USIA SENJA DAN KETEGUHAN IMAN DI RAMADHAN
By. Igun Winarno
Ramadhan
selalu membawa keberkahan bagi mereka yang menjalaninya dengan penuh
keikhlasan. Di setiap sahur yang sunyi dan setiap azan Maghrib yang menggema,
ada hati-hati yang berserah, menjalani ibadah dengan ketulusan. Bagi sebagian
orang, Ramadhan adalah bulan untuk memperbanyak istirahat, mengurangi
aktivitas, dan menghemat tenaga. Namun, bagi Bapak Ahmad, lelaki berusia 88
tahun, Ramadhan adalah kesempatan untuk semakin mendekat kepada Allah, tanpa
mengurangi semangatnya dalam bekerja dan beribadah.
Di
usianya yang senja, tubuhnya mungkin tak sekuat dulu, tetapi jiwanya tetap
teguh. Ia masih bangun lebih awal sebelum Subuh, menyiapkan sahur dengan
sederhana, lalu berjalan perlahan ke masjid untuk sholat berjamaah. Setelah
itu, ia tetap turun ke sawah, merawat padi dengan penuh cinta, tanpa sedikit
pun keluhan. Baginya, berpuasa bukan alasan untuk berhenti berusaha, justru
sebaliknya, Ramadhan adalah bulan untuk membuktikan bahwa keteguhan hati lebih
kuat daripada lelahnya tubuh.
Fakhrudin
duduk di beranda rumahnya, matanya menatap jauh ke arah sawah tempat Bapak
Ahmad tengah bekerja. Matahari mulai meninggi, udara siang kian panas, tapi
lelaki tua itu tetap tekun, mengayunkan cangkul dengan ritme yang tak goyah.
Fakhrudin menghela napas panjang. Di usianya yang jauh lebih muda, ia sering
merasa lemas saat berpuasa, mencari alasan untuk bermalas-malasan atau sekadar
tidur lebih lama. Tapi Bapak Ahmad? Usianya hampir sembilan dekade, tubuhnya
sudah renta, namun semangatnya seolah tak pernah pudar.
"Apa
rahasianya?" gumam Fakhrudin dalam hati. Ia ingat, setiap pagi sebelum
Subuh, Bapak Ahmad sudah berada di masjid. Setelah sahur, beliau tidak memilih
untuk kembali tidur, melainkan berjalan ke sawah, bercocok tanam seperti hari-hari
biasa. Sore harinya, ia masih sempat membaca Al-Qur’an di serambi, suaranya
lembut dan penuh penghayatan. Sementara Fakhrudin sendiri, sering kali tergoda
untuk hanya menjalani puasa dengan setengah hati, sekadar menahan lapar dan
dahaga tanpa benar-benar meresapi maknanya. Ada rasa iri yang menyelinap, bukan
iri karena tak bisa sekuat beliau secara fisik, tetapi iri karena tak memiliki
keikhlasan dan keteguhan yang sama.
Fakhrudin
mengeratkan genggaman tangannya. "Aku harus berubah," bisiknya pelan.
Ia tidak ingin hanya menjadi penonton yang mengagumi dari kejauhan. Ramadhan
ini harus berbeda. Ia ingin menjalani ibadah dengan hati yang lebih ikhlas,
lebih semangat, seperti Bapak Ahmad. Mungkin ia belum bisa setangguh lelaki tua
itu, tapi ia bisa belajar, sedikit demi sedikit. Ia ingin merasakan nikmatnya
beribadah dengan sungguh-sungguh, bukan hanya karena kewajiban, tapi karena
cinta kepada-Nya.
Waktu
terus berjalan dan malam Ramadhan terasa hangat di teras rumah Fakhrudin. Angin
sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma khas tanah basah setelah disiram embun
malam. Di sana, Fakhrudin duduk bersama Hafid, menikmati teh hangat sambil
berbincang ringan. Obrolan mereka perlahan mengarah pada sosok yang begitu
mereka kagumi, Bapak Ahmad, seorang lelaki tua berusia 88 tahun yang tetap
teguh dalam menjalankan ibadah puasa.
"MasyaAllah,
Pak Ahmad itu luar biasa ya, Mas," ujar Hafid sambil menyeruput tehnya.
