PEDOMAN PENATALAKSANAAN NYERI
A.
Nyeri Akut
Pasca Bedah
1.
Pengertian
Nyeri pasca bedah adalah nyeri pada pasien yang telah mengalami pembedahan.
Nyeri dapat terjadi segera atau beberapa jam sampai beberapa hari setelah
pembedahan.
2.
Patogenesa
Nyeri pasca bedah merupakan prototype
nyeri nosiseptif yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan dan proses
inflamasi yang terjadi akibat pembedahan. Segera setelah adanya rangsangan
nosiseptor maka dimulailah proses perjalanan
nyeri dari proses transduksi yang mengubah rangsangan menjadi impuls
listrik yang akan dihantarkan melalui serabut saraf yang dikenal dengan proses konduksi dan transmisi dan selanjutnya
terjadi proses modulasi pada neuron kornu dorsalis dan bagian susunan saraf
pusat lainnya yang melibatkan analgesik endogen yang kemudian dipersepsikan
sebagai suatu nyeri.
Proses sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral akan
terjadi pada nyeri pasca bedah bila tidak dilakukan penanganan nyeri secara
preventif analgesia yang dimulai dari fase pra bedah, intra operasi dan pasca
bedah. Pemberian analgesik dapat diberikan dengan berbagai macama metode mulai
dari pemberian analgetik intravena, analgetik neuraksial dan blok saraf tepi.
Proses transduksi dapat dihambat dengan pemberian
analgesik non-steroid anti-inflamation
drug (NSAID) dan parasetamol; proses modulasi banyak diperkuat dengan
pemberian opioid terutama untuk pembedahan dengan kemungkinan nyeri sedang
sampai berat. Tindakan analgesia dengan menghambat proses transmisi nyeri
menjadi hal yang paling penting karena dapat mengurangi nyeri pasca bedah
secara bermakna dan meningkatkan kepuasan pasien.
3.
Pemeriksaan Fisik
Penilaian intensitas nyeri pasca bedah dapat dilakukan dengan menggunakan
penilaian Numerical Rating Scale (NRS) atau dengan Visual Analogue Score ( VAS). Penilaian tanda vital lainnya untuk
melihat dampak fisiologis bila nyeri tidak ditangani dengan adekuat seperti
terjadinya peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut nadi dan frekuensi
nafas.
4.
Tata Laksana
Dilaksanakan dengan metode multimodal
analgesia yaitu memberikan
obat-obatan dan atau tindakan pemberian analgesik yang bekerja pada proses
perjalanan nyeri yang berbeda, mulai dari proses transduksi, konduksi,
transmisi dan modulasi sesuai dengan jenis dan intensitas nyeri yang
didapatkan.
Proses transduksi dapat dihambat dengan pemberian
analgesik golongan NSAID dan parasetamol, proses modulasi banyak diperkuat dengan pemberian opioid terutama untuk nyeri
sedang sampai berat. Tindakan analgesia dengan menghambat proses konduksi atau
transmisi nyeri seperti blok saraf menjadi hal yang paling penting karena dapat
mengurangi nyeri secara bermakna dan meningkatkan kepuasan pasien.
a.
Analgetik secara intravena
dengan konsep multimodal analgesia: parasetamol, NSAIDs dan opioid serta adjuvant analgesik lainnya.
b.
Analgesia epidural intermitten
atau kontinyu untuk pembedahan daerah toraks, abdomen, pelvis dan
ektremitas bawah.
c.
Blok saraf tepi kontinyu untuk pembedahan ekstremitas
atas dan bawah.
d.
Analgetik secara patient-Controlled
Analgesia (PCA) menggunakan
opioid untuk pasien yang kontraindikasi
analgesia epidural.
5.
Rekomendasi Pengelolaan Nyeri Pasca Bedah
6.
Tingkat Evidence
a.
Epidural analgesia memberikan analgesia pasca bedah yang
lebih baik dibandingkan dengan parenteral
opioid (termasuk PCA) (Level 1 [Cochrane
Review])
b.
PCA opioid intravena
memberikan analgesia yang jauh lebih baik daripada pemberian opioid secara parenteralc (Level I [Cochrane
Review]).
c.
Blok saraf perifer memberikan analgesia pasca bedah yang lebih baik
dibanding parenteral opioid dan menurunkan efek samping penggunaan opioid seperti mual, muntah, pruritus dan sedasi
(Level I).
d.
Parasetamol merupakan analgesik efektif untuk nyeri akut;
efek samping sama dibandingkan dengan placebo
(Level I [Cochrane Review])
e.
