Langsung ke konten utama

NOVEL ONLINE RAMADAN YANG DIRINDUKAN BAB 4 "PERJUANGAN DI KAMAR BERSALIN"

 BAB 4

PERJUANGAN DI RUANG BERSALIN

-Igun Winarno-

 

Ramadan malam itu terasa berbeda di ruang bersalin. Di luar, bulan sabit menggantung di langit, sinarnya samar menembus jendela rumah sakit yang sepi. Aroma khas antiseptik bercampur dengan harum teh hangat dari ruang para bidan, sementara suara azan Isya yang menggema dari masjid dekat rumah sakit terdengar lirih di balik dinding.

Di dalam ruang bersalin, cahaya lampu putih terang menyinari setiap sudut, memantulkan bayangan para bidan yang sibuk menyiapkan peralatan. Dokter Fadli, yang berada di ruang jaga dokter bangsal, baru saja meneguk seteguk air putih ketika suara nyaring dari telepon genggamnya memecah kesunyian.

“Selamat malam, Dokter Fadli,” terdengar suara cemas dari seberang telepon.

“Iya, benar. Saya Dokter Fadli. Ada yang bisa saya bantu?” jawabnya dengan nada sopan dan tenang, berusaha menenangkan lawan bicaranya. Setelah mendengar suara Fadli yang stabil, wanita di seberang telepon mulai lebih tenang.

“Saya Bidan Siti, Dok. Izin melaporkan, di ruang bersalin ada pasien yang sedang proses melahirkan, tetapi pasien tidak kooperatif,” lapor Bidan Siti dengan nada lebih terkendali.

“Oh ya, saya segera ke sana,” balas Fadli tanpa ragu.

Ia segera mengenakan jas putihnya yang kini tampak sedikit kusut setelah seharian bertugas, lalu melangkah cepat menuju ruang bersalin. Saat tiba, seorang bidan bergegas menghampirinya dengan wajah cemas.

“Dok, pasien di ruang tiga tidak kooperatif. Sudah pembukaan lengkap, tapi dia menolak mengejan,” lapor Bidan Siti dengan nada khawatir.

Ruang bersalin itu sendiri bukan tempat biasa. Di sinilah kehidupan baru dimulai, tetapi juga di sinilah nyawa bisa melayang. Setiap sudut dipenuhi peralatan medis yang siap sedia—infus menggantung di tiang besi, monitor denyut jantung berbunyi pelan, dan ranjang bersalin dengan kain putih yang sudah sedikit kusut. Udara di ruangan itu terasa tegang, seakan ikut menahan napas bersama mereka yang berada di dalamnya.

Di atas ranjang bersalin, seorang ibu muda terbaring dengan wajah basah oleh peluh, napasnya terengah-engah. Tangan kurusnya mencengkeram erat pagar tempat tidur, sementara matanya kosong, berada di antara putus asa dan ketakutan. Ia berjuang dalam batas antara hidup dan mati, menanggung nyeri yang tak terbayangkan demi seorang anak yang bahkan belum sempat ia lihat.

Dalam detik-detik itu, seorang ibu bukan sekadar manusia biasa. Ia adalah pahlawan yang mempertaruhkan nyawanya untuk menghadirkan kehidupan. Suara tangis tertahan, jeritan yang sesekali pecah seperti doa yang tak terucap, memenuhi ruangan bersama dengan detak waktu yang terasa semakin berat.

Dokter Fadli mendekat, menatap pasien itu dengan tenang. Ramadan ini, ia kembali dihadapkan pada ujian besar: menyelamatkan dua nyawa dalam satu tubuh, seorang ibu dan anaknya yang belum lahir. Di dalam kesunyian yang penuh ketegangan, ia tahu bahwa perjuangan ini bukan sekadar tugas, melainkan sebuah pengabdian yang suci.

“Ibu, ayo yang kuat. Saya bantu doa. Bismillah, mari kita bersama-sama membaca Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mal nasir, la haula wa la quwwata illa billah,” suara Fadli begitu damai di telinga pasien yang tengah berjuang. Wanita itu mengangguk, dan perlahan, semangat kembali tumbuh di wajahnya.

“Yuk, siap-siap ya, Bu. Kita berdoa bersama. Saat perut mulai terasa kencang, coba bangun sedikit ke posisi setengah duduk, tekuk kaki, dan lebarkan paha. Tarik napas dalam, lalu tahan. Arahkan tekanan ke perut bagian bawah, seperti saat buang air besar. Jangan menekan di wajah, fokuskan dorongan ke perut bawah. Siap ya, Bu? Semangat!” ujar Fadli dengan senyum menenangkan.

