukan pembedahan untuk kelainan bawaan sedangkan remaja m...

Mengapa Aku Menjadi Seorang Dokter Anestesi

MENGAPA AKU MENJADI SEORANG DOKTER ANESTESI (Sebuah Titik Balik Kehidupan) Sekarang walaupun belum dapat kuraih semuanya, tetapi aku mulai bisa tersenyum mengenang akan masa laluku. Kini aku telah menjadi seorang dokter dan telah mendapatkan spesialisasi dalam jenjang pendidikan di bidang anestesiologi alias pendalaman dalam ilmu pembiusan dan penanganan pasien kegawatdaruratan di ruang intensif (ICU). Memang sih, masih banyak yang belum bisa aku raih tetapi setidaknya kini aku dapat tersenyum dengan kehidupanku sekarang. Aku terlahir disebuah desa kecil dengan kultur budaya pendidikan yang   tidak   menunjang, jangankan bermimpi untuk menjadi seorang dokter, untuk sekolah sampai jenjang menengah pertama dan atas saja masih menjadi barang yang langka. Untung aku terlahir mempunyai seorang bapak yang memang berorientasi pada pendidikan, walaupun susah dari sisi ekonomi untuk menjalaninya. Bapakku merupakan seorang pendidik yang berhenti entah mengapa, karena jaman at...

INFO KOS DI AJIBARANG

  KOS-KOSAN DI AJIBARANG Ingin mendapatkan tempat kos yang menyenangkan ?, Indi’s Kos menyediakan sebuah tempat hunian kos yang menyenangkan, dengan type kamar : Kamar mandi dalam, AC, lemari, spring bed 140 x 200, sprei, bantal dan guling, sebanyak 2 kamar Kamar mandi luar (dalam rumah 2 buah) : springbed 120 x 200, sprei, bantal guling, sebanyak 5 kamar Kamar : bersih Lokasi :  jalan Pramuka no 30, Ajibarang Kulon, Belakang kecamatan Ajibarang. Strategis : Tenang, dekat keramaian dan makanan, tempat parkir luas Bila memerlukan informasi bisa hubungi : Bapak Warsoon : 085292364268 Ruang santai, ruang bersama Kamar Mandi dalam Kamar Kamar Mandi Luar kamar /dalam rumah Kamar Mandi dalam Kamar Kamar Bukan Ber AC Kamar Ber AC