NSAID non-selektif efektif dalam pengobatan nyeri akut
pasca bedah (Level I [Cochrane Review]).
f.
NSAID selektif Coxib
efektif dalam pengobatan nyeri akut
pasca bedah (Level I [Cochrane Review]).
g.
Parasetamol dikombinasikan dengan tramadol lebih efektif
dibandingkan dengan penggunaan sendiri dan menunjukkan efek sesuai dengan dosis
(Level I)
B.
Nyeri Akut
Non-Bedah
1.
Pengertian
Nyeri akut non-bedah adalah nyeri akut pada pasien yang bukan merupakan
akibat pembedahan. Nyeri dapat terjadi dengan intensitas ringan sampai berat
akibat keadaan patologi selain pembedahan seperti akibat trauma, luka bakar dan
kondisi penyakit tertentu lainnya.
2.
Patogenesa
Nyeri akut non-bedah dapat berubah nyeri nosiseptif, neuropatik maupun
kombinasi dari keduanya. Rangsangan pada nosiseptor akibat kerusakan pada
trauma mekanik, kimiawi dan termal akan menghasilkan nyeri nosiseptif. Nyeri
nosiseptif dapat berupa nyeri visceral maupun
nyeri somatik tergantung dari organ yang menjadi sumber terjadinya nyeri. Nyeri
neuropatik banyak terjadi akibat adanya kerusakan dari struktur saraf baik
perifer maupun sentral.
Proses sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral akan
terjadi pada nyeri akut non-bedah akibat besarnya input dari perifer yang akan
diteruskan ke susunan saraf pusat bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat akan
berkembang menjadi nyeri kronik.
3.
Pemeriksaan Fisis
Penilaian intensitas nyeri pasca bedah dilaksanakan dengan menggunakan
penilaian Numerical Rating Scale (NRS)
atau dengan Visual Analogue Score (VAS).
Penilaian kualitas dan jenis nyeri sangat penting untuk
membedakan nyeri nosiseptif visceral atau
somatik, atau nyeri neuropatik.
Penilaian tanda vital lainnya untuk melihat dampak
fisiologis bila nyeri tidak ditangani dengan adekuat seperti terjadinya
peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut nadi dan frekuensi nafas.
4.
Tata Laksana
Dilaksanakan dengan metode multimodal analgesia yaitu memberikan
obat-obatan dan atau tindakan analgesik yang bekerja pada proses perjalanan
nyeri yang berbeda, mulai dari proses transduksi, konduksi, transmisi dan
modulasi sesuai dengan jenis dan intensitas nyeri yang didapatkan.
Proses transduksi dapat dihambat dengan pemberian
analgesic golongan NSAID dan parasetamol, proses modulasi banyak diperkuat
dengan pemberian opioid terutama untuk nyeri sedang sampai berat.
Tindakan analgesia dengan menghambat proses konduksi/transmisi nyeri seperti
blok saraf menjadi hal yang paling penting karena dapat mengurangi nyeri secara
bermakna dan meningkatkan kepuasaan pasien.
5.
Tingkat Evidence
a.
Opioid, terutama dengan PCA, efektif pada luka bakar
termasuk pada nyeri akibat prosedur tatalaksana luka bakar (Level II)
b.
Gabapentin mengurangi nyeri dan konsumsi opioid pada nyeri luka bakar akut (Level
III)
c.
PCA ketamine dan midazolam memberikan analgesia yang baik
dan sedasi pada pasien luka bakar pada saat pergantian perban (level IV).
d.
Pemberian analgesik tidak mengganggu penegakan diagnosa
pada nyeri akut abdomen (level I[Cochrane
Review])
e.
NSAID non-selektif, opioid
dan metamizole (dipyrone) intravena memberikan analgesia yang efektif pada
kolik ginjal (level I
[Cochrane Review]) dan mengurangi kebutuhan opioid (level I [Cochrane Review]).
[Cochrane Review]) dan mengurangi kebutuhan opioid (level I [Cochrane Review]).
f.
Tidak ada perbedaan efektifitas antara petidin dan morfin
pada kolik ginjal (level II)
g.
NSAID non-selektif intravena sama efektifnya dengan
opioid parenteral pada nyeri kolik
biliar (level II).
h.
Morfin intravena merupakan analgesik utama dan efektif
pada nyeri akut kardiak (level II).
C.
Nyeri
Kanker
1.
Pengertian
Nyeri kanker adalah nyeri pada pasien kanker akibat perkembangan atau
invasi tumornya dan terapi yang diberikan.
2.