Sang ibu mengikuti arahan dengan baik. Setelah dua kali percobaan, terdengar tangisan nyaring bayi yang baru memasuki dunia. Wajah ibu itu berubah lega, dan dengan suara lirih ia berucap, “Alhamdulillah.”

“Terima kasih, Dokter. Maaf, mungkin tangan dokter sakit,” katanya sambil tersenyum lelah.

 Fadli hanya membalas dengan senyuman. “Iya, selamat ya, Bu,” ujarnya, lalu melirik tangannya yang memerah dengan bekas cengkeraman kuat. Dengan nada bercanda, ia berkata, “Oh iya, tangan saya merah, nih, bekas jejas cengkeraman.” Wajah sang ibu sedikit tersipu malu.

Fadli kemudian berjalan menuju ruang pantry bidan, diikuti beberapa bidan yang tidak bertugas merapikan ibu dan bayi yang baru lahir. Malam Ramadan itu terasa lebih bermakna, bukan hanya karena kelahiran seorang bayi, tetapi juga karena kehangatan, perjuangan, dan kebersamaan dalam menyambut kehidupan baru.

“Malam, Dokter Fadli,” sapa Dian mencoba membuka pembicaraan. Sejak tadi, ia hanya diam di belakang, memperhatikan setiap tindakan yang dilakukan Fadli. Kekaguman dan rasa hormatnya semakin bertambah seiring waktu.

Mendengar sapaan itu, Fadli menoleh, merasa suara itu begitu familiar. Dan benar saja, ternyata ada seorang bidan berdiri di belakangnya.

“Oh, kamu Dian. Ternyata kamu jaga malam, ya?” Fadli membalas dengan nada akrab.

Beberapa bidan yang lain terkejut mendengar respons Fadli. Mereka tak menyangka ada keakraban antara Dian dan dokter muda itu, tetapi mereka hanya menyimpan rasa penasaran dalam hati masing-masing.

“Dokter Fadli, boleh tidak saya bertanya?” ujar Dian ragu-ragu.

“Tentu saja boleh. Masa untuk orang sebaik kamu tidak boleh bertanya?” jawab Fadli dengan senyum. Jawaban itu sontak membuat hati Dian melambung tinggi.

“Ini kan bulan puasa Ramadan. Bagaimana tinjauan Islam mengenai seorang wanita yang sedang dalam proses melahirkan, apakah tetap wajib berpuasa?” tanya Dian dengan penuh penasaran.

“Wah, pertanyaan yang cukup berat, nih,” ujar Fadli sambil tertawa kecil. “Tapi menurutku, ini termasuk rukhsah atau keringanan. Apalagi dalam kondisi melahirkan, tentu sudah ada alasan kuat untuk tidak berpuasa, seperti juga saat masa nifas. Namun, untuk lebih jelasnya, bagaimana kalau kita tanyakan langsung ke Pak Guru Darmadji?” kata Fadli, tersenyum ke arah Dian dan dibalas hanya dengan anggukan juga.

“Oke, sepakat. Nanti kita ajak Agus, Hafid, dan Fakhrudin untuk mendiskusikan masalah ini dengan Pak Guru Darmadji. Semoga saja mereka tidak sedang jaga,” usul Dokter Fadli.

Wajah Dian sedikit mengangguk, tetapi dalam hati kecilnya, ia sudah membayangkan pergi berdua dengan Dokter Fadli ke rumah Guru Darmadji. Namun, harapannya pupus karena ia tahu, pasti akan ada yang ikut serta—dan itu berarti harus menghadapi godaan serta candaan dari teman-temannya yang kadang membuatnya bete.

Suatu hari, setelah mereka berjanji untuk bertemu, ternyata hanya Hafid dan Agus yang bisa ikut.

“Wah, ada Dian juga! Si gadis cantik dan jelita merona ke mana-mana,” goda Hafid sambil tertawa.

Fadli hanya tersenyum mendengar godaan itu, tetapi lain halnya dengan Dian yang merasa malu digoda Hafid di depan Dokter Fadli.

Setibanya di rumah Pak Guru Darmadji, mereka disambut oleh istrinya. “Pak Guru sudah ke masjid,” ujar sang istri.

Mereka pun segera menyusul ke masjid dan menemukan Pak Guru Darmadji sedang duduk di beranda masjid. Tanpa menunggu lama, mereka langsung menyapanya.

“Assalamu’alaikum, Pak Guru,” seru mereka serempak.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Pak Guru dengan senyum mengembang. “Ada angin apa ini?”

“Tadi kami ke rumah Pak Guru, tetapi kata Ibu, Bapak sudah ke masjid. Jadi, kami pun segera menyusul ke sini,” jawab Fadli dengan sopan sambil tersenyum.

“Ada apa ini?” tanya Pak Guru penasaran.