"Di usia hampir sembilan puluh tahun, beliau masih rajin berpuasa dan
bekerja di sawah. Jarang sekali aku melihat orang setua itu masih sekuat
beliau."
Fakhrudin
tersenyum, mengangguk setuju. "Benar, Fid. Aku sering melihatnya berjalan
menuju sawah saat Subuh baru saja berlalu. Dengan tubuh ringkihnya, beliau
tetap mengayunkan cangkul, menanam padi, dan merawat tanahnya dengan penuh
cinta. Tak pernah sekalipun beliau mengeluh atau meminta keringanan, padahal
kita tahu, di usia itu, tenaga pasti sudah jauh berkurang."
Hafid
termenung sejenak, membayangkan sosok tua yang penuh semangat itu. "Aku
ingat, tahun lalu aku bertanya kepadanya, 'Pak, kenapa masih mau puasa? Kan
sudah tua, boleh kalau tidak puasa.' Tapi beliau hanya tersenyum dan berkata,
'Nak, puasa ini bukan sekadar menahan lapar dan haus. Ini latihan untuk hati
dan jiwa. Kalau aku berhenti, mungkin aku akan lemah, bukan hanya di tubuh,
tapi juga di iman.'"
Kata-kata
itu masih terngiang di telinga Hafid. Ia tak bisa membayangkan bagaimana
seorang petani tua yang setiap hari bekerja di bawah terik matahari tetap
berpuasa dengan penuh keikhlasan. "Bang Udin, anak-anak beliau juga sukses
semua ya?" tanyanya kemudian.
Fakhrudin
mengangguk. "Iya, mereka semua berhasil. Ada yang jadi dokter, ada yang
jadi dosen, ada juga yang punya usaha sendiri. Tapi meskipun begitu, Bapak
Ahmad tetap memilih hidup sederhana. Katanya, tanah dan sawah ini adalah bagian
dari hidupnya. Beliau ingin tetap dekat dengan tanah, karena dari sinilah
rezekinya berasal sejak muda."
Hafid
menghela napas, kagum akan keteguhan hati Bapak Ahmad. "Iman dan
semangatnya benar-benar luar biasa. Biasanya, orang seusianya lebih memilih
beristirahat, tapi beliau justru terus bergerak. Tidak hanya dalam bekerja,
tapi juga dalam ibadahnya."
Hafid
tersenyum haru. Sosok Bapak Ahmad bukan hanya sekadar petani tua, tetapi juga
cerminan seorang hamba yang teguh dalam keimanan. "Aku ingin seperti
beliau, Din. Menjalani hidup dengan penuh keikhlasan, tetap kuat dalam ibadah,
dan tidak pernah berhenti bersyukur."
Fakhrudin
menepuk bahu Hafid. "Kita semua bisa belajar dari beliau. Usia boleh
menua, tubuh boleh melemah, tapi iman harus tetap kuat. Karena pada akhirnya,
yang akan kita bawa bukan harta, bukan jabatan, tapi amal dan keteguhan hati
kita kepada Allah." Malam semakin larut, tetapi obrolan mereka
meninggalkan kesan mendalam, mengingatkan bahwa hidup yang berkah bukan tentang
berapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa dekat kita dengan Allah.
Hafid
tertawa kecil sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Eh, obrolan kita ini
bukan ghibah kan?” tanyanya setengah bercanda, tapi tetap ada nada serius di
dalamnya. Fakhrudin tersenyum, menyadari bahwa mereka memang membicarakan
seseorang, meskipun dalam konteks kekaguman dan pelajaran hidup. “Aku rasa
tidak, Hafid,” jawabnya pelan. “Kita membahas hal yang baik, mengagumi
keikhlasan dan keteguhan Bapak Ahmad. Selama kita tidak menjelek-jelekkan atau
menggunjing sesuatu yang buruk, insyaAllah ini bukan ghibah.”
Hafid
mengangguk, mencoba mengingat ajaran Islam tentang hal ini. “Iya, aku juga
pernah dengar, ghibah itu kalau kita membicarakan keburukan seseorang tanpa
sepengetahuannya. Rasulullah ﷺ sendiri pernah bersabda, ‘Apakah kalian tahu apa
itu ghibah?’ Para sahabat menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Lalu
beliau bersabda, ‘Ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang
tidak ia sukai.’ Kemudian ada yang bertanya, ‘Bagaimana jika yang aku katakan
itu benar?’ Beliau menjawab, ‘Jika benar, berarti engkau telah menggunjingnya,
dan jika tidak benar, berarti engkau telah memfitnahnya.’” (HR. Muslim).”