Patogenesa
Nyeri kanker dapat berupa nyeri nosiseptif akibat adanya inflamasi, kerusakan
jaringan dan pelepasan mediator-mediator yang merangsang nosiseptor baik oleh
tumornya maupun akibat tindakan seperti pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Nyeri neuropatik dapat juga terjadi akibat adanya
kompressi pada saraf, kerusakan pada saraf akibat infiltrasi tumor dan penyebab
nyeri neuropatik lainnya.
3.
Anamnesa
Nyeri kanker dikeluhkan oleh penderita kanker sehubungan dengan adanya
perkembangan tumor sesuai dengan organ yang terkena. Nyeri kanker dirasakan
terus menerus dan biasanya memberat pada malam hari serta memberat pada
keadaan-keadaan tertentu akibat pergerakan maupun dosis obat yang kurang (nyeri
breakthrough).
4.
Pemeriksaan fisis
a.
Penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan skori Visual Analog Score (VAS) maupun Numerical Rating Scale (NRS).
b.
Penilaian gejala lain yang menyertai nyeri seperti adanya mual dan muntah pada tumor
abdomen dan lainnya.
5.
Pemeriksaan penunjang
Sesuai dengan organ yang mengalami keganasan dan terutama untuk melihat
adanya kompresi saraf dan peningkatan tekanan pada struktur organ. Pemeriksaan
lain untuk melihat tingkat stadium perkembangan penyakit.
6.
Tata laksana
a.
Pendekatan Farmakologi
Menggunakan prinsip “Three-Step
Analgesic Ladder” dari WHO yaitu: nyeri ringan (NRS: 1-3) dengan analgesik
non-opioid dan obat adjuvant; nyeri
sedang (NRS: 4-6) dengan analgesik non-opioid dan opioid lemah serta obat adjuvant; dan nyeri berat (NRS: >7)
dengan analgesik non-opioid dan opioid
kuat serta obat adjuvant.
b.
Pendekatan Tindakan Intervension
1)
Blok saraf neuraksial: analgesia epidural dan intratekal.
2)
Blok saraf simpatetik dan neurolisis sesuai persarafan
organ:
-
Blok plexus
coeliac,
-
Blok nervus
splachnicus,
-
Blok plexus
hypogastricus,
-
Blok ganglion impar
7.
Tingkat evidence
a.
Opioid diberikan
secara individual dan dititrasi untuk mendapatkan analgesia maksimal dengan
efek samping minimal (Level II).
b.
Analgesik yang diberikan harus senantiasa di
sesuaikan perubahan intensitas nyeri
(Level III).
Blok neurolitik plexus coeliac : 2A+
Blok neurolitik nervus
splachnic : 2B+
Blok neurolitik plexus
hypogastric : 2C+
D.
Nyeri
Kronik: Neuralgia Posttherpetik (ICD 10. B 02.23)
1.
Pengertian
Nyeri menetap yang timbul di sepanjang saraf setelah 3-6 bulan penyembuhan
ruam Herpes Zoster.
2.
Patogenesis
Virus Herpes Zoster menyebabkan
inflamasi kulit akut dan denervasi parsial pada distribusi dermatom berupa
inflamasi, nekrosis, dan fibrosis pada akar ganglia
dorsalis. Perubahan inflamasi dapat
berlangsung beberapa bulan, menyebabkan demielinisasi, degenerasi Wallerian, dan fibrosis. Kehilangan
saraf aferen bermielin dan
plastisitas neuron kornu dorsalis menyebabkan hilangnya inhibisi
dan aktivitas aferen primer tidak bermielin meningkat. Aktivitas spontan
terjadi pada akson-akson tersebut, sensitivitas meningkat terhadap stimulus
mekanik, agonis alfa adrenergik dan aktifitas eferen simpatis.
3.
Anamnesis
Nyeri pada kulit mengikuti dermatom tertentu.
Nyeri terasa tajam, menusuk, berdenyut, terbakar, mati rasa, kesemutan atau
gatal. Daerah jaringan parut setelah ruam sembuh biasanya allodinia,
hiperalgesia, hipestesia dan sering anestesiaa. Nyeri dapat terjadi spontan dan
diperparah oleh kontak dengan kulit. Gejala dipicu oleh aktivitas fisik,
perubahan suhu, atau emosional.
4.
Pemeriksaan fisis
Tes sensasi: raba, sentuh, atau pinprick
test.
5.
Pemeriksaan Penunjang
1)
Laboratorium: deteksi antigen virus Varicella Zoster dengan imunofluoresensi atau polymerase chain reaction (PCR).
2)
Radiologi: tidak spesifik.
6.
Diagnosis Banding
Cluster headache, lesi saraf perifer,
neurodermatitis, dan infeksi.
7.