“Biasa, Pak Guru. Ada sedikit pertanyaan yang membuat penasaran. Kemarin, saya ditanya Dian tentang hukum wanita yang hendak melahirkan terkait dengan puasa di bulan Ramadan,” terang Fadli.

“Oh, ada Bidan Dian. Biasanya hanya Fakhrudin, Agus, dan Hafid. Lah, ini malah Fakhrudin yang tidak ada,” ujar Pak Guru sambil tersenyum.

 

Dian ikut tersenyum dan menjawab, “Iya, Pak Guru. Kemarin saya bertemu Dokter Fadli di ruang bersalin, lalu saya menanyakan hal itu kepada beliau,” jelasnya dengan sopan.

“Oh... ketemu Dokter Fadli,” ulang Pak Guru dengan senyum penuh arti, diikuti dengan deheman dari Agus dan Hafid.

Tampak wajah Dian memerah, dan ia pun menundukkan kepala dengan sedikit gugup.

Guru Darmadji paham kondisi masalah ini. Masalah muda-mudi, dan Guru Darmadji sebenarnya senang kalau Dian dan Dokter Fadli berjodoh.

“Baiklah, kita bahas terkait hukum puasa untuk orang yang melahirkan,” katanya memandang wajah mereka berempat.

Guru Darmadji tersenyum bijak. “Permasalahan kesehatan memang banyak terkait dengan puasa, termasuk wanita hamil dan yang akan melahirkan. Pada prinsipnya, dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 183, perlu diingat bahwa 'Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.' Jadi, puasa Ramadan ini memang wajib bagi setiap Muslim yang baligh, berakal, dan mampu menjalankannya. Namun, dalam ayat 184, menunjukkan kemurahan Allah SWT dalam memberikan keringanan bagi orang-orang yang memiliki uzur tertentu, sekaligus menekankan keutamaan puasa bagi yang mampu melaksanakannya. Tentunya, ini termasuk wanita hamil dan yang akan melahirkan.”

Hafid tiba-tiba melontarkan celotehannya, “Asyik ya, Guru, dengan para wanita?” Yang lain hanya tersenyum mendengar celetukannya. Namun, Guru Darmadji tetap melanjutkan penjelasannya dengan tenang, “Kamu mau menjadi wanita dan mengandung sembilan bulan, Hafid? Tentu saja ini bukan perkara mudah bagi mereka. Ada dalil lainnya yang menyebutkan bahwa 'Sesungguhnya Allah meringankan bagi musafir setengah dari salatnya, dan bagi wanita hamil serta menyusui puasanya.' Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, dan An-Nasa’i serta dinilai sahih oleh Al-Albani.” Guru Darmadji memandangi para santrinya, memastikan bahwa mereka memahami pentingnya keringanan ini.

Agus tampak berpikir sejenak sebelum bertanya, “Jadi, mereka tidak wajib puasa, Guru?”

“Benar,” jawab Guru Darmadji. “Jika seorang wanita hamil atau yang akan melahirkan merasa khawatir terhadap kesehatannya atau bayinya, maka ia boleh tidak berpuasa. Bahkan, dalam hadis lain disebutkan bahwa Allah memaafkan umat-Nya dari kesalahan, lupa, dan apa yang dipaksakan kepada mereka.”

Bidan Dian yang sejak tadi menyimak dengan serius akhirnya bertanya juga, “Lalu bagaimana cara menggantinya, Guru?”

Guru Darmadji tersenyum sebelum menjawab, “Jika seorang wanita hamil tidak berpuasa karena khawatir akan kesehatannya sendiri, maka ia wajib mengganti puasanya di hari lain setelah Ramadan. Namun, jika ia khawatir terhadap kesehatan bayinya saja, maka selain qadha, ia juga harus membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Sedangkan jika ia khawatir terhadap dirinya dan bayinya sekaligus, maka cukup dengan qadha saja.”

Mereka yang mendengarkan mengangguk tanda paham. Guru Darmadji melanjutkan, “Pendapat ini juga diperkuat oleh perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yang mengatakan bahwa wanita hamil boleh berbuka dan menggantinya dengan memberi makan orang miskin tanpa perlu mengqadha. Namun, sebagian ulama seperti mazhab Syafi’i tetap mewajibkan qadha.”

Dokter Fadli, yang sejak tadi menyimak dengan saksama, mengutarakan pendapatnya, “Berarti kalau bisa, tetap lebih baik berpuasa, ya, Guru?”

“Betul,” jawab Guru Darmadji. “Jika mampu, berpuasa tentu lebih baik, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, ‘Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.’” Suasana di teras Masjid Al-Ikhlas menjadi lebih hening, semua merenungkan betapa Allah Maha Pengasih dengan memberikan keringanan bagi hamba-Nya yang dalam keadaan sulit.

