OBSTRUCTIVE SLEEP
APNEA
(OSA)
Obstructive sleep apnea (OSA)
merupakan suatu kondisi tersumbatnya jalan nafas baik total atau sebagian
sewaktu tidur dan menyebabkan terjadinya suara mendengkur, desaturasi
oksihemoglobin dan aurosal. Tidur merupakan proses fisiologi yang komplek,
gangguan bisa berupa obstructive sleep apnea (OSA) atau central
sleep apnea (CSA) dimana 95 % berupa OSA. Kelainan ini akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien.
Kejadian OSA 60 % penderita
terdapat kelebihan berat badan, OSA juga berkaitan dengan ukuran leher, area
distal faring, pembesaran adenotonsiler, lidah besar (makroglosia), PPOK,
penyakit paru restriktif dan penyakit neuromuskuler. Sedangkan apneu
didefinisikan sebagai berhentinya pernafasan sedikitnya selama 10 detik.
Gambar : Anatomis orang yang mengalami OSA
Pada OSA terjadi pendorongan
lidah dan palatum ke posterior sehingga terjadi salah posisi dengan dinding
faring posterior dan terjadilah oklusi nasofaring dan orofaring. Otot saluran
nafas atas juga memegang peran penting dalam patogenesis OSA, Otot saluran
nafas atas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu otot yang menyangga tulang hyoid
(geniohyoid, sternohyoid), otot lidah (genioglossus), dan otot pada palatum (tensor
palatini, levator palatini). Hal ini terjadi akibat proses fisiologis tekanan
negatif yang terganggu untuk membuka jalan nafas. Obesitas juga berperan dalam
penyempitan jalan napas. Berat badan
yang berlebihan pada dinding dada dan disfungsi diafragma mengganggu upaya
ventilasi saat tidur dan jaringan lemak pada leher dan lidah menurunkan
diameter saluran napas yang merupakan predisposisi terjadinya penutupan
prematur saat jaringan otot relaksasi waktu tidur.
Manifestasi klinis

Teknik Anestesi
Penilaian pra operasi
Penilaian pasien pada umumnya
dengan memperhatikan pada hal-hal yang terjadi pada manifesteasi klinis, bila
terjadi ISPA merupakan salah satu alasan untuk menunda operasi, sedangkan obat
penenang tidak boleh diberikan pada pasien OSA kecuali dengan pengamatan dan
pengawasan. (Miller). Evaluasi ini untuk meningkatkan kewaspadaan pada pasca
operasi kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas. Evaluasi lain OSA biasanya
terjadi pada 60 % pasien obese, oleh karena itu kitapun harus mewaspadai kemungkinan
comorbid obese ini, yaitu kemungkinan komplikasi laiannya pada sistem
endokrine, kardiovasculer dan renal.
Induksi
Pasien OSA dapat diinduksi secara
TIVA atau dengan inhalasi, propofol dan fentanyl bisa digunakan, tetapi
pemakaian opioid hati-hati, sebisa mungkin dihindari pada OSA, demikian juga
pelumpuh otot (hati-hati pasca operasi bila pelumpuh otot belum benar-benar
hilang). Pemakaian opioid dan benzodiazepin bersinergis untuk mendepresi
pernafasan oleh karena itu lebih baik dihindari. Faktor gangguan pada sistem gastro intestinal maka seyogyanya premedikasi dengan metoclopropamide atau ondancetron bisa dipertimbangkan. Ventilasi bisa secara spontan
atau terkontrol. Pada pasien OSA sudah terbiasa dengan kondisi hipoksemia.
Ekstubasi dilakukan dengan pasien sadar dengan memperhatikan perdarahan yang
timbul pada tonsilektomi.
LMA bisa digunakan pada operasi
tonsilectomi, hal ini bisa dikomunikasikan dengan operator. Keuntungan
menggunakan LMA Fleksibel untuk tonsilektomi adalah (1) menghindari relaksan
otot, (2) profil pemulihan unggul dengan sedikit episode bronkospasme , spasme
laring, pendarahan, dan desaturation, (3) aspirasi darah kurang dibandingkan
dengan tabung trakea uncuffed; dan (4) perlindungan yang lebih baik dari
saluran napas bagian bawah dari darah dan cairan sampai pasien sadar. (miller).
Pasca Operasi
Ekstubasi hendaknya dilakukan pada
pasien dengan benar-benar sadar dan efek dari obat pelumpuh otot sudah tidak
ada. Bila terdapat keraguan dalam menjaga jalan nafas hendaknya endotracheal
tube tetap dipertahankan dalam 24 jam dan perawatan dilakukan di ruang
inetnsive. (morgan)
Managemen nyeri
Pemberian NSAID masih bisa
diberikan pasca operasi walaupun ada kekhawatiran timbulnya perdarahan karena
hambatan agregasi platelet. (miller). Pemberian opioid hati-hati pada pasien
dengan OSA dan lebih baik dihindari bila efek sedasi pasien lebih kuat. Peran steroid
0,05-0,15 mg/kg IV pre operasi telah membuktikan membantu kelancaran setelah
tonsilectomi, mencegah emesis dan anti inflamasi dengan mengurangi nyeri. (Miller)
Laryngospasme
Kejadian laryngospasme pasca TE
(tonsilectomi) sekitar 12-25 % dibandingkan operasi biasa, bila ini terjadi
bisa dilakukan dengan pemberian ventilasi positif, lidokain lokal 4 mg/kg, atau
iv 1 mg/kg, inhalsi agent (dalamkan), propofol dosis subhypnotik. (miller)
Perdarahan pasca TE
Meningkat seiring peningkatan
umur, bila hal ini terjadi tetap oksigenasi dengan baik, lakukan rehidrasi
dengan kemungkinan dilakukan transfusi darah sehingga pemeriksaan hemoglobin
dan hematokrit sangat diperlukan, komunikasikan dengan operator untuk
kemungkinan dilakukan tindakan susulan.
(diambil dari beberapa sumber : Miller, Morgan dan lainnya)
(Posting By GN)
Komentar