Fakhrudin
mengangguk setuju. “Betul, Hafid. Justru, dalam Islam, kita dianjurkan untuk
meneladani kebaikan orang lain dan mengambil hikmah dari mereka. Rasulullah ﷺ
juga pernah bersabda, ‘Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat’ (HR.
Bukhari). Itu artinya, kita boleh membagikan kisah dan pelajaran hidup yang
bisa menginspirasi, selama niatnya baik dan bukan untuk merendahkan.”
Hafid
tersenyum lega. “Benar juga, ya. Jadi, obrolan kita ini lebih ke tadabbur,
mengambil pelajaran dari kehidupan orang lain. Aku rasa, jika kita bisa meniru
semangat Bapak Ahmad dalam beribadah, itu sudah menjadi langkah baik dalam
menjalani Ramadhan.” Fakhrudin mengangguk mantap. Dengan hati yang lebih
tenang, mereka saling berpandangan, meresapi hikmah dari perbincangan malam
itu. Akhirnya, mereka pun berpisah, membawa masing-masing niat untuk terus
memperbaiki diri, menjadikan kebaikan orang lain sebagai cermin untuk masa
depan yang lebih baik.
Fajar
telah menyingsing, meninggalkan jejak cahaya keemasan di ufuk timur. Udara pagi
terasa sejuk, menyelimuti masjid kecil tempat Fakhrudin, Hafid, Dokter Fadli,
dan Agus duduk bersila setelah menunaikan sholat Subuh. Suasana masih hening,
hanya terdengar lantunan dzikir dari beberapa jamaah yang masih khusyuk. Di
tengah kesyahduan itu, Guru Darmadji, seorang ulama sepuh yang disegani, duduk
di antara mereka. Tatapan matanya teduh, penuh kebijaksanaan, seakan mampu
menenangkan siapa pun yang berada di sekitarnya.
"Guru,
kami tadi malam membahas tentang Bapak Ahmad, seorang petani tua berusia 88
tahun yang tetap berpuasa dengan penuh semangat. Kami takjub dengan kekuatan
imannya, meski usianya sudah sangat lanjut," kata Fakhrudin membuka
pembicaraan. Hafid mengangguk, menambahkan, "Kami juga membahas bagaimana
beliau menjalani Ramadhan dengan penuh keikhlasan dan ketakwaan. Apakah benar,
Guru, bahwa seseorang yang sudah lanjut usia seperti beliau masih berpuasa
untuk menjaga hati dan imannya?"
Guru Darmadji
tersenyum bijak. "Bapak Ahmad adalah contoh nyata bahwa ibadah tidak
mengenal usia. Semangatnya dalam berpuasa menunjukkan betapa besar kecintaannya
kepada Allah. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa di bulan
Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.’ (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menegaskan
bahwa keikhlasan dalam beribadah membawa keberkahan, tak peduli berapa usia
seseorang."
Dokter
Fadli, yang selama ini terbiasa melihat pasien lanjut usia dengan kondisi tubuh
yang mulai melemah, merasa kagum dengan keteguhan Bapak Ahmad. "Secara
medis, puasa memang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, tetapi tidak semua
lansia mampu menjalankannya. Namun, jika seseorang tetap berpuasa dengan
semangat seperti Bapak Ahmad, apakah ini lebih karena faktor fisik atau justru
karena kekuatan iman?" tanyanya dengan rasa ingin tahu.
Guru
Darmadji mengangguk, menatap mereka dengan penuh hikmah. "Ibadah itu
berakar pada hati, bukan sekadar pada fisik. Ketika hati seseorang telah
tertambat pada Allah, tubuhnya pun akan mengikuti. Allah berfirman dalam
Al-Qur'an, ‘Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangkanya...’ (QS. At-Talaq: 2-3). Kekuatan yang kalian lihat pada
Bapak Ahmad bukan hanya berasal dari tubuhnya, tetapi dari ketakwaannya."