Dian mengangguk memahami penjelasan Guru Darmadji, lalu merangkum dengan suara mantap, “Jadi, Guru, kalau boleh saya menyimpulkan, wanita hamil dan yang akan melahirkan diperbolehkan tidak berpuasa jika khawatir akan kesehatan dirinya atau bayinya. Kewajiban setelah itu tergantung pada alasan berbuka, apakah cukup menggantinya di hari lain (qadha) atau harus membayar fidyah juga. Namun, jika mampu, tetap berpuasa lebih baik, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, karena ibadah ini mendidik ketakwaan dan kesabaran.”

Guru Darmadji tersenyum tanda setuju. Yang lain pun mengangguk, menyadari bahwa Islam adalah agama yang penuh kasih sayang, dan Allah selalu memberikan kemudahan bagi hamba-Nya. Rasa syukur pun terbersit dalam hati mereka atas limpahan rahmat-Nya.

Di luar masjid, langit telah berubah menjadi semburat merah keemasan, menandakan waktu berbuka dan salat Maghrib semakin dekat.

 by. goens'GN"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEDOMAN ANESTESI DAN PEDIATRIK

PEDOMAN ANESTESI DAN PEDIATRIK 1.     Pendahuluan Penatalaksanaan anestesi pada kelompok pediatri mempunyai aspek psikologi, anatomi, farmakologi, fisiologi dan patologi yang berbeda dengan orang dewasa. Pemahaman atas perbedaan ini merupakan dasar penatalaksanaan anestesi pediatri yang efektif dan aman. Pendekatan psikologis merupakan faktor penting yang berdampak pada luaran anestesi pediatri. Sesuai perkembangannya, kelompok pediatri dibagi dalam kelompok usia neonatus yang lahir kurang bulan dan cukup bulan, bayi usia diatas 1 bulan sampai usia dibawah 1 tahun, anak usia prasekolah usia diatas 1 tahun sampai usia 5 tahun, anak usia sekolah usia 6 tahun sampai 12 tahun dan usia remaja 13 tahun sampai 18 tahun. Neonatus merupakan kelompok yang mempunyai risiko paling tinggi jika dilakukan pembedahan dan anestesi. Patologi yang memerlukan pembedahan berbeda tergantung kelompok usia, neonatus dan bayi memerlukan pembedahan untuk kelainan bawaan sedangkan remaja m...

Mengapa Aku Menjadi Seorang Dokter Anestesi

MENGAPA AKU MENJADI SEORANG DOKTER ANESTESI (Sebuah Titik Balik Kehidupan) Sekarang walaupun belum dapat kuraih semuanya, tetapi aku mulai bisa tersenyum mengenang akan masa laluku. Kini aku telah menjadi seorang dokter dan telah mendapatkan spesialisasi dalam jenjang pendidikan di bidang anestesiologi alias pendalaman dalam ilmu pembiusan dan penanganan pasien kegawatdaruratan di ruang intensif (ICU). Memang sih, masih banyak yang belum bisa aku raih tetapi setidaknya kini aku dapat tersenyum dengan kehidupanku sekarang. Aku terlahir disebuah desa kecil dengan kultur budaya pendidikan yang   tidak   menunjang, jangankan bermimpi untuk menjadi seorang dokter, untuk sekolah sampai jenjang menengah pertama dan atas saja masih menjadi barang yang langka. Untung aku terlahir mempunyai seorang bapak yang memang berorientasi pada pendidikan, walaupun susah dari sisi ekonomi untuk menjalaninya. Bapakku merupakan seorang pendidik yang berhenti entah mengapa, karena jaman at...

INFO KOS DI AJIBARANG

  KOS-KOSAN DI AJIBARANG Ingin mendapatkan tempat kos yang menyenangkan ?, Indi’s Kos menyediakan sebuah tempat hunian kos yang menyenangkan, dengan type kamar : Kamar mandi dalam, AC, lemari, spring bed 140 x 200, sprei, bantal dan guling, sebanyak 2 kamar Kamar mandi luar (dalam rumah 2 buah) : springbed 120 x 200, sprei, bantal guling, sebanyak 5 kamar Kamar : bersih Lokasi :  jalan Pramuka no 30, Ajibarang Kulon, Belakang kecamatan Ajibarang. Strategis : Tenang, dekat keramaian dan makanan, tempat parkir luas Bila memerlukan informasi bisa hubungi : Bapak Warsoon : 085292364268 Ruang santai, ruang bersama Kamar Mandi dalam Kamar Kamar Mandi Luar kamar /dalam rumah Kamar Mandi dalam Kamar Kamar Bukan Ber AC Kamar Ber AC