Tata Laksana:
Penanganan konservatif:
Non farmakologik
Farmakologi antidepresan trisiklik, antikonvulsi (gabalin, pregabalin),
opioid, obat-obat anestetik lokal topical
dan capsaicin, kortikosteroid, dan ketamin.
Tindakan intervensi:
-
Blok saraf sesuai dermatomal,
contoh: block saraf interkostal.
-
Injeksi steroid epidural dan paravertebral.
-
Injeksi intratekal.
-
Blok saraf simpatik, contoh: block ganglion Stellate.
-
Stimulasi medulla
spinalis.
8.
Tingkat Evidence
-
Interventional
pain treatment of acute herpes zoster.
Epidural
injections 2 B+
Sympathetic
nerve block 2 C+
-
Prevention
of PHN:
One-time
epidural injection 2 B-
Repeated
paravertebral injections 2 C+
Sympathetic
nerve block 2 C+
-
Treatment of PHN:
Epidural
injection 0
Sympathetic
nerve block 2 C+
Intrathecal
injection ?
Spinal
cord stimulation 2 C+
E.
Nyeri
Kronik: Nyeri Phantom (Phantom Pain) (ICD 10. M 54.6)
1.
Pengertian
Nyeri yang terjadi pada bagian tubuh yang telah hilang, meliputi
ekstremitas, payudara, hidung, genitalia, dan bagian tubuh lainnya.
2.
Patogenesis
Setelah amputasi, saraf-saraf yang mengalami trauma membentuk neuroma. Neuroma
menunjukkan aktivitas abnormal yang menyebabkan perubahan fungsi kanal ion.
Perubahan aktivitas neuroma dan ganglia spinalis dalam jangka waktu lama
menyebabkan adaptasi sentral pada neuron proyeksi di kornu dorsalis. Terjadi
perubahan aktivitas neuron spotan dan perubahan transkripsi RNA. Akibatnya
aktivitas metabolik di medulla spinalis
meningkat dan menyebabkan terjadinya sensitisasi sentral. Perubahan
neuroplastisitas juga terjadi pada thalamus,
subkortikal, dan kortikal.
Perubahan pada fungsi dan struktur dari korteks somatik
sensoris primer setelah amputasi yang disertai dengan perubahan reorganisasi
sensorik dan motorik.
3.
Anamnesis
Nyeri intermitten, dirasakan
seperti terbakar, sakit, kramp,dihancurkan , terputar, dan tertusuk-tusuk. Pada
banyak kasus nyeri, nyeri dirasakan pada bagian distal dari ekstrimitas yang
telah hilang dan dapat terjadi setelah 14 hari pasca amputasi. Terdapat
hubungan antara intensitas nyeri pada daerah amputasi dan penyebab amputasi
dengan terjadinya nyeri phantom.
4.
Pemeriksaan fisis
a.
Pengukuran ambang taktil statis dan ambang suhu.
1)
Pemeriksaan Penunjang
-
Laboratorium :
tidak spesifik
-
Radiologi :
tidak spesifik
2)
Diagnosis Banding
Stump pain, phantom limb sensation.
5.
Tata Laksana:
a.
Non farmakologi: -
b.
Farmakologi:
1)
antidepresan trisiklik
2)
antiepilepsi
3)
agonis opioid
4)
CCB
5)
Antagonis NMDA
6)
kalsitonin
c.
Tindakan intervensi:
1)
Epidural analgesia perioperative
sebagai preventif
2)
Blok saraf perifer
3)
Blok saraf simpatis
4)
Trigger
point dan stump injection
5)
Spinal
cord stimulation (SCS)
6)
Operasi: deep brain
stimulation.
6.
Tingkat Evidence
a.
Ketamine, NMDA-receptor
antagonist memberikan analgesia yang
baik dalam jangka waktu pendek (Level II)
b.
Oral
controlled-realese (CR) morfin intravena mengurangi nyeri phantom limb (Level II)
c.
Gabapentin efektif dalam mengurangi nyeri phantom limb (Level II).
d.
Lidocaine
intravena signifikan
menurunkan nyeri stump pain tetapi
tidak berefek pada phantom pain (Level
II)
e.
Amitriptyline
and tramadol memberikan analgesia yang baik pada phantom limb dan stump.
f.
Injeksi anestetik lokal pada daerah miofasial yang nyeri
pada kontralateral ekstremitas dapat mengurangi phantom limb pain and sensations (Level II).
g.
Pulsed
radiofrequency treatment of the stump neuroma : 0
h.
Pulsed
radiofrequency treatment adjacent to the ganglion spinale (DRG): 0
i.
Spinal
cord stimulation : 0
Komentar