Agus,
yang selama ini sering merasa lelah saat menjalani tugas di ICU selama
Ramadhan, mulai memahami sesuatu. "Jadi, keberkahan Ramadhan itu bukan
hanya soal ibadah fisik, tapi juga tentang bagaimana hati kita menerimanya
dengan ikhlas dan penuh pengharapan kepada Allah?" tanyanya penuh
antusias.
"Tepat
sekali," jawab Guru Darmadji. "Keberkahan Ramadhan itu turun kepada
siapa saja yang menjalankannya dengan ketakwaan dan keikhlasan. Bahkan,
seseorang yang sudah lanjut usia seperti Bapak Ahmad mendapatkan keberkahan
bukan hanya dari puasanya, tetapi dari niat dan semangatnya yang tidak pernah
luntur. Allah melihat niat seseorang lebih dari sekadar amal lahiriah."
Hafid,
yang sejak awal mendengarkan dengan saksama, akhirnya menghela napas panjang.
"Kadang kita yang masih muda malah sering merasa malas, bahkan
mencari-cari alasan untuk tidak beribadah dengan maksimal. Sementara Bapak
Ahmad, di usianya yang sudah hampir satu abad, masih bersemangat menjalani
Ramadhan. Ini tamparan bagi kami," katanya lirih.
Guru
Darmadji tersenyum, "Itulah mengapa Allah memberikan contoh nyata di
sekitar kita, agar kita bisa belajar. Jangan hanya sekadar kagum, tapi
jadikanlah itu motivasi untuk memperbaiki diri. Rasulullah ﷺ bersabda,
‘Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya.’ (HR.
Ahmad). Panjang usia tidak akan berarti tanpa ketakwaan, tetapi jika usia yang
panjang digunakan untuk mendekat kepada Allah, maka itu adalah keberkahan yang
luar biasa."
Suasana
hening sejenak. Masing-masing dari mereka tenggelam dalam perenungan. Fakhrudin
kemudian berkata, "Terima kasih, Guru. Penjelasan ini membuat kami sadar
bahwa keberkahan Ramadhan tidak datang begitu saja. Itu harus diraih dengan
ketakwaan dan keikhlasan dalam menjalani setiap ibadah."
Guru
Darmadji mengangguk dengan lembut. "Benar. Maka dari itu, janganlah
melihat usia sebagai batasan dalam beribadah. Lihatlah hati dan niat. Sebab,
siapa yang bersungguh-sungguh mencari ridha Allah, maka Allah akan memudahkan
jalannya. Mari kita jadikan Ramadhan ini sebagai ladang amal, agar kita bisa
menjadi hamba yang lebih baik."
Mereka
semua mengangguk, meresapi pesan berharga itu. Dalam keheningan pagi yang penuh
keberkahan, hati mereka merasa lebih ringan, seakan mendapatkan pencerahan
baru. Mereka pun beranjak dari masjid dengan semangat yang diperbarui, membawa
tekad untuk menjalani Ramadhan dengan lebih ikhlas dan penuh ketakwaan.
Matahari
mulai merangkak naik, menyinari langit dengan cahaya keemasan yang lembut.
Fakhrudin, Hafid, Dokter Fadli, dan Agus melangkah keluar dari masjid dengan
hati yang lebih tenang. Percakapan mereka dengan Guru Darmadji telah membuka mata
bahwa keberkahan Ramadhan tidak hanya datang dari ibadah yang tampak di mata,
tetapi juga dari niat yang tulus dan ketakwaan yang mendalam. Mereka menyadari
bahwa semangat seperti yang dimiliki Bapak Ahmad adalah sesuatu yang patut
diteladani, bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi tentang keikhlasan dan
kesungguhan dalam beribadah kepada Allah.
Saat mereka berjalan bersama, Fakhrudin menoleh ke arah Hafid dan berkata, "Mulai sekarang, kita tidak hanya mengagumi, tapi juga meneladani." Hafid mengangguk setuju, sementara Dokter Fadli dan Agus tersenyum, merasakan semangat baru dalam diri mereka. Ramadhan masih panjang, dan mereka berjanji pada diri sendiri untuk menjalaninya dengan lebih ikhlas, lebih bersyukur, dan lebih dekat kepada Allah. Di kejauhan, rintihan waktu dhuha mulai menggelitik jiwa, mengiringi langkah mereka menuju hari yang penuh berkah.
by.goens'GN
Komentar